Ini Sepi Terus Ada, dan Menanti

Achmad Muchtar
Chapter #13

Bab 13

SEBULAN setelah pemakaman istrinya, Lanang habiskan waktunya dengan terus mengunjungi stasiun kereta. Ke Tugu, Lempuyangan, bahkan ke Balapan. Ia lihat orang tua Maura terlihat maklum atas tingkahnya yang menghabiskan separuh hari menunggui kereta. Sudah berkali-kali ia diperingatkan agar jangan terlalu mengharapkan Maura kembali, padahal ia tak mengharapkan Maura. Mungkin Lanang bersalah atas semua hal ini. Dan ia sangat merasa bersalah jika harus mengingat pertemuan pertamanya dengan Maura di Gramedia. Ia juga tak menyangka bakal menikah dengan Maura. Sebelumnya memang ia tak pernah membayangkan menikah di usia muda. Dulu, ia berharap bisa menikah di usia matang, mungkin lebih dari 26 tahun.

Lanang sekarang menjauhi Bara, Yuda, dan Bastian yang berusaha mendekatinya. Mereka sering datang dan Lanang pura-pura tertidur. Ia juga sudah lama tidak menjalankan bisnisnya gara-gara novelnya yang terus-terusan mengalami cetak ulang. Tercatat hingga saat ini, sudah memasuki cetak ulang yang ke-27. Dengan begitu, ia tak perlu mati-matian bekerja. Ia hanya akan menulis tentang kesedihan dan apa makna di baliknya untuk ia bagikan ke beberapa media untuk menambah tabungannya.

Lanang berpikir, terus-terusan menuliskan kesedihan untuk mendapatkan imbalan sama saja dengan mengemis-ngemis minta uang di perempatan. Ia habiskan dua bungkus rokok setiap hari. Tanpa makan pun asalkan merokok, ia tidak lapar lagi. Akhir-akhir ini ia hanya makan maksimal dua kali dan tidur maksimal tiga jam saat malam, siangnya ia bisa tidur berjam-jam. Kalau tidak mengantuk, biasanya ia akan pergi ke stasiun kereta, mengamati setiap orang yang naik dan turun.

Lanang sudah tak memperhatikan lagi apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia sudah mandi atau belum, apakah ia sudah gosok gigi atau belum, apakah ia sudah mencukur kumis dan janggutnya tiap akhir pekan atau belum, apakah ia sudah membayar tagihan listrik atau kontrakan atau belum, apakah ia sudah mengurusi perpanjangan STNK dan SIM atau belum. Ia amati hidupnya sudah tak keruan. Ia lihat rambutnya sudah gondrong, giginya sudah mulai menguning, bulu hidungnya memanjang, tengkuknya, punggungnya, hingga selangkangannya gatal-gatal. Ia lihat bulu kemaluannya sudah sangat lebat dan ia lupa kapan terakhir kalinya ia mencukurnya. Kumis dan jenggotnya apa lagi, bahkan sudah mulai tumbuh bulu-bulu di pinggir wajahnya yang membuatnya berewokan.

Ia pandangi cermin, ia lihat mukanya menyedihkan, bibirnya yang sering cemberut membuat tak ada lagi gadis yang mendekatinya, rambutnya sudah memanjang dan bergelombang tak keruan, ketombe akan berjatuhan jika ia garuk-garuk karena gatal. Pendengarannya juga agak terganggu dengan banyaknya congek yang tidak ia bersihkan. Ketika ia buka bajunya, ia dapat melihat perutnya sudah mengurus, padahal ia tidak banyak bergerak. Ia lihat ada panu di lehernya akibat bantal yang tak pernah ia cuci sarungnya. Tak hanya di leher, di punggung juga ketika ia memutar tubuh. Ia lihat bulu yang berbaris di bawah pusarnya sudah melebat.

Ia coba tersenyum, maka gigi kuningnya kelihatan dan ia teliti apakah ada bagian yang akan tanggal. Setelah sekian lama ia terpuruk dengan membuat dirinya terasing ternyata malah membuat dirinya tampak seperti gelandangan. Ia memang tak peduli dengan dirinya yang sekarang ini. Entah ia akan mati kapan juga ia tak peduli.

 

***

 

SAAT berjalan-jalan menuju ke stasiun kereta, Lanang melihat Nayla sedang berjalan-jalan bersama dua orang laki-laki. Nayla tampak senang dirangkul kedua laki-laki itu. Ada keceriaan yang ia tangkap dari raut wajah Nayla. Nayla sekarang tampak kurus dengan baju bagaikan rockstar, rambutnya sekarang dikeriting dan Nayla mengikatkan slayer di kepalanya, baju rompi berbahan jin dengan kaos dalam warna hitam bergambar tengkorak, celana jin sobek-sobek dengan ikat pinggang warna keperakan, sepatu boot yang menutupi setengah betisnya. Pakaian mereka bertiga hampir sama. Yang laki-laki memakai baju dengan gaya yang sama, tetapi laki-laki yang satu membawa sebuah gitar, lainnya menggendong tas ransel yang padat berisi.

Lanang menghampiri Nayla. “Nayla, benarkah itu kamu?”

Nayla memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat siapakah seseorang yang mirip gelandangan itu. “Mmmm... kamu. Kamu yang pernah mengamen denganku, ah aku sudah agak lupa.”

“Iya, aku orang itu,” kata Lanang.

“Ah, benar. Kamu ternyata tak benar-benar jatuh cinta kepadaku.”

“Kamu sekarang beda,” ujar Lanang

“Kamu juga, dan ... kamu ini kenapa?” Nayla memperhatikan Lanang dengan saksama, dia memutar tubuhnya, lalu memukul pantatnya.

“Kenapa bagaimana?” tanya Lanang.

“Ya ampun, kamu kelihatan kotor sekali. Kamu masih tinggal di daerah Blimbingsari?”

“Masih, meskipun aku jarang tidur di kontrakanku.”

“Kamu tidak sedang diusir, kan? Ya ampun kamu kelihatan seperti gelandangan, makanya aku tak mengenalmu kalau kamu tak menyapa duluan.”

Lanang menggaruk-garuk pantatnya.

“Hei, jangan-jangan kamu kurapan. Hih, aku nggak mau tidur sama kamu lagi,” kata Nayla jijik.

“Kamu masih begitu?” tanya Lanang.

“Oh, nggak, aku sekarang ngamen. Itu sudah bukan pekerjaanku lagi, aku sudah tobat, hahaha,” tawa Nayla. “Lihat, kan, ada dua temanku, perkenalkan ini Bima, gitaris andal, lalu ini Alex, penggebruk drum.”

Lanang berjabatan tangan dengan mereka, “Kalian nge-band hanya bertiga?” tanyanya.

“Oh, nggak, kami berlima, kebetulan dua teman kami sudah di Stadion Kridosono.”

“Kalian ada acara?” tanya Lanang lagi.

“Iya, kami diundang untuk meramaikan festival band se-Yogyakarta. Band-band indie. Tapi, ada Slank sebagai bintang tamu, kamu nonton saja. Eh, iya, kami harus segera ke sana untuk latihan,” kata Bima.

“Oh, begitu. Ya, sudah, Nayla, Bima, dan siapa tadi aku lupa...”

“Alex,” ujar Nayla.

“Oh, iya, Alex, semoga kalian sukses,” kata Lanang.

Mereka bertiga bergegas ke stadion yang berada di utara Stasiun Lempuyangan. Lanang melihat Nayla menoleh lalu menjilat penuh nafsu bibir atasnya sambil melirik Lanang, “Bersihkan badanmu,” teriaknya.

 

***

 

SUATU MALAM, ketika Lanang sedang makan di angkringan Super Sambal di pinggiran Jalan Persatuan atau Jalan Kaliurang yang membelah Kampus Biru, ia bertemu Mira. Tampaknya Mira sudah melupakannya, tetapi tidak lupa dengan wajahnya. Lanang mencoba untuk mendekatinya, tetapi Mira tampak menghindar. Mira tidak sendirian, Mira bersama teman-temannya. Mereka berenam, Lanang melihat Bima juga ada di sana. Ini berarti Bima tidak benar-benar pernah putus dengan Mira.

Lihat selengkapnya