KERETA berwarna emas dengan sembilan gerbong panjang. Asap putih tampak mengangkasa. Langit kebiru-biruan tampak cerah dengan matahari yang sinarnya ke segala arah. Burung-burung beterbangan membentuk citra lengkung yang abstrak. Angin berembus menyentuh dedaun yang hijau dan rimbun. Pasir dan debu tampak mengalir di atas kerikil-kerikil kecil.
Gerbong paling ujung belakang adalah gudang yang berisis berbagai barang yang penting. Depannya adalah kamar mandi dengan bath up berkilauan bak mutiara dengan tirai dari sutra. Depannya adalah dapur dengan kompor raksasa, pendingin, oven, dan meja makan raksasa. Tampak manusia-manusia bercelemek putih sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ada yang membawa sebotol anggur di atas nampan, ada yang sedang membuat adonan, dan ada yang sedang menyiapkan bumbu masakan, yang lain memasak. Aroma masakan terasa seperti sapuan angin yang berembus, sekilas lalu hilang. Di ujung sana tampak kue-kue raksasa dan buah-buah yang melimpah.
Gerbong depannya adalah ruang makan dengan meja panjang dan hiasan-hiasan dari bunga-bunga. Tampak lilin menyala di tengah meja. Di sebelahnya sendok dan garpu tertata dengan rapi lengkap dengan celemek dan tisu serta tusuk gigi. Gerbong depannya adalah perpustakaan dengan ribuan judul buku. Depannya lagi adalah bioskop kecil dengan proyektor dan ratusan koleksi film. Tampak dua kursi duduk empuk warna merah dengan meja di depannya. Depannya lagi adalah kamar tidur yang bersih dan wangi. Ruangan serbaputih dengan ranjang luas dan besar. Tampak lukisan abstrak di dinding gerbong. Depannya lagi adalah ruang tamu dengan sofa-sofa yang tebal dan berwarna putih. Depannya adalah gerbong kereta seperti biasanya, penuh dengan tempat duduk. Dan, gerbong paling depan adalah tempat masinis bekerja dengan mesin-mesin rumit berada di belakangnya.
Kereta tampak belum berjalan. Seperti sedang menunggu seseorang. Masinis berjubah kerajaan pun menengok ke jendela dan ia membuka pintu lalu melambai ke arah luar di belakang sana. Derap kaki kuda terdengar mendekat. Tampak Kesatria berkuda datang dengan derap yang semakin dekat semakin cepat. Ia berhenti. Tampak seseorang mengawal kudanya, sedangkan Kesatria itu turun. Ia begitu gagah. Sepatu kulit warna cokelat dengan celana panjang putih yang tebal, baju warna merah dengan ornamen kerajaan. Di ikat pinggangnya yang berwarna emas, tampak sebuah pedang panjang dengan sarung warna emas. Tangannya dibalut pelindung dari kulit hewan. Kesatria itu memakai topi yang di atasnya terdapat sehelai bulu merak. Ia dituntun seorang pelayan untuk ke gerbong kedua. Tampak pintu gerbong kedua terbuka. Kesatria itu naik. Pelayan itu pun menutup pintu gerbong dari luar. Kereta pun berjalan. Kesatria itu mendapati bahwa penumpang kereta sangat sepi, hanya ada dua orang: ia dan seseorang di kursi paling belakang. Tampak seorang putri bergaun pengantin serbaputih sedang duduk. Mukanya ditutupi oleh selembar cadar putih. Putri itu beranjak dari duduknya. Ia berdiri memandang Kesatria. Kesatria juga memandang Putri. Mereka berjalan mendekat.
Keduanya berpandangan lekat-lekat. Kesatria pun membuka cadar Putri. Tampaklah gadis dengan raut wajah yang begitu indahnya. Tangan keduanya pun bergenggaman. Ada jeda panjang sebelum akhirnya mereka berpelukan untuk waktu yang sangat lama. Ada air mata yang menetes. Air mata yang jatuh pun menjelma mutiara yang berkilauan. Sementara, kereta menembus malam; menuju tanah antah berantah. Kabut tampak menyelimuti kereta yang tengah melaju.
Keduanya pun berciuman setelah sebelumnya berpelukan mesra untuk waktu yang lama. Keduanya pun menelanjangi dirinya sendiri. Kesatria itu membopong Putri itu lalu menggelar tubuh telanjangnya di atas kursi panjang. Kesatria itu memperlakukan Putri bagaikan es krim: ia harus cepat-cepat menjilatnya sebelum meleleh.
Mereka berciuman hingga ribuan kali dan bersanggama hingga ratusan kali dalam sehari. Seolah-olah dunia ini hanya milik mereka berdua. Kereta pun tampak melewati tanjakan dan perlahan-lahan naik. Tampak bintang-bintang bertaburan melalui jendela gerbong. Kereta itu terbang ke angkasa; meninggalkan bumi; menuju bintang.
***
LANANG membuka mata. Ia melihat dengan samar-samar banyak orang mengelilinginya. Setelah ia usap-usap matanya, ternyata mereka adalah keluarganya. Ayahnya, ibunya, kakak-kakaknya, dan beberapa temannya.
“Simbok, Bapak, Mas Ardi, Dek Ade ...,” kata Lanang begitu melihat mereka.
“Syukur, anakku wis tangi. Ardi, tulung celukno dokter![1]” perintah bapaknya.
“Inggih, Pak[2],” ujar Ardi, kakak tertuanya.
“Oalah, Le, nang ngendi wae kowe? Aku wis nggoleki kowe tekan Jakarta, ning ra ketemu-ketemu. Sujakna Damar ngandani nek kowe ana nang Sardjito. Nek ora, ra mungkin aku isa nemokke kowe. Mbok pisan-pisan balia ta, Le. Apa kowe ora kangen karo mbokmu karo bapakmu?[3],” ucap ibunya sambil terisak.
“Kula mboten lunga dateng pundi-pundi, kok, Mbok. Kula tesih urip ing Jogja, nanging kula mboten yakin saged ayem urip ing kampung.[4]”
“Kowe iki, nek urip nang kampung ki, ya kudu nurut karo adat leluhur. Eling paribasan iki, di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung? Kowe kudune reti kuwi, Le.[5]”
“Nanging, kula mboten remen kaliyan lelakonipun wong desa.[6]”
“Kuwi tekno kowe istimewa. Kowe salah siji uwong sik duwe gelar sarjana, nang kampus gedhe meneh. Kudune kowe ki ngerti. Apa nang kampusmu ora diajari budaya? Bukane kowe kuliah nang Fakultas Ilmu Budaya?[7]”
“Kula pancen kuliah teng Fakultas Ilmu Budaya, nanging kula mboten saged dados manungsa berbudaya[8].”
“Kowe kudu sak wayah-wayah metu dinggo sesrawungan, Le, srawung, aja mung ngimpi isa urip ayem ang kuta, kowe kudu sadar nek kowe udu kacang sik lali kulite, kowe asale saka kampung, lan kowe kudu menehi opo wae dinggo desamu. Setidaknya kowe ana gunane walaupun dalam hal sekecil apa wae[9].”
“Kula kesel, Mbok. Kula pengen leren rumiyin[10].”
Ibunya lalu mengusap-usap wajah Lanang lalu rambutnya, “Ibu tresna kowe, Le[11].”
“Kula inggih[12].”
Ardi datang bersama Damar. Lalu Damar menyuruh mereka semua keluar dari ruangan.
“Oh, sudah siuman, ya?” tanya Damar yang berbaju putih. Damar lalu memeriksa Lanang.
“Damar?” tanya Lanang. Damar adalah teman SD Lanang, walaupun mereka tidak satu kampung, tetapi Damar dulu teman dekatnya, dan kini Damar menjadi seorang dokter.
“Iya, Lanang, ini Damar,” kata Damar sembari melepas kaca mata tebalnya.
“Kamu ... kowe ....”
“Sudah, pakai bahasa Indonesia saja, Sarjana Sastra,” potong Damar.
Lanang tersenyum. “Ternyata cita-citamu sudah tercapai,” kata Lanang sembari terbatuk.
“Kamu masih ingat betapa kerasnya perjuanganku?”
“Aku ingat saat kamu akan menjual rumahmu. Apakah benar-benar rumahmu dijual?” tanya Lanang mengingat-ingat masa lalu.
“Tidak, aku tidak jadi menjual begitu hasil pengumuman penerimaan beasiswa keluar. Ternyata aku terpilih sebagai penerima beasiswa, jadi aku bisa kuliah di Kampus Biru gratis.”
“Kedokteran Umum?” tanya Lanang.