Mata Gerry Biantara memerah karena amarah. Tangannya mengepal.
“Aarrghh!!" Dinding yang berada di depannya pun jadi sasaran kemarahan. Seandainya saja dia menemani Rafa pulang malam itu, kejadian buruk tak akan menimpa gadis ceria itu. Gadis yang menjadi sahabatnya sejak kelas 1 SMA.
"Aku antar ya, Fa," ujar Gerry menawarkan. Namun gadis berambut sebahu itu merengut.
"Aku bukan gadis manja yang harus diantar ke sana kemari. Saat aku punya suami nanti, aku tidak akan menyusahkan dia untuk antar jemput kemana pun aku pergi. Hehehe..." ujarnya tersenyum saat berada halte.
"Apa? Suami?" Gerry tersenyum.
"Ada yang salah? Aku kan perempuan. Aku pasti ingin bersuami kelak. Ayolah kamu tidak akan mengajukan diri sebagai salah satu kandidat suami impianku kelak kan?" wajah Rafa mendekat ke Gerry sembari cengengesan. Gadis ini makin nyerocos seenaknya.
"Kamu ini Ger, ga usah memasang wajah aneh seperti itu," Rafa tertawa. Gerry memegang bagian kepalanya. Menggaruk padahal tidak gatal.
"Aku tidak akan menjadi kandidatmu. Aku hanya khawatir ini sudah jam 10 malam," ujar Gerry melihat arloji di lengan kirinya. Dia melihat sekeliling halte. Masih ada penjual gorengan dan martabak. Pukul 22.00 malam.
"Tenang, ojek onlineku sedang on the way. Oh ya, gimana kabar Meita? Kalian sudah pacaran? " Rafa mulai kumat cerewetnya. Gerry geleng-geleng kepala.
"Kalau ada cewek yang terlihat suka padaku apa harus kupacari?" Gerry memajukan badannya ke muka Rafa.
"Ehemm. Dia cantik kok. Baik lagi. Suka menolong orang. Sama sepertimu. Makanya kalian gabung di PMR kan. Hehehe...."ujar Rafa juga mendekatkan wajah imutnya ke hadapan Gerry.
Kali ini Gerry siap membalas. "Kamu pasti naksir Bara kan? Ayo ngaku deh. Kemarin kamu ngasih dia PR yang sudah kamu kerjakan kan?" goda Gerry.
"Auh sakit! " tiba-tiba telinganya sudah merah usai dijewer. Gerry mengusap telinganya.
"Rasain! Enak kan?" Rafa berdiri saat melihat pengendara ojek online datang ke arah mereka.
"Aku duluan ya. Selamat pacaran sama halte Gerry jelek! "Rafa mengejek Gerry.
"Hati-hati, Fa! balasnya. Gerry melangkah menuju parkiran gedung kesenian.
Tiba-tiba dia berhenti seperti memikirkan sesuatu.
Aku lupa plat polisi motor itu. Tetapi ah sudahlah. Moga Rafa baik-baik saja. Tetapi firasat malam itu rupanya menjadi kenyataan.
Di tengah perjalanan, motor yang ditumpangi Rafa mogok. Dan gadis itu harus menempuh 700 meter jalan kaki untuk sampai ke rumahnya. Saat berjalan, dia tidak menyadari seseorang mengikutinya. Rafa sibuk membaca Whats App di ponselnya. Ketika tersadar, dia sudah berada di sebuah kamar. Pakaiannya tak karuan.
"Tidakkkk!" Rafanda histeris. Menyadari malapetaka yang menimpanya. Tubuhnya bergetar. Air matanya jatuh tanpa suara.
***
Di sebuah rumah sakit. Di kamar perawatan.
Gerry datang tergesa-gesa ditemani Bara. Dia melihat seorang ibu yang tertunduk lesu disamping Rafa. Matanya sembab karena kesedihan. Gerry perlahan mendekat. Dia melihat wajah pucat Rafa. Infus masih melekat di tangan kanannya.
"Bagaimana Rafa, Tante?"
Ibunda Rafa menoleh dan menatap Gerry sedih. Matanya berkaca-kaca. Ada beban berat di sana. Gerry menggenggam jemari ibunda Rafa. Dia ingat betul, Tante Risa memintanya untuk menjaga Rafa karena menilai Gerry cowok yang jujur dan kuat. Tetapi justru amanah itu tak bisa dilakukannya.
"Kamu kan mengenal Rafa sejak dari Jakarta. Aku dan mendiang ibumu berteman baik. Jadi, tolong jagain Rafa. Dia agak sedikit rewel," pesan Tante Risa tersenyum. Mengenang semua itu, rasa bersalah menyelimutinya.