Masa Kini...
WAKTU berganti. Setamat sekolah, Bara memilih kuliah di Australia. Sedangkan Gerry dan Rafa kuliah di kampus yang sama. Gerry sangat senang mengetahui teman-teman Rafa mahasiswa baik-baik. Rafa juga aktif mengikuti kegiatan di Klub Fotografi. Sementara dia sendiri makin intens berlatih pencak silat.
Hingga sore sepulang kuliah sore itu, Gerry melihat foto Bapak menjadi objek foto Rafa di sela-sela gambar yang diperlihatkan Rafa. Di foto itu, Bapak sedang menjala ikan di sebuah danau bernuansa biru. Meski wajah Bapak tak terlalu jelas, Gerry tahu itu adalah bapaknya. Tak heran, perasaan kalut menyelimutinya ketika Rafa memintanya untuk berkomentar mengenai hasil karyanya.
Bahkan Gerry menemui Bapak di senja itu untuk memintanya tidak muncul ke hadapan Rafa. Dia sangat khawatir Rafa kembali muram. Dia sangat takut, ketika Rafa tahu siapa Gerry sebenarnya. Rafa akan membenci dan menjauh darinya. Gerry belum siap untuk itu.
Sepulang menemui Bapak, Gerry kembali ke rumahnya. Mengambil segelas teh dari kulkas dan menenggaknya. Gerry berbaring. Matanya menerawang jauh.
"Jangan menahan perasaanmu ya," pesan Bara ketika akan pergi. Sampai hari ini, Gerry tidak mengerti arti ucapan Bara ketika itu. "Apa maksudnya? "Gerry berusaha untuk tidur.
Mata elang berwarna cokelat milik Gerry menatap jauh menembus atap rumahnya. Makin ingin memejamkan mata, rasanya semakin sulit. Dia mengangkat tangan kirinya dan melihat gelang pemberian Rafa lima tahun lalu ketika tangannya terluka. Gerry tersenyum membayangkan wajah Rafa. Dia memejamkan mata. Jarum jam di samping tempat tidurnya menunjukkan pukul 00.30.
* * *
Rafa, Dewi, dan Pia bercengkerama sembari menikmati mi bakso. Suasana kantin sore masih agak ramai. Namun Pia tampak gelisah. Gadis berjilbab berwajah sedikit tembem itu mulai memainkan ujung jilbabnya. Rafa dan Dewi melirik Pia. Mereka tahu itu adalah simbol kegelisahan gadis pintar di depannya.
"Kamu kenapa ?" tanya Dewi. Gadis tomboy berambut sedikit cepak yang suka bercelana jins itu bertanya pada Pia. Rafa tersenyum. Dia mengaduk jus alpukat di depannya sebentar lalu melihat Pia.
"Jangan khawatir. Kali ini kamu pasti lolos final debat. Percaya sama aku,"ujar Rafa.
"Sainganku berat. Aku harus pulang belajar," kata Pia.
"Ntar dulu. Riqki mau ke sini. Katanya sih dia lagi jalan dari kelautan ke sini. Nih ada WA-nya," ujar Dewi sembari menunjukkan pesan dari Rifqi.
Rifqi adalah mahasiswa Kelautan yang sudah berteman dengan Dewi, Rafa dan Pia sejak semester satu. Saat itu mereka bergabung di acara festival bersama. Hobi Riqki adalah menyelam. Pia menghela napas panjang. Dia menatap gelas jusnya yang sudah habis sejak tadi. "Iya deh," ujarnya pasrah.
"Oh ya Fa, Gerry ke sini ga nanti?"tanya Dewi.
"Iya. Cuma dia masih di kelas. Ada tugas proposal business katanya,"ujar Rafa.
"Oh gitu."
"Halo semua. Dari tadi ya nunggunya?" Rifqi tiba-tiba nongol di depan Dewi.
"Kamu kenapa telat?" Pia langsung nyerocos dan memukul Rifqi.
"Sorry Pia, tadi ada tugas lab belum sempat kukerjakan. Ikannya mati deh hahahah." Rifki langsung menyeruput jus alpukat milik Rafa.
"Segarnya....," kata Riqki usai mengosongkan gelas Rafa. Gadis itu hanya geleng -geleng kepala lalu tersenyum. Kebiasaan Rifqi kalau datang tergesa-gesa selalu menyeruput minuman temannya yang belum habis.
"Ayo dong, kita berangkat. Katanya mau bantuian aku belajar," Pia berdiri. Rafa celingak celinguk menanti kedatangan Gerry.
Beberapa saat kemudian, notifikasi WA Rafa berbunyi.
"Fa, kamu bisa berangkat duluan? "pesan Gerry.
"Bisa kok. Aku kan udah gede," balas Rafa sembari mengirim gambar emoticon happy.
"Wee," Gerry membelas emoticon mengejek.
Dewi yang berada di sampingnya menyenggol Rafa dan menariknya ke mobil.
Sore itu, Rafa, Dewi dan Riqki menemani Pia berlatih debat. Meski sudah sering ikut lomba, Pia kerap gugup. Dia membutuhkan teman-temannya untuk memberikan semangat. Jadilah mereka bersama menuju rumah dosen pembimbing debat bahasa Inggris. Hampir dua jam Pia ikut bimbingan. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang. Tersisa Rafa di teras rumah.
“Mereka ga asyik. Ninggalin aku sendiri,” gumam Rafa menatap ponselnya. Tiba-tiba ponsel di tangannya berdering.
"Assalamualaikum, Bu?" sapa Rafa.
"Kamu belum pulang?" tanya Ibu.
"Gerry sedang menuju ke tempatku, Bu."
"Syukurlah. Hati-hati ya, Nak," ujar Ibu.
“Iya, Bu.”
Telpon ditutup. Rafa tersenyum. Teman-temannya sudah pulang sejak tadi. Rafa merasa tidak enak jika harus menolak niat Gerry untuk mengantarnya. Padahal dia bisa saja ikut pulang di mobil Riqki. Rafa tersenyum mengingat kebaikan Gerry.