Inikah Cinta?

Affa Rain
Chapter #9

Asma

 

Rafa kembali menatap layar ponselnya. Menelpon dan menelpon lagi. Jawabannya tetap sama. Telepon yang Anda tuju sedang di luar jangkauan. Dia berdiri dari tempat tidurnya menuju jendela. Menatap langit yang dipenuhi bintang.

Rafa menghela napas panjang. Sesekali dia berdiri di jendela, di lain waktu ke kursi dekat tempat tidurnya. Sejak siang tadi hingga malam ini dia belum bisa berkomunikasi dengan Gerry. Rafa begitu khawatir.

"Semoga kamu baik-baik saja, Ger," lirihnya lalu menuju pembaringan. Tangannya sibuk melihat berita mengenai bencana Palu.

"Bencana ini besar sekali. Ya ampun Gerry!" Rafa kembali menghubungi nomor telpon Gerry. Bunyinya tetap sama. Rafa gelisah. Dini hari dia baru bisa memejamkan mata.

 * * *

 

Gerry memasukkan ponselnya dalam tas saat tahu bahwa jaringan telekomunikasi di provinsi itu bermasalah pasca gempa. Meski teringat dengan Rafa, dia fokus untuk melakukan tugas kemanusiaan. Seperti hari ini Gerry mengusap peluhnya. Dia beristirahat di tenda SAR usai seharian berjibaku dengan reruntuhan rumah yang terkena gempa. Gerry mengambil bungkusan dari Rafa yang belum sempat dibukanya. Sebuah syal berwarna biru.

"Makasih Fa," gumamnya tersenyum.

Seseorang mendekati Gerry.

"Pak tolong, Pak!"

Gerry segera menyimpan syal itu kembali.

"Ada apa, Pak?"

"Ada yang minta tolong di balik reruntuhan bangunan," lapor seorang pria bercelana pendek. Dia bergegas menunjukkan arah yang dimaksud.

Bersama rekan-rekannya, tim SAR akhirnya menemukan seorang ibu paruh baya bersama seorang anak kecil berusia sembilan tahun. Kali ini, tim SAR dan beberapa relawan harus bekerja ekstra. Ibu dan anaknya terjebak di bagian tengah rumah.

Menurut saksi mata, mereka sudah berada di sana sejak dua hari lalu tanpa makan dan minum. Setelah empat jam, keduanya berhasil diselamatkan. Gerry dan teman-temannya membawa ibu dan anak itu ke tenda tim medis.

"Asma, tolong dirawat ya," pinta Gerry.

"Siap, Kak." Dengan lincah, tangan Asma membersihkan luka korban.

 * * *

Gerry menatap korban bencana tersebut. Ibu bernama Maria berusaha menahan sakit pada kakinya saat ditangani dokter.

"Dok, bagaimana anak saya? Apakah dia tidak apa-apa? Saya mau tahu keadaannya ... tolong dia Dok," pinta Maria. Matanya sudah basah oleh air mata.

Di ruangan sebelahnya, sang anak laki-laki sedang terbaring lemah. Gerry menghampiri anak laki-laki yang mengalami dehidrasi setelah dua hari bertahan di bawah reruntuhan bangunan. Dia mengusap kening. Ada balutan di bagian tangan dan lenganya. Dari Asma dia tahu, tangan anak itu mengalami patah tulang. Bagian kakinya terdapat luka dan memar.

"Kamu harus sembuh. Ibumu sangat mencemaskanmu," bisik Gerry.

 Anak itu tersenyum. Fisiknya masih lemah. Dia sangat ingin mengatakan sesuatu. Gerry melihat itu mendekat ke wajahnya. "Aku Roy. Makasih kakak," ujarnya pelan.

"Gerry,"ujar Gerry tersenyum dan mengusap rambut bocah laki-laki yang masih mengenakan baju merah putih.

Mereka berdua baru saja pulang dari sekolah dijemput sang ibu saat gempa terjadi. Gerry mengeluarkan cokelat, bekal yang diberikan Rafa padanya. Dia memberikan di tangan kanan Roy. Bocah berambut hitam dan lurus itu mengangguk dan tersenyum.

Gerry menatap sekeliling dan melihat begitu banyak orang terluka di tempat itu. Ada kesedihan di wajah Gerry mengingat momen menyelamatkan Roy dan ibunya yang memakan waktu hingga empat jam. Mereka harus berjibaku memotong balok kayu, mengangkat beton yang menghimpit mereka agar bisa mensuplai minuman.

Telat sedikit saja, mereka tahu, ibu dan anaknya tidak akan bertahan lama. Mata Gerry berkaca-kaca. Dia mengingat kejadian saat ibunya sakit usai mengalami kecelakaan. Saat itu, dia dan adiknya, Dedi mendampingi sang ibu hingga menemui ajal. Gerry mengusap wajahnya. Rasa sedih dan lelah menderanya. Dia menguap hingga tertidur.

* * *

Gerry terbangun saat cahaya matahari menyentuh wajahnya dari balik jendela tenda hijau tua itu.

"Kakak sudah bangun?" sebuah suara menyapanya.

Itu suara Roy.

"Eh, ya.. aku kecapean sampai tertidur di sini," ujar Gerry.

"Aku sudah buatkan susu hangat. Untukmu dan adik kecil kita, Roy," ujar Asma sembari meletakkan dua cangkir susu di samping pembaringan Roy.

Lihat selengkapnya