Rafa dan Dewi sedang asyik memandang langit senja hari. Rafa melihat kembali kameranya. Mengamati satu demi satu hasil fotonya.
Dia tersenyum.
"Wi, lihat deh ini keren kan?"
Dewi melihat view finder dan tersenyum.
"Ini keren, Fa. Wah kamu makin jago motretnya," puji Dewi.
"Ini bisa buat pameran dua bulan lagi nih," ujar Dewi sembari melihat Rafa yang tersenyum lebar.
"Oh ya Fa, gimana kabar Bara?"
Pertanyaan Dewi membuat Rafa seolah kembali ke masa lalu. Dewi tahu siapa yang mengajari Rafa mencintai fotografi. Namun dia penasaran kisah mereka berdua.
Rafa terdiam. Bayangan saat Bara mengenalkan fotografi kembali muncul di benaknya. Rafa tersenyum. Dia mengingat kembali saat Bara datang ke rumahnya dan memotret bunga matahari untuk menghiburnya.
"Hei, kamu tersenyum Fa?"
Rafa menoleh.
"Kamu tahu. Bara itu sangat baik padaku."
"Iya kamu kan pernah cerita. Tapi kenapa kamu tidak menjawab perasaannya ketika itu?"
Rafa terdiam lagi. Tak ada satupun tahu masa lalunya yang kelam kecuali Gerry dan Bara. Wajah Rafa berubah sendu. Namun dia berusaha tersenyum.
"Sudahlah Wi. Ga usah dibahas. Dah lewat."
Rafa berdiri. Dewi dipenuhi tanda tanya.
"Apakah kamu mencintai Gerry?"
Rafa terkejut. Matanya membulat sempurna.
"Apa? Kamu becanda!!?"
"Lo, apa yang salah Fa? Cinta itu kan bisa muncul karena sering bersama?"
Rafa tersenyum melihat sahabatnya yang dikenal sejak masuk kuliah itu. Meski bersahabat, rahasia masa lalu itu masih tersimpan rapat. Dewi mendekati Rafa. Dia tersenyum lebar.
"Kalau begitu kamu menyukai Bara tetapi kamu dekat sama Gerry dan kamu tidak mau Gerry sedih kan?"
Rafa terkejut dengan analisa Dewi yang kacau menurutnya.
"Pantas saja kamu ga lulus di jurusan psikologi, Analisamu kacau sekali."
Keduanya tertawa.
"Wait, jadi hubunganmu dengan Bara dan Gerry apa? Hanya teman?”
"Ya iyalah. Oh ya kamu dengan Riqki udah jadian kan?"
Kali ini, Dewi yang kaget.
"Kok kamu tahu sih?!"
"Satu kelas kita juga tahu. Bapak-bapak yang mancing ikan di sana itu juga tahu kok. Hahahah..."
Tiba--tiba hape Dewi berbunyi.