Seandainya saja Bara tidak tahu kisah masa lalu mereka, tentu dia tak sekhawatir ini. Bagaimana jika Bara mengungkapkan fakta sesungguhnya pada Rafa bahwa orang bejat yang telah merenggut harga dirinya sebagai wanita itu adalah bapak angkatnya? Bapak dari sahabat yang selalu menemaninya dalam suka duka selama ini.
Bagaimana nanti dia akan menghadapi Rafa? Gerry benar-benar tak siap. Apakah Bara akan mengungkapkannya? Dengan alasan apa? Bukankah mereka berdua berjanji akan menyimpan rahasia itu menunggu waktu yang tepat? Apakah ini saatnya?
Apakah Bara sengaja memancing kalimat itu saat mereka di kantin kemarin untuk mengusik ketenangannya? Ataukah Bara ingin tahu perasaannya terhadap Rafa?
Gerry menenggak minuman soda dari botol kaleng di tangannya. Hatinya benar-benar gelisah. Pikirannya kalut sampai tak menyadari kehadiran seseorang di dekatnya.
“Serius amat, Kak?” tegur seorang gadis yang sudah berdiri di sampingnya. Pemuda itu terkejut.
“Asma?”
Gadis itu tersenyum. Jilbab warna pinknya melambai tertiup angin. Mengenakan rok biru muda dan kemeja warna dusty, dia terlihat anggun. Gerry sempat terkesima melihat penampilan Asma yang berbeda saat mereka menangani korban bencana di Palu.
Wajah putih gadis itu tampak kemerah-merahan terkena cahaya jingga yang hadir di taman fakultas sore itu.
“Silakan duduk, As.”
Gadis itu mengangguk dan duduk di kursi depan Gerry.
“Kamu ga nyasar ke sini?”
“Kan ada GPS. Lagipula Kak Gerry kan udah kirim lokasinya.”
“Oh ya, aku lupa sekarang era digital. Apapun mudah, jadi gak pakai kesasar lagi. Oh ya, katanya kamu ada perlu sama saya. Ada yang bisa saya bantu?”
Asma terdiam sesaat menatap pria di hadapannya. Sebenarnya dia tak punya alasan urgen yang harus membuatnya berada di kampus ini. Apalagi jauh-jauh datang dari Kota Sungguminasa, Gowa untuk menemuinya. Asma hanya ingin melihat pemuda itu. Itu saja.
Tapi saat Gerry bertanya, tampak jelas pemuda itu hanya menganggapnya teman seperjuangan saat bencana gempa di Palu. Bagi Asma, itu tak masalah. Bukankah hatinya juga baru sekadar tertarik dengan kebaikan Gerry. Dia hanya ingin mencari tahu seperti apa karakter Gerry sebenarnya.
"As, kok malah diam?” usik Gerry memamerkan senyumnya yang memikat.
“Eh, iya itu Kak. Ehm, aku mau belajar soal bisnis retail? Kak Gerry kan dari Ekonomi, juga ada usaha minimarket kan?”
“Oh ya? Kamu tahu darimana?”
“Zaman sekarang, informasi apapun punya jejak digital, Kak. Intinya, Kak Gerry mau gak?”
“Hem, dengan senang hati. Kamu malah bisa belajar di salah satu minimarket saya. Kebetulan nanti, saya mau ke sana.”
“Apa aku boleh ikut?”
Gerry berdiri lalu tersenyum.
“Tapi, kamu ga keberatan naik motor, soalnya kamu itu kan…”
Gerry ragu melihat busana muslim yang dikenakan Asma jika menawarinya naik motor besar. Namun, Asma tersenyum.
“Oh ga apa-apa kok, Kak.”
“Ok.”
Keduanya lalu berjalan menyusuri jalan menuju minimarket yang cukup besar di kawasan Jalan Ahmad Yani. Mereka berhenti di depan sebuah minimarket bernuansa jingga bertuliskan "Seishin" berwarna hitam.
“Nah ini, salah satu minimarket yang aku kelola langsung. Saat kita berada di Palu, adikku, Dedi yang membantu,”beber Gerry sembari menyusuri lorong minimarket yang cukup ramai. Asma manggut-manggut mendengar kalimat Gerry.
"Namanya menarik, Seishin. Artinya apa, Kak?"
"Semangat, dari bahasa Jepang."