Gerry termangu di ruang kerjanya di minimarket. Sejak tadi, sang adik Deddy, memerhatikan kakaknya itu diam hanya menatap laporan keuangan di hadapannya. Ga sabar, Deddy menegur Gerry.
“Apa laporan ku bermasalah?”
Gerry masih diam. Lamunannya terbang pada kejadian saat hunting foto beberapa hari lalu. Saat Rafa dan Bara begitu akrab dan berpelukan. Hatinya tak terima. Bahkan ucapan Bara ketika mereka usai hunting foto di Rammang-Rammang , membuatnya makin gelisah.
“Apakah kau masih ingat kata-kataku saat kita lulus SMA dulu, Ger?”
“Kata-katamu yang mana?”
Bara mendekatkan diri pada Gerry. Khawatir Rafa dan Asma yang sedang bersama mereka, mendengar.
“Aku ga yakin kamu ga akan mencintainya. Sekarang ataupun nanti. “
Gerry tercekat. Bara tersenyum.
“Bagaimana, Ger?”
Gerry memaksakan diri tersenyum. “Kau ini, dia sahabatku.” Begitu berat kalimat itu kini. Bara tersenyum lebar dan menepuk bahu Gerry. Usai mengobrol bersama Gerry, Bara mendekati Rafa yang sedang mempersiapkan kameranya. Sore itu mereka akan hunting foto sebelum kembali ke Makassar.
Saat treking di perbukitan, Gerry melihat Bara begitu menempel pada Rafa.
“Hati-hati, Fa!” seru Bara lantas menangkap tangan Rafa ketika gadis itu terpeleset. Tak urung gadis itu terjatuh juga karena menginjak bebatuan yang licin karena tertutup lumut.
Gerry yang melihat itu spontan mendekat dan segera meraih tubuh Rafa. Dia menatap tajam pada Bara seolah tak rela gadis itu berada di pelukan Bara kedua kalinya setelah menyaksikan Rafa memeluk Bara di ruang tamu penduduk kemarin malam. Bara menghelas napas, kesal. Sementara Asma terdiam menyaksikan adegan itu.
“Rafa, apanya yang sakit?” Gadis itu meringis memegangi kakinya. Gerry memeriksanya.
“Cuma terkilir, Ger. Ga apa-apa,”jawab Rafa lalu menaruh kamera itu di dekatnya.
“Kameranya biar aku yang bawa. Kita kembali ke rumah saja,” ucap Gerry lalu berdiri. Namun, tak diduga, Bara sudah berjongkok di depan Rafa dan siap membopong Rafa.
“Naik ke punggungku, Fa. Kita tidak akan membuat teman-temanmu menunggu karena kakimu terkilir kan?” Rafa berpikir sejenak dan membenarkan argumen itu.
“Sorry, Bar. Gue berat ya?”
“Hemm, sepertinya sama kayak angkat karung beras 60 kilogram.”
“Eh,… berarti…”
“Kamu lebih berat dan gendut, hahahaha…”
Asma tersenyum melihat pemandangan mesra di depannya. Dia menyikut Gerry yang sejak tadi diam.
“Mereka lucu ya, Kak.”