Gerry mengurungkan langkah saat menyadari kehadiran Bara di rumah Rafa.Dia baru saja akan berbalik saat sebuah suara menyapanya.
“Nak Gerry, kenapa ga masuk? Itu ada Bara juga lo. Ayo masuk,” ajak Risa, ibunda Rafa tersenyum sembari melangkah memasuki teras. Mau tidak mau, Gerry mengikuti langkah kaki Risa hingga mereka kini tiba di teras tempat dimana Rafa dan Bara sedang berbincang. Rafa tersenyum dan segera berdiri menyambut keduanya.
“Ibu? Gerry? Janjian ya, hehehe…”canda Rafa. Bara tersenyum.
“Tadi abis dari rumah Pak RT, ketemu Gerry di luar. Masih adakan pisang gorengnya, Fa?”
“Masih, Bu. Tapi masih mentah belum digoreng. Biar Gerry aja yang goreng sekalian. Dia kan bisa, Ma,” celoteh Rafa ceria.
“Ah kamu ini, Fa. Ibu masuk dulu ya,” ucap Risa. Namun baru saja akan memasuki pintu rumahnya, perempuan itu terkejut.
“Eh beneran abis ya pisangnya?”tanya Risa.
“Beneran, Tante. Soalnya enak sih pakai cokelat. Rafa masih inget aja kesukaanku,” tutur Bara yang sengaja memanasi Gerry.
“Makanya, Bu, tadi aku bilang, biar Gerry yang goreng sendiri. Pisangnya dah abis dimakan sama Bara,” ucap Rafa tersenyum lebar.
“Iya deh,” jawab Gerry pasrah. Dia lalu melangkah melewati pintu menyusul Risa.
“Lo, beneran lo mau goreng sendiri Ger?” tanya Rafa heran. Padahal dia berniat yang mau goreng pisang untuk Gerry.
“Ya iyalah. Udah sana ngobrol sama Bara. Gue mau goreng pisang,” jawab Gerry dengan perasaan yang dibuat senyaman mungkin.
Rafa mengangguk dan melanjutkan ngobrol bareng Bara. Pemuda itu banyak bercerita tentang kuliahnya di Jakarta.
“Fa, nanti kalau udah lulus kuliah mau lanjut S2 atau lo mau bantu ibu kamu bisnis?”
Sejenak Rafa terdiam. Harus menjawab apa. Dia bukannya tak memikirkan apa yang menjadi cita-citanya. Dia ingin membuat sebuah perusahaan sendiri yang fokus membuat event untuk mensupport bisnis ibunya. Namun dia juga ingin melanjutkan kuliahnya. Namun ibunya pernah memberikan saran agar dia menikah sebelum menuntut ilmu. Rafa tersenyum sendiri. Menikah? Ibu begitu ingin menimang cucu.
“Fa, kok malah senyum sendiri? Kamu sudah membuat rencana masa depanmu?” tanya Bara tak sabar. Apapun jawaban Rafa, dia siap menunggu gadis itu untuk bersanding dengannya. Bahkan di awal obrolan tadi sebenarnya, dia sudah memberi sinyal kepada ibunda Rafa soal niatnya melamar tanpa sepengetahuan Rafa. Namun dia masih ragu, apakah Rafa sudah membuka hati untuknya.
“Saat ini, aku mau kuliah dulu. Setelah selesai aku mau rintis usaha sendiri. Jika sudah berjalan baik aku mau lanjut studi. Gimana menurutmu, Bar?” Rafa merasa dia begitu terbuka terhadap Bara. Selama ini, dia hanya mengatakan kepada Gerry kalau dia akan merintis usaha sendiri. Kepada Bara, dia juga mengungkapkan cita-citanya untuk lanjut S2, tidak kepada Gerry.
“Kamu hebat, Fa. Aku siap mendampingimu meraih masa depanmu. Boleh?” tanya Bara terus terang. Rafa dibuat tersipu. Dirinya tersanjung. Namun hatinya yang lain belum bisa merespon apapun. Rafa masih merasa dia bukan perempuan yang pantas untuk teman baiknya.
“Makasih, Bar. Kamu emang bisa membuat orang senang. Oh ya, aku lihat ke dalam dulu ya. Kali pisang goreng buatan Gerry gosong, hehehe…” ucap Rafa lalu berdiri dan memasuki pintu rumahnya dengan perasaan yang tak menentu. Bara mengangguk diikuti segaris senyum hangat.
Di dapur, Gerry sibuk mengaduk adonan tepung. Dia bergumam sendiri.
“Nasibku apes banget. Bukannya menikmati bintang bersamanya, malah terjebak bersama pisang ini.”