Inikah Rasanya Kehilangan

Okhie vellino erianto
Chapter #1

Trauma Awal #1

Suara sirine ambulans memekakkan telinga, membelah malam yang basah. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menguar samar di sekitar Rumah Sakit Metropolitan Trauma Center.

“Pasien laki-laki! Kecelakaan motor! Multiple fracture, kemungkinan pendarahan internal!” teriak salah satu paramedis sambil mendorong ranjang darurat ke UGD.

Karina yang baru saja duduk di ruang perawat langsung berdiri reflek. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut, tapi karena adrenalin yang otomatis terpacu setiap ada kasus trauma baru.

“Siapkan akses IV, pasang monitor EKG, cek saturasi oksigen!” teriaknya sambil mengenakan sarung tangan lateks.

Pasien di atas ranjang tampak setengah sadar, wajahnya berlumuran darah, kakinya bengkok ke arah yang tidak wajar. Nafasnya berat. Paramedis berusaha menstabilkan tekanan darah sambil memasang oksigen.

“Tekanan turun, dok. 90 per 60!”

“Segera cek hemoglobin! Siapkan transfusi PRC 2 kantong!”

Tim medis bergerak cepat. Karina menempelkan stetoskop ke dada pasien. Napasnya terdengar lemah. Saturasi oksigen mulai turun.

"Siapkan intubasi!"

Salah satu perawat mengangguk cepat, mengambil alat intubasi.

Pintu UGD kembali terbuka. Dr. Livia masuk dengan langkah cepat, matanya langsung mengunci pada pasien.

"Apa yang kita punya?" tanyanya cepat.

"Laki-laki, 32 tahun. Trauma tumpul di perut, fraktur terbuka di femur kanan, tekanan darah terus turun, saturasi 88%."

Dr. Livia mengangguk cepat. "Baik. Siapkan untuk operasi. Kita harus eksplorasi perutnya sekarang."

"Siap, Dok!"

Karina menghela napas sebentar sebelum ikut mendorong ranjang menuju ruang operasi. Tangannya sedikit bergetar. Bukan karena gugup, tapi karena pikirannya sedang kacau.

Karina duduk sendirian di ruang istirahat dokter. Di tangannya, sebuah test pack dengan dua garis merah. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar.

‘Bagaimana ini? Bagaimana aku harus bilang ke Papa? Ke Mama? Ke Raka? Ke semua orang?’

Seketika handphone-nya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Mama:

Air mata Karina jatuh. Dia memejamkan mata, menarik napas panjang.

"Kenapa aku bodoh banget sih..." bisiknya pelan.

Beberapa menit setelah operasi selesai, Karina duduk lemas di sudut ruang dokter. Pipinya pucat, matanya sayu.

"Karina?" suara lembut memanggilnya.

Karina mendongak. Dr. Livia berdiri sambil membawa dua gelas kopi.

"Kamu butuh ini," katanya sambil menyodorkan satu gelas.

Karina memaksakan senyum. "Makasih, Dok."

Dr. Livia duduk di sampingnya. "Kamu kelihatan nggak baik-baik aja."

Karina menunduk. "Saya cuma... capek, Dok."

"Capeknya beda, Karina. Saya lihat banyak residen burnout, tapi kamu bukan cuma burnout."

Karina terdiam. Ingin sekali rasanya dia bercerita, tapi mulutnya terasa terkunci.

"Aku di sini kok, Karina. Kalau kamu butuh tempat cerita, kamu bisa percaya sama aku."

Karina menatap mata mentornya. Ada kehangatan di sana. Ada rasa aman. Tapi dia tetap memilih menahan semua sendirian.

Meja makan besar dengan taplak bermotif bunga terhampar rapi. Masakan ibu memenuhi meja: sop buntut, ayam goreng, sambal goreng kentang, tumis buncis.

"Raka, cepat turun! Kakakmu udah sampai!" seru Ibu dari dapur.

Dari lantai dua, Raka berjalan malas-malasan. Kaos band hitam, celana jeans belel, rambut acak-acakan, headset di telinga.

"Hari Minggu kok malah manggil makan kayak briefing PH, sih," gumamnya.

"Jangan ngomel. Cepetan duduk," kata ayahnya sambil tersenyum.

Begitu Raka duduk, suasana meja makan mulai penuh suara.

"Karina, minggu ini sibuk banget ya? Mama lihat matamu makin sayu," kata Ibu sambil menuangkan sup ke mangkuk Karina.

"Sedikit banyak pasien trauma, Ma. Minggu kemarin ada tabrakan beruntun, pasiennya lumayan berat."

Ayah tersenyum bangga. "Anak Papa memang luar biasa. Gimana? Udah dapet tawaran fellowship ke trauma center di Jepang, kan?"

Karina mengangguk pelan. "Masih proses seleksi, Yah."

"Papa yakin, kamu pasti tembus."

Raka cuma mengaduk makanannya. Seperti biasa, semua pembicaraan selalu kembali ke kakaknya. Seolah-olah dia cuma pengisi kursi kosong di meja makan.

Ibu melirik Raka. "Kamu kapan mulai ikut bantu di kantor Papa?"

Raka mendesah. "Aku udah bilang, Bu. Aku pengen di film. Sekarang juga lagi ada project. Mau kolaborasi sama PH yang lumayan gede."

"Film itu kan nggak jelas, Rak," sahut Ayah. "Hidup tuh harus realistis. Di perusahaan Papa, masa depan kamu aman."

"Yah, aku pengen ngejalanin hidup aku sendiri. Passion aku bukan di marketing atau finance," jawab Raka sambil menahan nada.

"Apa susahnya sih, sekali-sekali nurutin orang tua?" suara Ibu mulai meninggi.

"Sudah," potong Karina cepat, mencoba menengahi. "Kasih Raka waktu. Siapa tahu dia bisa bikin film kayak Angga Dwimas atau Joko Anwar."

Ayah hanya menghela napas. "Kamu selalu terlalu baik sama adikmu."

Raka menatap Karina sekilas, matanya dingin.

Di balik kata-kata manis Karina, ia selalu merasa diperlakukan berbeda. Semua orang menganggap Karina 'sempurna'. Sementara dirinya? Hanya bayangan. am dinding menunjukkan pukul 03.47 pagi. Jam segini, normalnya orang sudah lelap di tempat tidur, tapi tidak di sini. Di rumah sakit, kehidupan berjalan tanpa mengenal waktu.

Karina berdiri di depan ruang IGD, mencoba menahan kantuk dengan meneguk kopi instan sachet yang sudah terasa lebih mirip air comberan daripada kopi.

“Gila... Kopi sachet RS ini kayaknya dibuat dari ampas kopi perang dunia kedua.” gumamnya pelan.

Tiba-tiba pintu IGD terbuka cepat.

“Pasien baru, Dok! Kecelakaan tabrak lari, luka bakar grade 2-3, trauma kepala,” teriak perawat.

Karina langsung siaga. “Ayo masuk ke trauma bay 1!”

Seorang pria muda dibawa masuk dengan ranjang darurat. Separuh wajahnya melepuh, lengan kanannya berdarah hebat.

Karina langsung bergerak cepat. "BP? Saturasi?"

“BP 80/40! Saturasi 85 persen, Dok!” jawab perawat cepat.

"Masukkan cairan cepat, bolus 500 cc Ringer Lactate, siapin intubasi, monitor EKG sambil jalan!" katanya sambil mengganti sarung tangan.

Perawat mulai panik melihat saturasi terus menurun.

"Dok, saturasi drop 79!"

Dengan sigap, Karina langsung mengambil laringoskop.

"Napas, Pak… Bantu saya... Tenang ya…"

Dalam hitungan detik, intubasi berhasil. Saturasi perlahan naik kembali ke angka 90.

"Stabilkan. Panggil ICU, dia butuh observasi ketat."

Semua orang di ruangan bernapas lega. Lalu suara khas itu terdengar:

"Mantap, Karina."

Dr. Livia berdiri di ujung ranjang pasien sambil mengacungkan jempol.

Lihat selengkapnya