Inikah Rasanya Kehilangan

Okhie vellino erianto
Chapter #2

Dunia Film Raka Mulai Berjalan #2

Pagi itu, di sebuah bangunan ruko sederhana yang sudah disulap menjadi basecamp produksi film, Raka bersama timnya sedang rapat produksi.

Di dinding, naskah besar terpampang, lengkap dengan garis waktu produksi. Poster mockup film mereka, “Langkah Sunyi”, sudah mulai dicetak.

"Bro, lighting untuk scene kafe udah di-lock ya, Sabtu nanti kita test shoot," kata Edo, DOP (Director of Photography) yang sudah setia sama Raka sejak zaman short movie di kampus dulu.

"Siap Ed. Kamera gimana? Udah turun?"

"Udah, Red Komodo udah diantar sama vendor. Tinggal lensa aja tunggu konfirmasi."

Raka mengangguk.

Matanya fokus, tapi pikirannya masih kebayang-bayang pembicaraan dengan Karina di rooftop kemarin.

Di sisi meja yang lain, ada Dini Script Supervisor merangkap orang paling bawel se-studio itu.

"Raka, lo jangan telat briefing sama investor PH Hartanto besok, ya! Itu mereka yang bakal ngucurin dana gede buat shooting outdoor kita!" kata Dini sambil ngetik cepat di laptop.

"Heh, lo pikir gue lupa? Nanti malah lo yang gue suruh presentasi lho," balas Raka setengah bercanda.

Satu ruangan langsung ketawa. Bumbu komedi kecil yang selalu bikin tim mereka tetap cair walau tekanan terus naik.

"Jangan gitu, bos! Gaji gue masih level mie instan, jangan dikasih kerjaan tambahan," timpal Dini sambil pura-pura protes.

Di tengah obrolan santai itu, tiba-tiba HP Raka berdering. Nama di layar: Pak Hartanto ayah Arya, pemilik PH besar yang sekarang sedang melirik project filmnya.

"Permisi sebentar ya," Raka keluar dari ruangan untuk angkat telepon.

"Selamat pagi, Raka. Apa kabar?"

"Baik, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini, Nak. Saya sudah melihat progress project kamu, menarik sekali. Saya juga dengar kamu sudah akrab dengan Arya. Itu mempermudah banyak hal."

Raka mengernyit, suaranya langsung datar.

"Profesional, Pak. Urusan pekerjaan, saya pisahkan dari pribadi."

Pak Hartanto tertawa kecil di seberang.

"Bagus. Itu mental orang bisnis. Tapi ingat, semua orang sukses itu tahu kapan harus kompromi. Jangan terlalu kaku. Dunia ini tidak hanya hitam putih."

Raka mengepalkan tangan.

Setelah Telepon

Raka kembali ke ruang meeting.

Mukanya langsung dibaca sama Edo.

"Kenapa bro? PH gede itu mulai nyebar tekanan ya?"

"Yah… semacam itulah," jawab Raka sambil menarik napas panjang.

Dini nyeletuk lagi, "Ya udah, anggap aja ujian mental calon sutradara besar. Lagian kalo gagal, lo bisa buka usaha wedding organizer kok. Banyak duit juga tuh."

Semua kembali ketawa, menurunkan ketegangan.

Tapi di kepala Raka, tekanan terus menumpuk. Apalagi dengan situasi Karina sekarang. Pilihan yang dia punya semakin menyempit.

Setelah semua kru pulang, hanya tersisa Raka, Edo, dan Dini.

"Gue ngomong serius ya sekarang," buka Raka sambil menuang kopi sachet murahan ke gelas plastik.

"Project ini jalan terus. Gimanapun caranya. Tapi gue nggak mau project ini jadi alat permainan politik PH mana pun. Kita produksi film, bukan jual harga diri."

Edo mengangguk mantap.

Dini mengacungkan jempol.

"Setuju, Bos. Team kecil, tapi solid!"

"Kalau sampe ada yang main belakang, baik dari mereka atau bahkan Arya sekalipun... gue cabut. Gue mending mulai dari nol lagi," lanjut Raka dengan tatapan keras. Raka datang sendirian menghadiri meeting resmi. Di ruangan besar itu sudah ada Pak Hartanto, Arya, dan beberapa eksekutif PH lain.

"Selamat datang, Raka," sapa Pak Hartanto ramah, tapi nadanya terasa dingin.

"Terima kasih sudah mengundang, Pak."

Mereka mulai membahas breakdown anggaran, lokasi syuting, sampai distribusi. Semua berjalan sangat profesional di permukaan.

Tapi di sela-sela pembicaraan, sesekali Arya melirik ke arah Raka.

Ada tensi yang tak terlihat oleh mata awam.

Setelah meeting berakhir, Pak Hartanto menahan Raka.

"Raka…"

"Ya, Pak?"

"Anggap saja ini obrolan pribadi. Kamu kan sudah sangat dekat dengan Karina."

Raka menahan nafas.

Dia sudah mengira kemana arah pembicaraan ini.

Lihat selengkapnya