TEEEEEEEEET.
Nyaring klakson kereta api memekakkan telinganya.
Kakinya berlari sekencang-kencangnya, mengejar kereta api yang seharusnya berhenti di stasiun tempatnya menunggu.
Tapi kereta api itu sama sekali tidak melambat. Padahal Raze harus naik ke kereta api itu. Raze harus— TET. TET. TET. TEEET. TEEET. TET. TET. TET.
Klakson kereta api berbunyi lagi. Tidak hanya sekali, tapi dua kali, bahkan tiga kali. Dalam iringan nada yang sama.
Bagai bunyi SMS yang katanya dulu sangat populer. Raze mempercepat larinya hingga dia terguling... jatuh dari tempat tidurnya. Bangun dari mimpi buruknya.
Matanya terbuka. Suara nyaring itu masih ada. Matanya mengedip-ngedip, menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang. Cahaya matahari berusaha menerobos tirai tebal jendela, tapi gagal seperti biasa. Hanya beberapa garis cahaya yang masuk.
Suara berisik masih terdengar. Raze mengerang saat menyadari bunyi itu adalah bel rumahnya. Dia mencari-cari smartphone-nya. Saat melihat jam yang tertera... Raze mengerang lebih keras dan menjatuhkan punggungnya ke atas karpet empuk di tengah kamarnya.
Masih pukul delapan pagi! Siapa yang menekan bel rumahnya pagi-pagi?! Raze menarik bantal ke atas karpet dan membenamkan kepalanya di bantal.
Lalu rumahnya mendadak hening.
Apa si tamu sudah menyerah? Raze menghela napas lega dan berguling telentang sambil mengecek smartphone. Tidak ada chat personal, hanya ada notifikasi dari grup chatting.
Grup geng sekolah yang kemarin malam masih bernama ‘Liburan ke mane?’ sekarang telah berubah menjadi ‘Digigit Macan’. Ada 298 notifikasi dan masih terus bertambah.
Jempolnya menggeser ke atas, membaca chat teman-temannya dan menemukan bahwa nama grup itu sudah berubah beberapa kali. Dari ‘Beautiful Eropa’, ‘Rusia panas cuk’, sampai ‘Sydney beku’.
Ternyata salah satu temannya, Tio, digigit macan saat sedang liburan di Afrika. Gila. Raze mengetik cepat, ikut berkomentar, menanyakan kondisi Tio. Kemudian Raze menggeser jempolnya ke atas lagi, membaca chat teman-temannya yang berbagi cerita tentang kegiatan mereka selama berlibur di luar negeri. Semua anggota gengnya memang pergi ke luar negeri bersama keluarga. Rata-rata pergi selama hampir sebulan.
Kecuali Raze.
Cuma orang tua Raze yang pergi ke luar negeri dan lupa membawa anak tunggal mereka.
Tidak heran. Orang tuanya bercerai sejak dua bulan lalu.
Selama setahun terakhir, mereka hanya pulang ke rumah saat hari sudah malam lalu tidur di dua kamar yang berbeda di lantai satu.
Saat tak sengaja bertemu di rumah, orang tuanya seperti dua orang asing. Tidak ada sapaan, senyum pun tidak. Ayahnya akan fokus pada pekerjaannya, entah itu di telepon atau di ruang kerja lantai satu. Sedangkan ibunya lebih banyak di kamar, sibuk dengan akun-akun social media, dengan telepon-telepon penuh gosip dari teman-teman sosialitanya, atau dengan ahli- ahli pemanjaan diri yang diundang ke rumah.
Kadang-kadang, orang tuanya pulang hanya untuk mengambil baju atau barang yang ketinggalan lalu pergi lagi.
Entah ke luar negeri, luar kota, atau sekadar menginap di hotel bintang limanya Jakarta.
Setiap kali mereka ada di rumah pun, Raze tidak tahu harus mengobrol apa dengan mereka. Dia punya segalanya di smartphone. Kontak teman-temannya ada di sana.