I’m so alone Nothing
feels like home
Raze menyambar smartphone-nya. “Halo.”
Suara berat di ujung sambungan mengabarkan bahwa butuh waktu untuk mengantarkan makanan yang dia pesan. Raze mendecak. Kata pria itu, gara-gara hujan deras sejak pagi, jalanan terendam cukup tinggi hingga tidak bisa dilewati. Salah satunya adalah akses utama menuju kompleks perumahan Raze.
“Terobos,” katanya datar.
Suara dari ponselnya cuma sempat berkata, “Baik, akan kami usahaka—” sebelum telepon diputus oleh Raze. Smartphone-nya dia lempar ke sofa, lalu dia membenamkan badannya di sofa empuk.
Hujan memang turun deras sejak pagi. Guyuran air hujan mendesau berisik, meredam suara-suara lain hingga Raze harus memaksimalkan speaker-nya. Sejak bangun tidur hingga sore ini, telinga dan matanya terus dimanjakan oleh home theater yang menyuguhkan serunya flm action penuh adegan tembaktembakan, tabrakan, dan teriakan-teriakan pemainnya.
Tapi dia sudah bosan menonton flm sejak setengah jam lalu. Sekarang Raze memainkan permainan konsol favoritnya, Play Station 4. Jari-jarinya berlompatan di atas stick, menekan dengan sangat seru hingga—
TEEET
Bel rumahnya. Mata Raze tetap fokus pada layar televisi. Dia tidak pernah peduli pada bunyi bel. Bukan dia yang bertugas untuk mengecek siapa yang menekan bel. Selalu ada satpam atau pembantu yang membukakan pagar atau pintu lalu bertanya siapa yang dicari oleh si tamu.
Jempol dan telunjuknya masih penuh aksi menekan stick. Tapi—
TEEET. TEEET.
Bel masih saja berbunyi nyaring. Kenapa tidak ada yang membukakan pagar? TEEEEEEEEET.
Raze memaki. Stick dia banting. Dia kalah. Dihantam telak dan tidak bisa bangkit lagi. Ini gara-gara bunyi bel yang keras, panjang, dan mengganggu hari libur pertamanya. Ke mana orang-orang yang sudah dibayarnya—
Oh. Matanya memutar sebal. Dia baru ingat.
Rumah megah dan besar ini hanya dihuni olehnya seorang. Pembantu, satpam, tukang kebun, sopir, dan kacung-kacung lainnya sudah dia usir. Semua. Mereka selalu mengganggunya. Seliweran di depan matanya saat dia sedang bermain PS. Mengetuk kamarnya saat dia sedang menggebuk drum. Membangunkannya jika hari sudah terlalu siang. Membangunkannya di hari libur!
TEEEEET. TEEEEEEEEET.
Dia mengumpat lagi. Manusia macam apa yang betah di depan pagar rumahnya saat hujan deras begini?! Raze bangkit berdiri. Langkahnya menuruni tangga dengan cepat. Di lantai satu dia masuk ke ruang pengawasan sebesar kamar mandi. Satu sisi dindingnya dipenuhi oleh delapan televisi. Semua televisi itu menyala dan menampilkan gambar berbeda-beda dari setiap sudut rumah yang disorot oleh kamera CCTV.
Raze memperhatikan satu layar yang menyorot depan pagarnya. Matanya menyipit. Kacamata bingkai hitamnya dinaikkan ke pangkal hidungnya. Tayangan CCTV-nya tidak begitu bagus karena hujan deras. Tapi dia bisa menebak-nebak orang seperti apa yang berdiri di depan pagarnya.
Awalnya hanya terlihat payung hijau, lalu benda itu bergeser hingga Raze bisa melihat sosok di bawahnya. Itu cewek. Rambutnya dikucir banyak. Empat kuciran kalau dia tidak salah hitung. Pakai baju warna merah dan celana pendek. Ada sepeda di belakangnya.
TEEEEEEET
Cewek itu barusan menekan bel lagi. Tidak kelihatan bagaimana raut mukanya. Tapi Raze tak ada niatan untuk menembus hujan deras dan membukakan pagar.
Dia menunggu. Cewek tak dikenal itu mana mungkin mau kehujanan lama-lama, kan? Cewek itu pasti akan segera pulang. Raze sangat yakin—
TEEEEEEET. TEEEEEEET. TEEEEEEET.
Raze meremas tangannya. Sudah lebih dari sepuluh menit sejak bel pertama berbunyi, cewek itu masih betah di depan pagarnya!