Inilah Jalan Hijrahku

Mizan Publishing
Chapter #1

Bab 1

Kenapa saya berubah?

Dan kenapa sekarang?

Atau dalam bentuk lain yang lebih

lugas tanpa tedeng aling-aling:

“Kok, gitu banget berubahnya?”

“Enggak nyangka lo kayak gini.”

“What happened to you?”

“Siapa yang nyuruh?”

“Are you okay? Really?”

Belakangan, saya dan Muna sering menerima

pertanyaan dan pernyataan seperti itu,

utamanya setelah kami berhijrah.

Sebagian memang benar-benar ingin tahu, mungkin penasaran.

Sebagian lagi cenderung meragukan,

atau bahkan khawatir dan curiga.

BAGI SAYA, BERUBAH

ADALAH SEBUAH KEHARUSAN. MUTLAK!

NO OTHER CHOICE

SAYA BERUBAH KARENA TIDAK ADA PILIHAN LAIN, KECUALI BERUBAH. KALAU MASIH ADA PILIHAN, KITA BIASANYA MASIH BISA BERKELIT. TAPI, SAYA DALAM POSISI TIDAK BISA BERKELIT ALIAS MENTOK.

Awalnya, niatan untuk berubah sekadar menyenangkan Muna, demi mempertahankan pernikahan. Muna tidak bisa menerima saya yang terlalu banyak melakukan kesalahan. Agar bisa diterima lagi oleh dia, saya harus memunculkan persepsi perubahan pada diri atau lebih jujur: “pura-pura” berubah.

Untungnya, kepura-puraan saya dibuka oleh Allah kepada Muna. Kemunafikan itu juga dibeberkan oleh Allah kepada Muna, bukan yang lain. Sampai akhirnya saya meyakini tidak ada pilihan, kecuali benar-benar berubah. Aneh, ya? That's the truth. Insya Allah.

TRANSISI YANG SAYA LALUI INI, MIRIP DENGAN APA YANG DICERITAKAN OLEH USTAZ NOUMAN ALI KHAN DALAM SALAH SATU CERAMAHNYA.

DIA BERKATA BAHWA APA YANG DIWAHYUKAN OLEH ALLAH SWT. LEWAT AL-QURAN BUKANLAH INFORMASI, MELAINKAN GUIDANCE.

Nah, tanpa disadari saat menjalani hari-hari sulit dalam pernikahan kami, yang saya cari selalu informasi. Sejujurnya saya kerap mencari pembenaran atas perilaku saya yang buruk selama ini. Bukankah semua manusia pasti melakukan dosa dan kesalahan? Sehingga saya pun lazim, dong, berdosa dan bersalah? Validasi kalau laki-laki durjana itu wajar. Konfirmasi bahwa kalau sudah minta maaf, ya dimaafkan dan move on, dong.

Padahal, yang saya butuhkan saat itu bukan informasi, melainkan guidance. and i was too blind to see. Blinded by arrogance, stupidity, and laziness. yes, i was very arrogant, stupid, and lazy.

So, i was not using the right frame to change.

Karena berubahnya terpaksa, sehingga frame yang digunakan adalah appeasing and pleasing others. Menenangkan dan menyenangkan orang lain.

Appeasing my wife, pleasing my friends and followers, appeasing society … not obeying God.

Allah tentu ada, tetapi itu urusan nantilah.

I am here because of who I am, what I do, and what I want to be.

HAL TERPENTING ADALAH KECERDASAN AKAL, PENCAPAIAN-PENCAPAIAN NYATA DI DUNIA, DAN ORANG-ORANG DI SEKITAR YANG BISA MEMBUAT SAYA LEBIH SUKSES, LEBIH DIAKUI, DAN LEBIH HEBAT.

Sebagaimana rata-rata orang praktis-pragmatis (baca: skeptis negatif), saya telanjur terbiasa (baca: membiasakan diri) menerima yang tampak dan pasti-pasti saja:

Punya rumah yang bisa dibanggakan. Punya tabungan dan investasi untuk memenuhi tujuan-tujuan finansial keluarga. Punya mobil yang enggak malu-maluin.Punya kesempatan jalan-jalan keluar negeri 1-2 kali setahun.Punya momen-momeninstagrammable.

Apa lagi? Terkenal—paling enggak di media sosial. Ternama—ada beberapa buku yang telah terbit untuk dibanggakan. Termasyhur— pernah diliput oleh beragam media, pernah masuk televisi, dan bisa berfoto bareng orang-orang yang lebih masyhur.

That was my life. Amazing from the outside. Rotten from the inside.

Sekarang saya paham kalau satu-satu "ter" yang paling pas menggambarkan kondisi saya kala itu adalah: Teperdaya!

Apa turning point-nya? Lagi-lagi saya harus menyitir pelajaran penting yang dititipkan Allah kepada Ustaz Nouman saat mengajukan tiga pertanyaan berikut lewat channel Youtube-nya:

Lihat selengkapnya