BEFORE HIJRAH
KEMUDAHAN YANG MENGHILANGKAN BERKAH WAKTU
Dalam hidup ini, saya diberikan banyak kemudahan. Kemudahan yang hampir selalu dinikmati, tetapi tidak saya sadari dan tidak saya syukuri.
Saya dibesarkan sebagai anak tunggal sehingga mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orangtua. Diberikan lingkungan yang baik dan membaikkan sehingga pendidikan dasar hingga tinggi dengan relatif mudah diterima dan dijalani.
Dititipkan pemikiran cerdas dan talenta berinteraksi dengan publik sehingga tidak sulit bagi saya untuk memahami banyak perkara kompleks dan “menjual” pemikiran kepada orang lain.
Saya punya keyakinan apa pun yang saya mau pasti akan didapat. Kekecewaan pasti ada, tetapi selalu punya cara untuk bisa menginternalisasi dan menjadikannya sebagai sebuah keuntungan.
I can always Find a way even with murder.
Kasarnya begitu.
Orang mungkin bisa dimarahi oleh bude yang galak, kecuali saya. Almarhumah eyang galaknya setengah mati kepada banyak orang, kecuali saya. Mungkin karena saya lucu, dan memang easy going. Saya hampir-hampir tidak pernah cemas. Kalau ada saya, suasana menjadi lebih ringan.
Namun,yang tidak saya sadari saat kemudahan itu diberikan, saya tidak mengimbanginya dengan kegigihan untuk mengejar berkah dari Allah Sang maha Pemberi.
Saya hanya menikmati. Jadi penikmat. Penikmat atas waktu, penikmat atas kelebihan-kelebihan finansial, penikmat atas popularitas, dan segala macam.
Waktu hidup berjalan cepat, dengan relatif enak, ada riak-riak, tetapi tidak besar. Bahkan ketika pernikahan pertama tidak berjalan pun, saya menanggapinya dengan santai. Ya sudah, memang begitu mau diapain? Mudah saja, tidak merasa ada beban.
Tidak ada beban itu karena dua hal.
Pertama,
saya tidak pernah melihat problem sebagai problem. Saya selalu melihat dari sisi solusinya, dari opportunity-nya. Itu sebenarnya bagus, artinya berpikir maju, growth-thinking. Buruknya, saya tidak melihat waktu yang sudah diberikan ini adalah peluang-peluang untuk menjadi lebih baik.
Ethically, saya orang baik menurut society. But not religiously good. Dan saya mengakui diktum bahwa saya itu baik. I’m a good person even when I cheat on my wife. Saya merasa tidak ada yang salah dengan itu. Selalu ada pembenaran. Di kepala ini penuh dengan pembenaran.
Kedua, saya berpikir kebaikan yang saya lakukan sudah cukup untuk menutup segala kekurangan atau ketidakbaikan saya. “Baik lo sudah cukup, kenapa harus mikirin shalat? Lo, kan, ngerti esensi shalat biar bisa damai. Kan, lo sudah damai.” Pembenaran-pembenaran yang ada di kepala saya seperti itu. “Kenapa mesti enggak minum khamr? Kan, asal tidak memabukkan enggak apa-apa. Kan, lo minum juga enggak merugikan orang lain karena enggak mabuk? Yang punya self-control, kan, kita.”
Sekarang saya bisa melihat sebenarnya semua kemudahan ini adalah ujian yang terlewatkan, yang tersia-siakan.
KECERDASAN YANG MEMBAWA KEBODOHAN
Saya cerdas! Dan banyak orang mengakuinya.
Paling tidak, kecerdasan saya di atas rata-rata. Bisa jadi karena dulu pernah jatuh dari sepeda motor, dan setelah itu ikut tes IQ dan ternyata IQ-nya naik. Seorang kawan lama pernah berseloroh, kecelakaan itu yang membuat kecerdasan saya bertambah.
Untuk bisa mendapat nilai bagus saat sekolah bukan hal sulit bagi saya. Untuk bisa memahami konsep-konsep kompleks, tidak masalah buat saya.
I have the ability to simplify complex matter into something easy to understand for most people.
Namun jadinya, ya, tetap bodoh, karena ilmu digunakan untuk mengejar hal-hal yang tidak bermanfaat: harta, popularitas, kebanggaan pribadi, dan kesombongan.
Belum lagi ilmu yang saya pelajari semua sifatnya duniawi. Baik untuk hidup ini, tetapi tidak ada gunanya di kehidupan berikutnya.
Jika saya mengimbanginya dengan ilmu agama, mungkin ilmu dunia bisa berguna untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah Swt.
Ilmu-ilmu yang dikejar itu hanyalah membuat saya terlihat pandir di tarikan napas terakhir.
Dibodohi oleh perasaan bahwa saya mengetahui segala sesuatu yang harus saya tahu, tetapi bukan hal-hal yang prinsip dalam hidup ini.