THE TRIGGER
TRAGEDI PERNIKAHAN
Gonjang-ganjing dalam pernikahan kami membuat saya kehilangan jati diri. Saya merasa buruk, dan memang sangat buruk. Malu.
Untuk waktu yang lama, saya merasa malu itu impulse emosi yang salah, padahal bisa jadi itu yang baik.
Selama ini saya menafikan rasa malu dan bersalah (shame and guilt). Karena itu saya menganggap keduanya sebagai musuh. Jadi, apa pun saya lakukan agar tidak sampai pada titik itu.
Saat prahara keluarga terjadi, yang mendominasi perasaan saya justru dua hal itu: rasa malu dan bersalah.
Pada satu titik, saya bahkan berpikir,
“Sudah, selesaikan saja hidup ini, apa gunanya lagi?”
Rupanya, semua ini terjadi ada tujuannya.
Tuhan “menelanjangi” saya agar ada perbaikan yang paling esensial. Perbaikan yang bukan hanya membuat saya tidak mengulangi kesalahan, melainkan mengubah seluruh hidup saya, merombak seluruh fundamental dalam kepala saya, mengatur ulang setelan hati dan rasa.
Tak ada pilihan lagi, kecuali tobat.
Tobat untuk keberlangsungan kehidupan sekarang, demi kehidupan sejati setelah ini.
PERAN SEORANG SAHABAT BAIK SEBAGAI PEMBUKA PINTU-PINTU KEBAIKAN.
“Masya Allah. Apakah saya—atau interaksi dengan saya— jadi penyebab munculnya situasi ini?” tanya sahabat baik itu.
“Tidak ada, Mas. Kesalahan sepenuhnya ada pada saya karena membiarkan diri terbius dengan pesona dunia politik,” jawab saya.
Sahabat baik itu lanjut bertanya, “Apakah ada hal-hal yang bisa saya bantu untuk menjadikan kalian berdua lebih baik?”
“Belum terpikir, Mas. Namun, tidak perlu merepotkan dirimu. Kami berdua sedang berusaha keras untuk mempertahankan pernikahan ini. Mohon doa Mas dan istri, ya,” jawab saya dan diiyakan oleh Muna.