"Aku bukan membencimu. Aku hanya takut mencintaimu."
.....
Satu hari setelah pernikahan..
Bisakah kalian merekomendasikan racun yang cepat untuk melenyapkan nyawa seseorang? Lura ingin memasukkan racun pada minuman ini dan memberikannya pada si gila itu. Biar dia cepat mati dan Lura bisa bebas.
"Lama amat sih lo!" teriak Gerlan dari ruang tamu. Lura menggeram kesal, dengan kasar dia meraih garam dan memasukkannya sebanyak lima sendok teh penuh ke dalam kopi ini.
Lura menyunggingkan senyum miring, dia pun membawa secangkir kopi itu lalu meletakkannya di atas meja, tepat di depan Gerlan yang tengah duduk santai sembari memainkan ponselnya.
Lelaki itu duduk tegak, dia memajukan sedikit tubuhnya lalu menyipitkan matanya menatap kopi hitam itu.
"Lo duluan yang minum," suruh Gerlan.
"Dih, males. Sorry aja nih ye, gue nggak demen kopi," tolak Lura mengibaskan rambutnya ke belakant.
"Lo pikir gue bego? Pasti lo masukin garem, kan?" tebak Gerlan membuat Lura menatapnya cepat. Gadis itu bahkan mengedipkan matanya beberapa kali.
Dia cenayang atau emang terlalu pinter, sih?
"Buat yang baru," titahnya bak raja. Gerlan kembali menyandarkan tubuhnya, membuat Lura bersedekap.
"Heh! Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Mak Bapak gue aja nggak pernah nyuruh gue bikinin kopi! Lo punya tangan, kan? Punya kaki, kan? Apa perlu gue patahin biar nggak ada gunanya sama sekali?!" teriaknya marah. Lura sudah menahan emosinya saat tadi tidurnya terganggu akibat musik keras dari speaker yang tiba-tiba sudah menempel pada telinganya. Badannya juga terasa pegal akibat tidur di sofa karena Gerlan tidak mengizinkannya untuk tidur di atas kasur.
Dan sekarang, Lura tidak bisa menahannya lagi.
Gerlan menyunggingkan senyum miring, dia bangkit berdiri lalu berjalan memutari meja hingga berhenti tepat di depan Lura.
Lelaki yang mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu mendekatkan wajahnya pada gadis yang mengenakan kaus putih oversize dengan hotpants berwarna hitam itu.
"Lo nanya gue siapa?" tanya Gerlan pelan. Ia menaikan sebelah alisnya. Sedangkan Lura menatap lelaki itu tajam dengan tangan terkepal.
"Gue yang punya Apartemen ini, gue yang biayain semua kebutuhan lo, gue yang bertanggung jawab atas hidup lo, dan gue--,"
"Yang bakal bikin hidup lo menderita," lanjut Gerlan dengan wajahnya yang begitu menyebalkan. Karena tak bisa menahannya lagi, Lura pun akhirnya melayangkan kepalan tangannya pada Gerlan.
Namun lagi-lagi, dia selalu berhasil menahan tangan Lura sebelum gadis itu memukulnya.
"Brengsek! Lo nggak berhak atas hidup gue!" marah Lura. Wajahnya sudah memerah karena emosi.
Gerlan melepaskan tangan Lura yang berada dalam genggamannya, dia menegakkan tubuh dan sedikit menunduk menatap gadis itu, "Gue berhak," ucapnya sembari memperlihatkan cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Karena gue suami lo."
****
Lana memeluk Lura dan sesekali mengusap rambut anaknya itu, kini mereka tengah berada di Bandara, mengantar Mama dan Papa Lura yang akan pergi ke Jerman.
"Lura sayang. Maafin Mama, ya. Kalau Mama udah sering buat Lura kesal. Mama hanya ingin yang terbaik untuk Lura."
"Maa..," rengek Lura. Dia melepaskan pelukan dan menatap Mamanya dengan tatapan memohon. Jika saja suara hatinya dapat terdengar, Lana pasti sudah tahu jika Lura mengatakan,
"Ma, bawa Lura sama kalian. Lura nggak mau di sini. Lura tersiksa, Ma. Lura nggak bisa hidup sama si gila itu."
Tapi sayangnya, itu banya bisa dia katakan dalam hatinya saja.
Lana tersenyum menatap wajah sendu anaknya. Dia pasti sedih karena harus berpisah dengan kedua orangtuanya.
"Sekarang Mama tenang ninggalin kamu. Karena udah ada Gerlan yang jagain," ucap Lana seraya melirik Gerlan yang berada dibelakang Lura.
"Maa.. Nggak mau..," rengek gadis itu lagi. Dia menggelengkan kepalanya.
Louis yang berada disamping Lana pun beralih memeluk anak semata wayangnya, "Lura, kamu harus mandiri. Harus dewasa. Jangan apa- apa harus Mama dan Papa. Kamu sudah punya Gerlan, dia yang akan menjaga kamu," ucap Papanya.
Lura menggeleng dan melepaskan pelukan, "Pa, Papa nggak mau Lura mati muda, kan?"
Louis terkekeh pelan, "Ada-ada saja kamu. Mana ada orang tua yang mau anaknya mati muda."
"Pa, maksud Lura tuh--,"
Pemberitahuan yang berasal dari speaker Bandara terdengar, Louis lantas mengusap singkat puncak kepala anaknya. Lalu beralih mendekati Gerlan, dan menepuk singkat pundak lelaki itu seraya tersenyum hangat.
"Gerlan, tolong jagain putri Papa baik-baik, ya."
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, "Pasti, Pa. Gerlan bakal jagain Lura baik-baik, kok. Papa sama Mama tenang aja," perkataannya itu membuat Lura berdecih sinis. Dia memang pintar sekali mamasang wajah palsu.
"Syukurlah, Papa sudah lebih tenang sekarang, kalau gitu, kami pamit dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik," ucap Louis sedikit melangkah mundur menjauh dari mereka.
"Pa," Lura hendak melangkah mendekat, namun Gerlan lebih dulu merangkul pinggangnya hingga jarak mereka begitu dekat. Lura lantas menatap Gerlan tajam dan bergerak untuk menjauhkan dirinya. Tapi lelaki itu tak membiarkannya ke mana-mana.
Lana dan Louis melambaikan tangan sembari tersenyum simpul, sebelum akhirnya perlahan melangkah menjauh bersama beberapa orang berjas rapi yang membawa barang-barang mereka.