"Terkadang, bersikap seolah-olah tak peduli adalah salah satu cara untuk menyembunyikan perasaan."
****
Jarum jam tepat menunjukkan pukul tiga sore, dan kini kedua kaki yang dibalut sepatu Ankle boots itu tengah menyusuri koridor lantai dua hendak menuju gerbang depan kampus untuk mencari taksi. Jean dan juga Gauri sudah pulang lebih dulu, mereka juga sudah menawarkan untuk mengantar Lura setelah sempat bertanya mengapa gadis itu tidak membawa mobil seperti biasanya.
Namun Lura hanya mengatakan,
"Lo pada duluan aja, mobil gue lagi di bengkel."
Jelas itu hanya alibi Lura saja karena mobilnya sudah dijual. Ya, di jual karena kedua orang tuanya tak mengizinkan Lura untuk memiliki kendaraan, karena mereka khawatir jika Lura akan keluyuran kemana-mana.
Saat menuruni anak tangga, langkah kaki Lura perlahan melambat karena seseorang yang berdiri di bawah sana. Lura lantas menuruni dua anak tangga, lalu berhenti. Pandangannya berubah sinis menatap gadis itu.
"Mau apa lo?" nada suaranya terdengar tak bersahabat. Namun itu tak membuat Alea memudarkan senyumnya. Kedua tangannya menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah ke arah Lura.
"Mungkin ini belum seberapa, tapi aku mau ganti rugi karena udah ngotorin celana kamu," kata Alea, berharap kali ini Lura mau melepaskannya. Walaupun dia baru melihat gadis itu hari ini, dan baru mendengar segala hal buruk tentangnya, tapi dia berharap, agar Lura mau berdamai.
Sementara dari lantai atas, dua orang lelaki tampak berdiri di pembatas dengan mata yang tertuju ke arah Lura dan juga Alea.
"Ternyata bener apa kata si Maxel tadi," gumam Felix. Beberapa jam yang lalu saat mereka tengah berada di basecamp, Maxel datang dengan mengatakan jika Alea telah kembali. Dan dia juga mengatakan apa yang terjadi di kantin tadi pada Gerlan dan juga Felix.
"Gile, dari raut mukanya si Lura kejem amat, yak? Pantes aja orang-orang pada nggak suka ama dia," sambung Felix lagi.
Gerlan hanya melihat itu dengan datar, menunggu apa yang selanjutnya gadis itu lakukan.
"Tapi kalau cowo mungkin banyak ya yang suka dia, liat aja noh bodynya. Terus juga..," Felix menyipitkan matanya melihat Lura dari atas hingga bawah.
"Hm..dia cantik. Kalau gue deketin kira-kira menurut lo gimana, Lan?" tanya Felix dengan menarik turunkan kedua alisnya.
Gerlan mengalihkan pandangannya melihat Felix, lelaki itu tampak tersenyum miring.
"Coba aja kalau mau muka lo babak belur."
Di tempat yang berbeda, Lura berdecih sinis mendengar penuturan Alea. Dia lantas menangkis tangan gadis itu dan berucap "Gue nggak butuh uang lo," balasnya dan hendak kembali melangkah, namun Alea menghalanginya.
"Lura, aku mau ganti rugi. Aku nggak mau punya masalah sama kamu," Alea kembali bersuara dengan nada memohon.
"Ck, gue muak liat muka lo. Minggir," Lura sudah hendak kembali melanjutkan langkah, namun Alea tetap saja tak memberikan jalan pada Lura, sampai akhirnya gadis itu mendorong sedikit tubuh Alea, dan mengakibatkan Alea terjatuh akibat tak bisa menjaga kesimbangan.
"Astaga, Lea! Kamu nggak papa?" Keyla dan Frea yang hendak menaiki anak tangga pun langsung berlari mendekati Alea.
"Lura! Lo jahat banget, sih?! Dia kan udah baik mau ganti rugi!" kesal Keyla. Sementara Frea yang berada di samping gadis itu juga ikut menimpali.
"Tau tuh! Sok banget lo jadi orang! Belum apa-apa aja udah belagu!"
Mendengar itu Lura lantas tertawa tak percaya, "Apa lo bilang?"
Frea yang semua berjongkok pun kini sudah berdiri, berhadapan langsung dengan Lura dan mengangkat dagunya menantang.
"Apa?! Lo pikir gue takut sama pelacur kayak lo?!"
Plak
Tak sulit bagi Lura untuk melayangkan tamparan pada orang yang sudah berani menghinanya.
Apa yang Lura lakukan itu berhasil membuat beberapa orang yang melihat mereka menutup mulut karena kaget.
"Anjing lo ya!" teriak Frea tak terima, dia hendak meraih rambut Lura untuk menjambaknya namun Keyla lebih dulu menahan tubuhnya.
"Jangan, Fre. Kalau lo ngelawan, lo juga kena. Biarin aja dia yang kena masalah karena udah nampar lo duluan," bisik Keyla, membuat Frea menatap Lura tajam dengan dada yang naik turun karena emosi.
"Kenapa lo diem? Nggak berani main jambak-jambakkan sama gue?" tanya Lura sinis.
"Sialan," balas Frea, dia ingin sekali menampar wajah perempuan itu jika saja Keyla tidak menahan tubuhnya.
Dua orang lelaki tampak menuruni anak tangga, satu dari mereka menghampiri Alea yang terduduk karena nyeri pada pergelangan kakinya, sementara satu lelaki lagi menarik tangan Lura agar pergi dari sana.
"Ikut gue," ucap Gerlan datar, lelaki itu menarik kasar tangan Lura.
"Heh! Lepasin gue!" balas Lura menarik tangannya, namun semakin kuat dia menarik, semakin terasa sakit karena Gerlan tak melepaskan.
Lelaki itu berjalan cepat entah hendak menuju ke mana, hingga membuat Lura hampir terjatuh karena tersandung akibat sulit menyesuaikan langkah panjang Gerlan.
"Brengsek, gue bilang lepasin!" sentak Lura menarik kuat tangannya dari Gerlan hingga cowok itu melepaskannya kasar, saat mereka tiba di taman belakang kampus yang terlihat sepi.
Lelaki itu berbalik menatap Lura dengan sorot tajam, "Udah ngerasa hebat lo di sini?"
"Iya! Kenapa?!" teriak Lura langsung.
"Nggak suka? Apa urusannya ini sama lo? Bukan elo kan yang gue tampar? Bukan lo juga kan yang gue dorong sampe jatuh?" tanya Lura menantang. Namun detik berikutnya dia tertawa karena mengingat sesuatu.
"Oh iyaa, gue lupa. Gue kan udah nyakitin mantan lo, sorry," katanya dengan tersenyum miring diakhir kalimat.
Gerlan berdecih sinis, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.
"Hm, gue emang nggak terima karena lo udah nyakitin Alea. Dan dengan lo ngelakuin ini, lo udah nambah masalah di hidup gue," ucap Gerlan, menatap Lura dingin.
Benar, kan? Jika Lura bermasalah di kampus, otomatis orangtuanya akan bertanya pada Gerlan mengapa itu bisa terjadi. Secara mereka sudah menitipkan pesan untuk memastikan jika Lura tidak mencari masalah lagi.
"Jadi kalau lo mau cari perhatian, jangan di dalem kampus. Bukannya keliatan keren, lo malah bikin orang jijik," ucapnya lagi, lalu setelah itu pergi dari hadapan Lura.
Gadis itu diam, dan tak lama setelahnya menarik senyum tipis. Karena hal seperti itu sudah sering didengar olehnya, jadi kini dia tidak merasakan apapun lagi.
"Kasian banget sih, lo. Harus nikah sama orang menjijikkan kayak gue," kata Lura tertawa di dalam hatinya.
****
Malam ini suasana di Rezillo Coffee tidak terlalu ramai. Ini merupakan tempat yang sering Gerlan dan teman-temannya datangi karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Apartemen Gerlan.
"Gimana perasaan lo?" tanya Maxel pada Gerlan, setelah menyeruput caramel machiato-nya.
Lelaki yang mengenakan t-shirt hitam dilapisi jaket kulit berwarna senada itu menghembuskan asap rokoknya, hingga membentuk gumpalan putih di udara.
"Perasaan apa?" tanya cowok itu balik.
"Alea. Bukannya kalian masih saling cinta?"