Tahun 2018, merupakan tahun terakhirku di Weiterführende Schule[1]. Suatu sekolah yang berisi siswa dari berbagai status sosial. Latar belakang itulah yang menjadi salah satu sebab kegeruhan selalu mengiringiku. Alasan lain, lantaran aku berbeda dari mereka. Kulit dan atribut wajah kami memang serupa, tetapi aksen Rumania membawa kemalangan.
Lantai selalu menemani pandanganku ketika berjalan di sekolah. Itulah cara terbaik menutupi rona merah antara malu dan marah. Satu reaksi akibat olok-olok yang membuat telinga panas dan jantung menjengit-jengit. Seperti sekarang, saat aku berjalan di koridor sekolah. Celetukan, bisik-bisik, bahkan teriakan, mengiringi setiap langkahku. Di antara yang paling keterlaluan adalah Hans, Zohan, Yohn, Vier, Uwe, Penrod, dan Kenan. Mereka geng paling menakutkan di sekolah.
"Lihat, Mr. Spock[2] datang!"
"Menurutku lebih cocok memanggilnya Klingon[3]!"
"Hans, dia makin menunduk! Wajahnya tenggelam!"
"Ah, aku baru tahu kalau dia memiliki wajah!"
Celetukan Hans dan teman-temannya seperti pisau yang mengiris-iris gendang telingaku. Apalagi mereka menghina di depan Liesel. Tentu saja rasa maluku makin berlipat. Aku mempercepat langkah. Namun, suara gelak tawa yang menggema, tetap mengiringiku di koridor.
Syukurlah, akhirnya aku sampai di kelas sehingga tidak harus mendengarkan cemoohan mereka. Aku pun segera duduk di baris kiri paling belakang. Ketika menunggu Herr[4] Folke datang, bayangan mereka mengolok-olok pun menyeruak.
Sungguh, aku tidak habis pikir apa yang salah dengan aksen Rumania-ku?! Bukankah tidak penting aksen seseorang selama ia bisa berkomunikasi?! Apalagi menghina keadaanku yang miskin. Inikah masyarakat yang mengaku beradab?! Inikah masyarakat yang mengaku pionir kemanusiaan?! Kalau memang begitu, lebih baik menjadi biadab daripada munafik! Dadaku terasa sesak karena murka yang memuai; gigiku bergemeretak menahan caci maki yang mencoba memberontak. Andai saja aku mampu membalas; seumpama bisa kuluapkan segala amarah. Dapat kupastikan mereka mendapat ganjaran puluhan kali lipat.
Tiba-tiba nalar melintas, mengembalikan pada kenyataan yang kuhadapi. Aku sadar, kalau aku hanyalah laki-laki lemah yang tak mampu berbuat apa-apa. Ketidakberdayaan dan kepengecutan memang takdirku. Ironis, namaku yang berarti "mahkota pemenang" menjadi hiasan tak bermakna. Rasanya ia tak pantas kusandang selama ini. Kala berbagai pikiran dan perasaan bercampur, mendadak suara bariton menghenyakkanku.
"Stefan! Stefan!"
Sontak aku pun menoleh. Herr Folke memandangku bersungut-sungut. Sosok yang biasanya ramah itu tampak sangat menakutkan.
"I-iya, Herr Folke," jawabku gugup.
"Selalu saja melamun pada jam pelajaran!" bentak Herr Folke.
Aku menunduk, tidak berani melihat wajahnya yang merah pekat. "Ma-maaf ...."
"Cepat ke depan! Kerjakan soal itu!" Herr Folke melempar pandangan ke papan tulis.
Buru-buru aku mengikuti perintahnya. Namun, ketika sudah berada di depan, aku mematung melihat soal di papan tulis. Bagaimana mungkin aku dapat menjawab jika selama pelajaran pikiranku tidak berada di tempat?!
"Tidak bisa?" Herr Folke kian meradang. "Kenapa diam?"
Bukan tidak mau menjawab, tetapi ketakutan mengunci mulutku rapat-rapat. Akibatnya sudah bisa terbayang ....