Inmuia

KOJI
Chapter #4

Lars Morten

"I'm Not a Laughing Stock" membawaku melewati jam demi jam, hingga tak terasa sekarang telah menunjukkan pukul tiga pagi. Dunia maya memang tak mengenal waktu. Permainan pun tetap ramai dengan pemain-pemain dari berbagai belahan dunia.

Di antara mereka ada yang menarik perhatianku. Menilik dari namanya di permainan, aku bisa memastikan kalau ia berasal dari Jerman. Dia bernama Grausam[1]. Ia sangat mahir bermain, seakan-akan senjata api benar-benar berada di tangannya. Bagi Grausam, musuh-musuh bagaikan buruan dalam sangkar. Beruntung, aku berada satu tim dengannya. Selain itu ada satu lagi yang menarik perhatianku ....

"Wuhu! Lars Morten akan menghancurkan kalian!" seru Grausam yang terdengar dari headset-ku.

"Berhenti menyebut pembunuh massal itu, atau kamu memang sama gilanya?!" teriak pemain lain.

"Dia legenda, Kawan! Rambo[2] di dunia nyata! Tak ada yang sanggup menandinginya!" Grausam menimpali.

"Kamu memang psikopat!"

"Aku penentang bullying, sama seperti Lars Morten! Jika kamu mengatakan kami gila, berarti kamu mendukung tindakan pengecut itu!"

Adu mulut memang acap terjadi di dalam permainan. Namun, bukan itu yang menarik, melainkan nama yang Grausam sebut. Ketertarikanku pada Lars Morten melebihi keseruan bermain. Aku segera keluar dari permainan dan berselancar mencari sosok yang Grausam idolai. Tidak sulit mencari informasi tentang Lars Morten. Ada ratusan alamat jejaring yang muncul. Aku pun masuk ke salah satu alamat yang tampil di layar.

Mataku menyapu setiap baris artikel tentang Lars Morten. Cerita sang pembunuh massal membuatku larut—seperti sedang menyaksikannya secara langsung. Kisah yang ia alami sedikit mirip denganku. Namun, orang-orang mengolok-olok karena menganggap fisiknya buruk. Sedangkan status sosial dan etnis bukan masalah bagi Lars Morten. Itulah perbedaan di antara kami.

Sekelumit keinginan untuk mengikuti jejaknya pun menyelusup, tetapi kenyataan segera menepisnya. Aku tidak mungkin seperti Lars Morten. Keadaan kami berbeda. Aku tak memiliki keberanian serta kesanggupan seperti yang ia miliki. Meskipun tidak sama, kisah Lars seperti candu yang tak bisa kuhentikan. Laman demi laman telah habis kubaca, sampai pada akhirnya notifikasi batas waktu sewa muncul.

Aku melirik pada penjaga rental, berharap ia tak menyadari waktuku yang telah usai. Beruntung, ia sedang terlelap di kursinya. Kadang-kadang ia memang seperti itu, tertidur dengan televisi yang masih menyala. Kalau sudah begitu aku mendapatkan tambahan waktu cuma-cuma—apalagi sistem pengamanan komputer cukup longgar.

Kesempatan ini tak kusia-siakan, lalu kembali menelusuri salah satu sumber lain. Sumber tersebut menerangkan kejadian pembunuhan massal sejak awal. Pengakuan Lars Morten di dalam Ruang Persidangan, juga keterangan para saksi mata, menjelaskannya secara rinci. Pembantaian Lars Morten, memakan korban tidak kurang dari 85 orang. Lars menembak secara acak dan membabi buta. Ada 77 orang yang tewas, sementara sisanya mengalami luka serius. Kala mataku menyisir kalimat demi kalimat, gairah pun mendesir, kemudian merambat melalui aliran darah yang memompa jantungku berdegup kencang. Aku belum pernah merasakan energi yang bergolak seperti ini. Sensasi yang benar-benar tiada bandingannya.

Saat melanjutkan membaca, sekonyong-konyong aku mendengar suara penjaga rental menguap. Aku pun segera mematikan komputer lantas berpura-pura tertidur. Tak lama setelahnya terdengar suara langkah mendekat.

"Anak ini sering sekali tertidur," gumam penjaga rental, yang sudah berada di belakangku. "Bangun." Ia mengguncang bahuku pelan-pelan.

Mataku mengerjap perlahan lalu menoleh ke belakang. "Ya?" tanyaku, berpura-pura terbangun.

"Waktumu sudah habis."

"Ah, ma-maaf ...."

Buru-buru aku keluar dari sana, kembali menyusuri jalan. Langkahku gamang, terpengaruh pikiran bimbang yang menyeruak. Menimbang antara terlunta-lunta tanpa tujuan, atau harus kembali ke rumah. Jika kembali ke rumah, sudah pasti orang tuaku akan memaksa bersekolah. Di lain sisi aku sudah tidak memegang selembar Euro pun.

Sekarang sudah pukul setengah lima pagi. Mungkin ayah dan ibu masih menungguku. Wajah cemas mereka melintas, mengaduk-aduk pikiran dan hatiku. Akhirnya kuputuskan kembali ke rumah.

Lihat selengkapnya