Inmuia

KOJI
Chapter #5

Abnormal

Sejak kejadian itu aku meringkuk merasakan hawa dingin mencengkeram, menyisir setiap jengkal kulit yang memar lalu menyelusup dan mengikir tiap-tiap ruas tulangku; gigi-gigi bergemeretak, pun otot rahang mengejang, berusaha melawan hawa yang menusuk-nusuk seluruh tubuh. Demam tinggi memang menyiksa raga, tetapi tak sebanding dengan memori buruk yang mengarut batinku.

Rasa sakit itu berlangsung selama empat hari, meski lama kelamaan dampaknya mulai berkurang. Apalagi ayah membawa kabar kalau pihak sekolah menanggapi pengaduan kami dengan baik. Mereka mengatakan akan menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas dan menjamin keselamatanku. Tentu saja aku tak percaya sepenuhnya—mengingat ketika di koridor Hans terbebas dari hukuman. Namun, setidaknya mampu memberi sedikit ketentraman. Dengan hasil itu pula aku tidak memiliki alasan untuk menolak keinginan ayah dan ibu, sehingga pada hari kelima aku pun kembali bersekolah.

Keadaan di sekolah tampak normal. Bukan normal seperti yang biasa kudapatkan, melainkan normal menurut ukuran orang lain. Tak ada lagi olok-olok di koridor, juga gelak tawa yang mencabik-cabik perasaan. Begitu pula di dalam kelas, semuanya terasa damai. Aku dapat lebih fokus mencerna setiap pelajaran yang berlangsung. Sampai tiba jam istirahat, hampir seluruh siswa bergegas ke luar kelas. Kecuali aku yang masih berada di dalam.

Saat sedang menyantap bekal dari rumah, sesuatu yang abnormal terjadi. Seseorang datang menghampiri. Bukan sembarang orang, tetapi Liesel. Gadis berambut pirang itu duduk di sebelah meja. Senyum manis terulas di wajahnya yang jernih. Jantungku berdegup kencang, memacu darah hangat merayap ke wajah. Buru-buru kupalingkan wajah menghadap jendela, berharap rona merah tak terlihat olehnya.

"Stefan?"

Suara lembutnya mendesir pelan di telinga. Terlalu lembut, sampai-sampai aku tak percaya.

"Kamu Stefan Geza, kan?" tanyanya lagi, menyadarkanku kalau ini bukan mimpi.

Aku pun menoleh, lantas menjawabnya dengan terbata-bata. "I-iya."

"Aku dengar kamu tinggal di daerah Nikolaistraße?"

Kujawab pertanyaannya dengan anggukkan canggung.

"Bolehkah aku meminta bantuanmu?"

Aku tertegun tak menjawab. Bukan karena tidak mau, tetapi rasa malu membuat lidah membeku.

"Tidak apa-apa kalau kamu keberatan," ucap Liesel kecewa.

"A-apa yang bisa kubantu?" tanyaku merasa tidak enak hati.

Sudut bibir Liesel terangkat. "Ibu memintaku untuk mengantarkan barang ke temannya, tetapi aku tidak hafal jalanan di sana. Jadi aku ma—"

"Akan kutemani!" seruku, mengejutkan Liesel. "Ma-maaf, aku tidak bermaksud ...."

Liesel tertawa kecil. "Kalau begitu kita bertemu di gerbang seusai sekolah," ucapnya seraya beranjak. "Sampai nanti, Stefan Geza."

Bermimpi berbincang dengan Liesel pun tidak pernah, apalagi mengharapkannya. Namun, itulah kenyataan yang baru saja terjadi. Sungguh sukar memercayainya.

Selama pelajaran pikiranku melayang seperti biasa. Tak lagi menjengit, melainkan semringah menanti pertemuan dengan Liesel. Tiga sisa pelajaran terasa lama bagiku. Untungnya bel tanda usai sekolah akhirnya berbunyi. Aku bergegas ke luar kelas menuju ke gerbang depan. Namun, perasaan kecewa segera bergelayut ketika Liesel tidak terlihat di sana. Seharusnya aku sadar, pasti banyak yang menawari bantuan pada gadis secantik Liesel. Tentu saja aku urutan terbawah dari sejumlah orang yang menawarinya. Dengan gontai aku pun berjalan, tetapi mendadak terdengar seseorang memanggilku.

"Stefan!" Liesel berlari mengejar. "Maaf, aku terlambat. Tadi masih ada urusan di kelas," terangnya dengan napas terengah-engah.

Teriakannya membuat kami menjadi pusat perhatian. Wajahku memuai karena malu. "Ayo, ke sini." Kutarik Liesel menjauhi keramaian.

"A-a—"

"Ma-maaf ... aku malu dilihat banyak orang ...."

"Malu? Kenapa malu?" tanya Liesel bingung.

"Ka-karena—mmm ... aku tidak terbiasa menjadi pusat perhatian," ucapku gugup sembari menunduk.

Sepasang pupil zamrud Liesel menyapu wajahku sekilas sebelum akhirnya ia tertawa kecil. "Kamu lucu ...." Kalimatnya terhenti melihat ketidaknyamanan di wajahku. "Maaf, bukan lucu dalam arti buruk, tetapi ... sweet."

Wajahku kembali terasa hangat. "Ayo, Lies," tukasku mengalihkan pandangan, berusaha menutupi malu.

Selama di perjalanan Liesel tak henti-hentinya bercerita. Berbagai topik tampak menarik perhatiannya.

"Sebetulnya aku anak terakhir, tetapi kedua kakakku meninggal sebelum aku lahir." Liesel mengalihkan pandangan padaku. "Giliranmu."

"Gi-giliranku?" tanyaku masih merasa canggung.

Liesel memutar bola mata seraya menghela napas. "Dari tadi aku yang cerita, sekarang giliranmu."

Mataku menatap nanar jalanan. Lengkung mataku turun, serupa gerak bahuku. Perasaan sedih bercampur marah larut di dalam pikiran.

Lihat selengkapnya