Inmuia

KOJI
Chapter #6

Ruang Afeksi

Keesokan harinya suasana abnormal masih berlanjut. Koridor tetap gaduh seperti biasa, tetapi tidak ada cemoohan yang mengiringi langkahku. Begitu pula di dalam kelas masih sama seperti kemarin. Suasana abnormal yang kuharap akan menjadi sesuatu yang normal bagiku. Namun, membiasakan diri agar terasa normal masih sulit kucerna. Apalagi mata siswa laki-laki menyorot tajam kala aku dan Liesel berjalan bersama sepulang sekolah.

Di dalam perjalanan, perasaan tak nyaman dan malu berkecamuk. Keduanya menyurutkan semangatku. Membuat hari-hari abnormal terusik. Aku pun menghela napas untuk kesekian kalinya.

"Kenapa, Stefan? Ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Tatapan mereka seperti tidak senang ketika kita sedang bersama ...."

Keceriaan Liesel memudar kala mendengar kata-kataku. "Lalu, sekarang kamu jadi enggan bersa—"

"Bu-bukan begitu maksudku. Aku senang bersamamu, tetapi aku tidak terbiasa dengan mereka," sergahku gugup, merasa tidak enak hati.

Liesel menoleh dengan senyum mengembang. "Aku tahu."

"Maksudmu?"

"Iya, aku tahu kamu senang kalau kita jalan bersama seperti ini. Tadi aku hanya bergurau," jawab Liesel seraya tertawa kecil. "Tidak usah pedulikan mereka. Percuma, hanya akan membuat kesal saja. Oh iya, aku sudah beli baju baru untuk besok."

"Kenapa harus baju baru?" tanyaku heran.

"Karena aku ingin tampil sempurna pada kencan pertama kita."

"Ke-kencan?" tanyaku terkejut sekaligus tak percaya.

"Iya, bagiku besok adalah kencan kita," ucapnya tersenyum. "Kalau menurutmu?" Liesel mendekatkan wajahnya ke wajahku—sampai berjarak kurang dari lima sentimeter.

Aku tidak tahu semerah apa wajahku sekarang. Namun, sudah pasti darah hangat merayap ke wajah. "A-aku juga." Aku berusaha berkata selirih mungkin, setengah berharap Liesel tak mendengarnya. Namun, ternyata belum cukup pelan bagi Liesel yang berseri-seri mendengar jawabanku.

"Kita sudah sampai," ujarnya ketika kami tiba di persimpangan jalan. "Sampai besok di kencan pertama kita, Stefan Geza-ku!"

Aku berdiri termangu melihatnya pergi. Rasa tak percaya masih menyergap, mendengar satu kata yang kupikir muskil terjadi: kencan. Sesuatu yang tak pernah melintas di dalam benak; satu hal yang kupikir tidak akan menyapa dalam hidupku. Namun, itulah yang baru saja kudengar dan terus menggaung tatkala aku sudah berada di rumah.

Sudah kucubit pipi dan membasuh wajah berulang kali, tetapi nalar masih sulit menerima realita ini. Butuh beberapa jam untuk menyadari "kencan" bukan sekadar ilusi. Di kala kesadaran menyeruak, aku dan kedua orang tuaku menjadi kebat-kebit. Baju-baju berserakan di atas ranjang. Sebagian milikku dan yang lain punya ayah. Jumlahnya pun tidak banyak, hanya beberapa kaus dan kemeja. Di antaranya ada yang sudah berlubang, ada pula yang bernoda.

"Hanya ini?" tanyaku mengeluh melihat baju-baju kumal tersebut.

Lengkung mata ibu turun seraya memandang nanar ke arahku. "Setiap kali ada uang kita pergunakan untuk keperluan sehari-hari. Tidak pernah kita membeli pakaian."

"Bagaimana kalau kita meminjam pakaian Herr Scholz?" usul ayah.

Lihat selengkapnya