Suara Herr Jacob beringsut menjadi debaran jantung yang acak. Seisi ruangan pun melebur, larut ke dalam ruang batin yang teraduk-aduk. Asa yang terkembang kini tercabik-cabik dusta dan pengkhianatan. Seculas apa pun daya pikatnya, jika tidak naif maka muskil aku terperosok ke dalam perangkap Liesel.
"Stefan ...."
Sayup-sayup terdengar bariton menyelusup ke dalam telinga.
"Stefan ...."
Menggetarkan kegeruhan hati, membawaku kembali ke hadapan realita. Aku mendongak, melihat wajah bundar Herr Jacob telah berubah merah pekat.
"Ikut aku ke Ruang Kepala Sekolah." Intonasinya memang datar, tetapi beku dan tajam.
Dengan pikiran karut-marut kuikuti Herr Jacob dari belakang. Mata-mata di balik jendela mengiringi langkahku di koridor. Aku bagaikan seorang terdakwa tanpa pembelaan yang pantas. Layaknya menyimpan galat atas tuduhan pembunuhan. Padahal sekadar pencurian yang sebetulnya tidak kulakukan. Perlakuan mereka seperti ketukan palu Hakim yang berlandaskan hukum-hukum cacat. Jika memang telah menganggapku sebagai pendosa, kupastikan kelak melayakkan diri dengan prasangka mereka.
Amarah yang tersulut merayap perlahan, membuat seluruh syarafku memuai hingga sulit mengendalikan raga ini. Langkahku mengayun berat memasuki ruangan Herr Schaefer lalu duduk pada kursi di hadapannya. Tak lama kemudian ayah menyeruak dari pintu ruangan. Sedikit tergopoh, ia duduk menyejajariku.
Aku tak sanggup memandangnya lamat-lamat, bersegera mengalihkan pandangan ke bawah. Saat ini mungkin mataku sayu menatap lantai Ruang Kepala Sekolah; bisa jadi tubuhku lesu di hadapan Herr Schaefer. Namun, tidak dengan hatiku yang bergemuruh menyuarakan kalimat ....
"Ei cred că totul se termină."
"Ei cred că totul se termină."
"Ei cred că totul se termină."
"Ei cred că totul se termină."
"Ei cred că totul se termină."
***
Kejadian kemarin menyebabkan kegelisahan melanda semalaman. Aku hanya sanggup meringkuk di atas ranjang, mengharapkan rasa sakit terobati dengan sendirinya. Namun, sia-sia. Apalagi mendengar perbincangan dari balik dinding kamar.
"Tidak mungkin Stefan mencuri." Suara ibu tercekat dan bergetar.
"Aku juga tidak percaya, tetapi mereka menemukan bukti di dalam tas Stefan. Sikap Stefan yang bungkam turut menyudutkannya," timpal ayah.
"Stefan pasti merasa syok, mungkin itulah yang membuatnya tak sanggup menyangkal."
"Kalau begitu biarkan Stefan menenangkan diri selama menjalani skors dari sekolah," ujar ayah.
"Iya, aku juga tidak akan menanyainya."