Sesampainya di kepolisian kami memberi laporan atas kejadian yang menimpaku pada Herr Randolf—polisi penyidik.
"Jadi setelah kejadian di sekolah, Anda ke mana?" tanya Herr Randolf.
Aku pun kembali melanjutkan cerita sampai usainya kejadian penganiayaan. Meskipun mengingat kejadian tersebut menguak luka batin, mau tak mau aku harus mengingatnya agar Hans dan kawan-kawan menerima ganjaran setimpal.
Herr Randolf menyimak sembari mengetik laporan. "Ada saksi dari kejadian yang menimpa Anda?" tanyanya.
Aku tak menjawab seraya menunduk. Saksi yang ada muskil menguatkan laporanku. Meskipun Liesel dan Beatrice tidak turut menganiaya, sangat jelas mereka berpihak pada Hans. "Tidak," jawabku lirih.
Herr Randolf memandang seakan berusaha menyelami kebenaran ucapanku kemudian menghela napas seraya menyandarkan diri di kursi. "Sulit bagi kami untuk menelusuri laporan ini tanpa adanya saksi yang me—"
"Luka. Iya, luka anak saya ini adalah buktinya. Semestinya ini sudah cukup, kan?!" sergah ayah.
Ibu segera menimpali, "Jika diperlukan, silakan melakukan visum. Kami tidak keberatan. Bahkan kalau harus mengeluarkan bia—"
"Persyaratan kami menerima laporan adalah harus ada saksi dan bukti. Jika salah satu di antaranya tidak ada, maka kami tidak bisa memproses laporan." Herr Randolf menginterupsi.
"Tapi—"
"Mohon maaf. Masih banyak laporan lain yang sedang kami proses." Herr Randolf melayangkan pandangan pada kertas-kertas yang menggunung di mejanya.
"Herr, bisakah kita bicara di tempat lain?" Ayah bertanya.
"Maksud Anda?"
"Hanya kita berdua supaya lebih nyaman." Ayah mengedarkan pandangan pada beberapa polisi di ruangan itu.
Sudut bibir Herr Randolf terangkat lantas bangkit dari kursi. "Mari."
"Tunggu di sini," bisik ayah sebelum berjalan mengikuti Herr Randolf ke luar ruangan.
Seperempat jam kemudian mereka telah kembali. Raut Herr Randolf tampak semringah, tak seperti sebelumnya.
"Mohon bantuannya, Herr," tukas ayah.
"Jangan khawatir. Saya akan memanggil orang-orang yang terlibat pada kejadian itu untuk meminta keterangan. Ini adalah bagian dari penyelidikan." Herr Randolf tersenyum, menampilkan deretan gigi tak beraturan.
"Kalau begitu kami menunggu perkembangannya." Ayah menjabat tangan Herr Randolf. "Auf Wiedersehen.[1]"
Mendapatkan keadilan di dunia sungguh sangat sulit. Ada Euro yang tercetak pada stempel kebenaran. Tidak sedikit pihak yang benar merogoh saku dalam-dalam agar kebenaran terungkap, tetapi ada pula yang sebaliknya. Keadilan adalah permainan sebagian orang; mengaburkan hak tiap-tiap manusia, bahkan menguburnya seolah tidak pernah ada. Namun, ayah terpaksa melakukannya atau aku akan terus mendapat perlakuan buruk.
Sayang, hingga beberapa hari kemudian kabar baik tak kunjung datang. Ayah pun memutuskan untuk menemui Herr Randolf. Aku dan ibu harap-harap cemas menunggu ayah pulang. Satu jam kemudian ayah telah tiba di rumah. Dari mata dan bahunya yang terkulai aku dapat menyimpulkan bukan kabar baik yang ia bawa.