Ada banyak cara untuk mengakhiri hidup. Melompat dari bangunan tinggi adalah salah satu yang terbaik. Kecepatan meluncur akan membuat kepala menghantam jalanan dengan keras dan membuyarkan isinya, sehingga aku tak sempat merasakan sakit dari proses melayangnya nyawa dari raga. Namun, perasaan saat berada di udara pasti amat menyiksa. Tidak. Ini bukan cara terbaik. Kuurungkan niat lalu kembali berjalan menuju taman di ujung Jalan Nikolaistraße.
Pikiranku berkecamuk, menimbang berbagai cara mengakhiri hidup. Memotong urat nadi, meminum racun, menabrakkan diri pada kendaraan yang melaju kencang, menggantung diri, atau meletakkan leher di rel dan menanti kereta melindasnya, merupakan cara-cara yang terlintas di pikiranku. Semuanya pasti menyakitkan. Begitulah bunuh diri, tak ada proses yang tidak menyakitkan.
Mungkin keputusanku untuk mengakhiri penderitaan belum sempurna, sehingga jantung masih menjengit-jengit kala memikirkan rasa sakit yang akan dilalui. Namun, bertahan hidup pun lebih menyakitkan. Mendengar caci maki yang menyayat batin; merasakan raga luluh lantak oleh pukulan dan tendangan yang mendera tiada henti; menghadapi pandangan yang menganggapku seperti kotoran. Dan yang paling buruk dari semua itu: hilangnya harapan untuk meraih kebahagiaan.
Tak terasa aku sudah berjalan cukup jauh dan telah tiba di taman. Kuedarkan pandangan, mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu. Sayang, semua bangku telah terisi, kecuali satu bangku di depan anak-anak kecil yang sedang bermain.
Aku pun duduk di bangku itu. Memandang anak-anak yang berlarian dan tertawa-tawa, membuat sudut bibir ini sedikit terangkat. Kenangan masa kecil di Rumania pun terulas. Masa-masa ketika aku masih bisa tersenyum dan tertawa seperti mereka. Memori yang hanya kurasakan sekejap saja lantas berganti kehidupan penuh penderitaan. Tak ada gunanya mengingat kebahagiaan kalau nyatanya sekarang merasa geruh. Tercabik-cabik di tengah masyarakat munafik; teriris di dalam kehidupan yang miris.
Berulang kali aku mencoba mengorek ingatan dan memikirkan alasan untuk bertahan hidup. Gagal. Tidak ada satu alasan pun yang memberi asa. Termasuk orang tuaku. Mereka juga turut menderita karena aku. Aku hanya membebani kehidupan mereka yang sudah berat. Kian menghimpit mereka di antara kesulitan dan nestapa.
Aku adalah penderitaan bagi kedua orang tuaku. Cuma sampah yang tidak berguna bagi orang-orang di sekelilingku. Kalau sudah begini untuk apa hidup? Hanya merasakan penderitaan dan menjadi beban orang tuaku. Seharusnya aku memang tak pernah ada di dunia. Sayang, seandainya pun bisa menarik waktu ke belakang, aku tetap tak bisa memilih untuk tidak dilahirkan. Namun, ada satu hal yang bisa kulakukan: memupus derita.
Aku kembali di hadapkan pada cara melakukannya. Kali ini aku sudah tahu tindakan terbaik, yakni mengakhirinya dalam kesunyian, supaya tidak ada yang menghalangi keputusanku, juga tak terdistraksi oleh pikiran lain. Kini hari masih siang, bukan saat yang tepat untuk melakukannya.
Kuputuskan pulang ke rumah, menampakkan diri dan melakukan kegiatan seperti biasa agar ibu tidak curiga ada sesuatu yang kurencanakan. Kemudian aku pun menunggu saat itu tiba di dalam kamar. Hingga akhirnya jam demi jam berlalu ....
Aku menghela napas panjang lantas melihat ke luar jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya sedikit penerangan dari lampu-lampu di pinggir jalan. Aku berusaha menangkap suara, tetapi kesunyian telah menyelimuti malam. Aku pun mendongak, memastikan sekarang sudah pertengahan malam. Waktu menunjukkan pukul setengah satu. Biasanya ibu dan ayah sudah terlelap di kamar. Inilah saat yang tepat; waktu terbaik untuk memupus penderitaan.
Aku turun dari ranjang lalu berjalan mengendap-endap ke luar kamar. Ketika berada di luar, ruangan tampak gelap dan senyap. Suasana itu kian mendorong niatku. Kemudian aku mulai mencari-cari benda yang kubutuhkan. Tidak sulit, karena benda itu memang selalu ada di dalam laci dapur. Setelah mengambilnya, aku pun kembali ke kamar dan duduk di atas ranjang.
Kuangkat benda itu ke udara, seraya memandangnya. Pisau. Ya. Pada pisau inilah kugantungkan harapan untuk mengeliminasi nyawa; meniadakanku dari kehidupan, dan memupus semua derita.