Inmuia

KOJI
Chapter #12

Iandra

Terapi Frau Idonna sudah selesai kuikuti. Alih-alih dapat memadamkan dendam, perlakuan berbeda Frau Idonna justru kian menyulutnya. Namun, aku tidak menceritakan perlakuan Frau Idonna kepada orang tuaku. Percuma, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Perlakuan Frau Idonna sama seperti masyarakat munafik lainnya: berpura-pura baik, tetapi sebenarnya tamak; lebih mengindahkan uang ketimbang nurani. Karena itu sudah kuputuskan yura[1] untuk mengakhiri keangkuhan mereka, sekaligus memupus penderitaanku. Tidak saat ini. Aku akan bergerak sampai semuanya siap. Untuk sekarang aku harus bersabar dan mengikuti permintaan orang tuaku agar mereka tidak curiga. Selain itu aku perlu menyembuhkan luka di tanganku terlebih dahulu.

Semenjak mereka menuduhku mencuri, aku belum kembali ke sekolah. Ayah dan ibu juga tidak memaksa, tetapi mereka menginginkanku pindah ke sekolah yang baru. Risikonya aku harus mengulang kelas, sebab sudah terlalu banyak tertinggal pelajaran. Namun, aku sama sekali tak berniat kembali bersekolah karena akan menunda eksekusi dari rencanaku.

Aku ingin bekerja untuk mengumpulkan uang guna mendukung rencanaku. Meskipun belum tahu jumlah yang harus kukumpulkan, tidak ada salahnya mencari uang sejak sekarang. Karena itulah aku menyampaikan keberatan pada kedua orang tuaku ketika kami baru saja usai santap malam ....

Ayah dan ibu saling bertukar pandang. Perasaan cemas tampak di wajah mereka. Keduanya keberatan dengan keinginanku.

Ayah menghela napas panjang. "Stefan, masa depanmu masih panjang. Kalau kamu tidak bersekolah, bagaimana nanti masa depanmu?"

"Ayah benar, Nak. Ibu dan ayah berharap kamu akan memiliki kehidupan yang lebih baik daripada yang bisa kami sediakan untukmu." Ibu menimpali.

"Aku tidak ingin mendapatkan perlakuan yang sama seperti kemarin. Pindah sekolah pun akan tetap sama. Lagipula setelah usai sekolah, bukankah akan bekerja?! Kenapa tidak langsung bekerja saja?!"

"Jika kamu sudah memperoleh ijazah, upah yang akan kamu peroleh akan lebih besar lagi, Nak," tukas ibu.

"Perlakuan buruk pun bisa terjadi di mana saja. Termasuk di tempat kerja, kan?!"

"Benar, tapi aku tetap tidak mau bersekolah." Aku bersikukuh dengan keputusanku.

Alasanku memang tidak cukup kuat, tetapi ayah dan ibu tampaknya mempertimbangkan sisi psikologis-ku. Hingga pada akhirnya mereka pun setuju. Bahkan ayah membantu mencarikan kerja pada teman-temannya. Di antara teman-teman ayah, ada yang bisa memberi pekerjaan di restoran sebagai pramusaji.

Satu minggu kemudian, teman ayah memintaku agar datang dan menjalani pelatihan selama seminggu, sebelum dapat resmi bekerja di sana.

Restoran tersebut berada di tengah kota. Tidak sulit bagiku mencarinya. Hanya dalam beberapa menit saja aku telah tiba di sana. Manajer restoran—Herr Walden—menyambut kedatanganku. Ia ramah dan murah senyum. Sangat jarang aku melihat orang seramah Herr Walden.

"Ah, Stefan Geza, kan?!" Kedua ujung bibir Herr Walden terangkat tinggi.

"I-iya, Herr Walden," jawabku gugup.

"Aku sudah mendengar dari ayahmu kalau kamu mau bekerja di sini. Tapi bekerja di Bosendere[2] tidak mudah, Stefan. Lihatlah restoran ini,"—Herr Walden menyapu pandangan ke sekililing ruangan yang penuh berisi para pengunjung—"Bosendere restoran favorit di Gorlitz. Bukan hanya harus mempertahankan kualitas masakan, tetapi juga harus meningkatkan mutu pelayanan."

Aku mengangguk canggung. "Menurut ayah, saya harus mengikuti pelatihan selama satu minggu. Jika memang demikian, saya siap, Herr."

Lihat selengkapnya