Uang. Ia memberi kebahagiaan juga nestapa. Menghadirkan asa sekaligus keputusasaan. Aku membenci uang karena menyebabkan kegeruhan dalam hidupku. Uang menciptakan sekat sosial yang menindas dan melindas Proletarian[1]. Semua orang membutuhkan uang. Termasuk aku, yang memerlukannya untuk meminang sang pujaan: M4 Carbine. Senjata api yang dapat melesatkan sembilan ratus peluru per menit; penghantar maut dan pilu para penindas, sekaligus melegitimasi arogansi atas mereka. Sekarang tumpukan Euro sudah berada di tanganku dan membawanya ketika dalam perjalanan menemui Ehrlich di Jalan Elisabethstraße.
Pukul delapan pagi, di salah satu perempatan Jalan Elisabethstraße, Ehrlich berjanji akan menemuiku. Namun, ia hadir tiga puluh menit kemudian. Ia berjalan tergopoh-gopoh dengan keringat yang membanjiri tubuhnya.
"Maaf aku terlambat, Sobat," tukas Ehrlich dengan napas tersengal-sengal. "Aku harus beradu argumen dengan Frau Iandra agar mendapat izin tidak masuk hari ini. Pada akhirnya aku harus rela ia memotong gajiku," keluh Ehrlich, menghela napas.
Aku memberi setengah-senyum, seraya mengalihkan pandangan. "Ayo kita berang—"
"Tunggu. Ada yang ingin kubicarakan." Ehrlich menginterupsi.
"Kita bisa membicarakannya di jalan."
"Tidak mungkin, Stef. Bisa-bisa ada orang yang mendengar percakapan kita." Ehrlich mengedarkan pandangan. "Kita bicara di sana saja." Ia menunjuk kafe kecil yang sepi pengunjung.
Aku mengangguk lantas mengikutinya ke kafe tersebut. Kami pun duduk di pojok ruangan, berada jauh dari satu-satunya pengunjung yang ada di dalam kafe.
"Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku.
"Mengenai—" Kalimat Ehrlich terinterupsi dengan kedatangan pramusaji.
"Guten Morgen. Hendak memesan apa, Herr?" Pramusaji menegakkan penanya di atas kertas.
Ehrlich mengambil menu di atas meja. Pandangannya menyapu halaman menu di tangannya. "Cappuccino."
"Ada yang lain?" Pramusaji memalingkan wajah ke arahku.
"Sama."
"Mohon menunggu." Pramusaji pun berlalu.
"Bisa kita lanjutkan?" tanyaku.
Kedua ujung bibir Ehrlich terangkat. "Tadi ketika mau menemui Frau Iandra, aku tidak sengaja mendengar pembicaraannya dengan Herr Walden."
Mendengar kalimatnya, senyum tipisku pun tergelincir seraya memandangnya tajam. "Lantas?" tanyaku dengan nada beku.
Ehrlich memberi setengah-seringai. "Mereka membicarakanmu." Suaranya melambat. "Kurasa aku tidak perlu menjelaskannya, kan?!" Ia mengangkat sebelah alisnya.
Pandanganku menyorot tajam. "Apa maksudmu?"
Ehrlich terkekeh. "Kamu merekam perbuatan mereka lalu mengancam akan menyebar—"
"Cukup. Sekarang katakan maumu," ujarku lambat dan tenang, meskipun otot-otot rahang menegang.
Seringai miring tampak di wajahnya. "Aku berbeda dengan mereka. Tak ada sesuatu yang menyudutkanku, juga tidak ada aib yang harus kututupi. Memang dalam perbincangan kita, kamu tidak terang-terangan mengakui, tetapi secara implisit kamu membenarkan. Ini sudah cukup menjadi bukti pemerasan yang kamu lakukan,"—Ehrlich mengeluarkan perekam suara dari kantung baju—"agar polisi memeriksamu. Aku juga yakin, Herr Walden dan Frau Iandra akan mengatakan semuanya ketika memberikan keterangan pada polisi." Ehrlich menjeda kalimat, seringai kemenangan tampak di wajahnya. "Aku tidak akan melaporkanmu, asalkan kamu membayar fee menjadi dua puluh persen dari harga beli 'benda' tersebut. Bisa saja aku memeras tanpa membantumu. Namun, tidak. Aku masih menganggapmu teman. Permintaanku terbilang wajar, mengingat tidak ada di antara kita yang akan merugi."
Aku mencerna kata-katanya sesaat. "Tidak masalah," tukasku, berusaha tersenyum, menutupi amarah yang tersulut di dalam dada.