Inmuia

KOJI
Chapter #15

Menggugat Nista

Aku memandang langit-langit ruangan. Pikiranku melayang ke malam ketika Iandra berada dalam pelukan. Senyum pun tersungging membayangkannya tunduk pada hasratku. Andai saja ia Liesel, sudah pasti aku lebih senang ketimbang sekarang. Namun, membalas perbuatan Liesel tak cukup hanya dengan merengkuh tubuhnya. Liesel, Hans, dan teman-temannya harus merasakan pembalasan puluhan kali lipat.

Terhina.

Tercampakkan.

Tercabik-cabik.

Tulang mereka akan remuk.

Usus mereka akan terurai.

Otak mereka akan berserakan seperti kotoran.

Mayat mereka akan membusuk bersama tumpukan mayat kaum munafik.

Sayang, aku belum bisa menuntaskan nyawa mereka sebelum M4 Carbine berada di tanganku. Pada senjata api itulah tergantung harapan untuk menyematkan "Stefan Geza" dalam diriku. Tidak lama lagi ....

Kualihkan pandangan pada jam dinding yang menunjukkan pukul enam pagi lantas bersiap-siap pergi ke Bosendere. Hari ini adalah saatnya aku menyelesaikan rangkaian rencana tahap awal. Video itu akan memaksa Herr Walden menyerahkan Euro yang kuminta.

Perasaan jemawa kembali menyelusup, mengiringi setiap langkah yang kutempuh menuju Bosendere. Hingga akhirnya aku pun tiba di tujuan. Pandanganku menyapu sekeliling, melintasi karyawan-karyawan yang sedang mempersiapkan ruangan sampai terpatri pada Herr Walden dan Iandra yang duduk di tengah ruangan. Pandangan kami bertemu sesaat. Dari tatapan Herr Walden dapat kusimpulkan kalau Iandra sudah menceritakan kejadian semalam.

Aku bergegas menghampiri mereka. "Tidak jadi mengambil libur Frau Iandra?" tanyaku berupaya tampak wajar di dekat para karyawan di sana.

Alih-alih menjawab, ia justru mendengkus seraya membuang muka.

Aku tersenyum miring. "Kita akan berbicara di mana Herr Walden?"

Pupil Herr Walden bergerak ke arah Ruang Manajer. "Ikut aku." Ia beranjak bersama Iandra.

Seluruh karyawan memandang kami berjalan. Tak terkecuali Ehrlich, yang berbisik ketika aku melewatinya. "Ada masalah apa, Stef?"

"Tenang saja. Tidak ada masalah apa-apa," jawabku, tersenyum.

Ketika sudah berada di dalam Ruang Manajer, Herr Walden langsung menumpahkan amarahnya. "Sudah kutolong, kamu malah membalas kebaikanku dengan cara kotor!"

"Kotor? Siapa yang kotor?" Kuputar video rekaman perbuatan mereka dengan volume keras.

"Kamu memang tak ada tandingannya, Sayang."

"Istrimu?"

"Bahkan dia sekalipun bukan tandinganmu."

Tiba-tiba Herr Walden melompat dan berusaha merebut ponsel di tanganku. Namun, aku berhasil berkelit dan memasukkan ponsel ke dalam saku.

"Aku tidak bodoh, Walden," ucapku, tak lagi mengindahkan norma. "Video ini sudah kusimpan di dalam penyimpanan online. Kalau ponsel ini hilang, atau terjadi sesuatu padaku, temanku akan menyebarkannya," gertakku, setengah berbohong.

Wajah Walden merah pekat, pun giginya bergemeretak. "Apa maumu?"

Lihat selengkapnya