“Akukah yang menemukanmu atau kaulah yang menemukanku?”
.
Di bawah langit biru tanpa awan, di tengah rerumputan keemasan yang bergoyang, di bawah sinar matahari yang putih, dan di antara bukit hijau nan jauh. Gerisik rerumputan yang diterpa angin menerbangkan segaris hijau pucat di antara biru muda yang membumbung tinggi ke udara―silirannya menggoda kulitku dengan gemulai.
“Setiap suara memiliki warna dan setiap rupa memiliki rasanya tersendiri.”
Ia hanya tersenyum, jemarinya masih menekan tuts piano dengan lincah. Kedua matanya yang setengah terbuka menampilkan binar irisnya yang cemerlang―begitu berkilau bagaikan mata pisau yang baru diasah.
“Kau tahu? Aku dapat melihat dan merasakannya, warna-warna tak terlihat itu dan rasa-rasa tak terkulum itu.”
Ia masih bergeming, namun aku tahu ia mendengarku. Aku yang masih belum puas pun kembali membuka suara, “Semua orang yang kutemui memiliki warna yang jelek dan mereka meninggalkan rasa yang aneh di mulutku.” Kumainkan ujung dasi-pita merah yang melilit leherku, memutarnya di atara jemariku dan menarik-narik simpulnya dengan lemah. “Emosi mereka mempengaruhi warna, watak mereka mempengaruhi rasa,” tambahku dengan nada rendah, setengah menggumamkannya.
Aku melemparkan kedua tanganku ke atas, merenggangkan tubuhku yang terasa kaku. Aroma rerumputan yang segar memenuhi seluruh rongga hidungku ketika aku menghela napas panjang, tercium bagaikan aroma udara musim panas yang sangat khas.
Kulihat pita tipis berwarna hijau pucat dan biru muda yang lembut terbang ke angkasa, menari-nari bagaikan spiral tanpa ujung, bersamaan dengan angin yang berembus menggoda. Aku terpukau melihat warna-warna yang mengelilingiku itu, mencoba menyentuh salah satu pita tak berwujud itu dengan tanganku, namun yang kudapatkan hanyalah udara hampa.
“Warna mereka akan menggelap jika mereka sedang tidak senang, rasa mereka akan tidak enak jika mereka adalah orang yang buruk. Orang-orang borjuis yang congkak adalah orang-orang dengan warna dan rasa yang paling memuakkan.” Ucapku lagi, menyelesaikan penjelasanku.
Dia melirikku dari sudut matanya, masih mengulum senyuman manis nan memesonanya. “Bagaimana denganku?” tanyanya dengan tenang, tangannya tak berhenti memainkan grand-piano hitam di hadapannya.
“Bagaimana denganmu?” ucapku, mengulangi pertanyaannya. Aku menengadah, memandang langit yang biru tanpa awan, kemudian menggumam sembari berpikir. “Warnamu kelabu bagaikan awan badai yang mengamuk. Warnamu itu begitu mencekam namun di sisi lain sangat menawan. Terkadang kelabu itu begitu berkilau seperti perak, terkadang pula warnanya begitu tipis bagaikan kabut.” Jawabku seraya menatap langit biru yang cerah tanpa awan. “Wajahmu itu ... wajahmu itu meninggalkan rasa cokelat yang manis dan pahit di mulutku.”
Aku melihat seekor kupu-kupu biru yang indah terbang di atas kepalaku, terbang berputar-putar di sekitar tanganku yang terulur ke atas, sebelum akhirnya ia mendarat dengan anggun di jariku.
“Apakah warna dan rasaku itu buruk?” tanyanya lagi, nadanya penasaran.
Aku menggeleng padanya. “Tidak. Malah sebaliknya―itu sangat indah.”
Kali ini dia yang bergumam. Alunan melodinya sangat ringan namun penuh emosi. “Bagaimana dengan ibumu? Dan Elena?” tanyanya lagi, masih fokus dengan lantunan melodinya.
“Ibuku?” ucapku membeo. Aku mengernyitkan dahi sembari berpikir, “Nah, dia memiliki warna kuning seperti buah limau. Ia terasa seperti foei gras yang sangat pahit.” Jawabku seraya menurunkan lenganku secara perlahan agar kupu-kupu biru di jariku tidak terkejut. “Kau tahu mengapa?”
Dari ekor mataku ia menggeleng, entah tidak tahu jawabannya atau mungkin sedang malas menebaknya.
“Itu karena dia sangatlah congkak,” sahutku padanya, menjawab teka-tekiku sendiri. “Dan Elena? Dia memiliki warna ungu yang sangat pekat, dan dia terasa seperti menelan bunga mawar seutuhnya. Kau tahu maksudku―kau melihat bunga mawar indah nan harum dan terlihat sangat enak untuk dimakan, namun ketika kau mencoba untuk memakannya, yang kau rasakan hanyalah pahit dan rasa sakit dari duri yang menyelubunginya. Seperti itulah dia ....” Jelasku, memperhatikan kupu-kupu bersayap biru yang beristirahat di jariku.
Dia hanya tertawa kecil.
Aku kembali berceloteh sesuka hati, mengeluh dan bercerita tentang hariku padanya. Dengan sabar ia mendengarkanku, fokus permainannya tidak terganggu sekalipun. Alunan musiknya sama sekali tak ada yang salah, nadanya yang mendayu penuh sentimen namun lincah itu terus menimbulkan warna biru muda yang sangat lembut dan rapuh.
Frederic Chopin, Nocturne Opus 9 Nomor 1.
Walaupun aku tidak bermain piano, aku dapat mengenali musik ini dari warnanya yang khas.
Kupu-kupu yang singgah di jariku menggerakkan sayapnya seirama dengan alunan musiknya. Sayapnya yang biru gelap mengepak dengan anggun, kaki-kaki rapuhnya berjalan lambat menelusuri punggung tanganku. Hanya beberapa saat ia singgah dan kemudian kupu-kupu itu terbang lagi, kali ini benar-benar menjauh, tenggelam di antara hamparan rumput hijau kekuningan nan tinggi. Aku terus memandang ke mana terbangnya kupu-kupu kecil itu sebelum akhirnya aku tak lagi melihat siluetnya.
Mataku kini beralih untuk menatap pemuda yang masih memainkan piano dengan indah di sampingku, memperhatikan profilnya dengan seksama. Selama aku terus memperhatikannya, sekalipun tak pernah dilepasnya senyuman dari wajahnya yang tenang itu. Kedua irisnya yang sewarna batu ambar bersembunyi di balik kelopak matanya, tirai-mirai bulu matanya yang panjang nyaris menyentuh tulang pipinya yang tinggi.
Seketika lidahku dipenuhi oleh rasa pahit dan manis cokelat yang meleleh secara perlahan―melumer begitu pekat dan sangat menenangkan, membanjiriku dengan perasaan lega yang tak kumengerti dari mana asalnya. Warna kelabunya yang berkilauan membutakan pengelihatanku, segaris tipis kilauan perak terlihat menyelimutinya ketika ia turut bersenandung mengikuti irama musiknya.
“Arne ...” panggilku, ia pun menampakkan irisnya yang begitu tajam nan dingin. Namun sebelum aku sempat mengatakan apapun padanya, aku dipaksa kembali ke alam kesadaranku.
.-.-.-.
Yang kulihat pertama kali ketika kubuka mataku adalah wajah kesal Elena.
Warnanya yang ungu pekat dan rasa yang seperti memakan bunga mawar langsung menyelimutiku, menyadarkanku seutuhnya. Ia terus-menerus memanggilku dengan nada yang dibuat-buat, tangannya yang jahil tak berhenti memainkan rambutku, memilinnya di antara jemarinya.
Kutepis tangannya satu kali, namun ia masih bersikeras memainkan rambutku yang lebih ikal daripada mayang mekar miliknya. Aku mendecih dan menangkap lengannya, menjauhkannya dari rambutku. “Mainkanlah rambutmu sendiri.” Gertakku mengusirnya, tatapanku menusuk tepat di matanya.
Namun ia malah balik mendecih, menarik kembali lengannya, dan duduk di hadapanku dengan angkuh. Gaunnya yang semerah lautan darah menyapu lantai, warnanya yang mencolok sangat cocok dengan rambutnya yang pirang dan matanya yang hijau. Sesuai dengan sikap angkuhnya, ia duduk dengan tegap, dagunya diangkat tinggi-tinggi, tidak meletakkan sejentik jari-pun di atas meja―tidak sepertiku yang melipat kedua tanganku di atasnya. Ekspresinya yang statis senada dengan rasa pahitnya yang tidak pernah berubah.
“Kau melamun.” Ucapnya dengan absolut, tidak memberiku celah untuk mengelak. Irisnya, yang hijau bagaikan buah zaitun, tajam mengintrogasi, kedua sudut bibirnya yang tipis ditarik sedikit ke bawah. “Kau selalu melakukan itu, Elli.” Tambahnya lagi, entah mengapa terdengar seperti sedang mengeluh padaku.
Aku menggerutu, tidak paham apa inginnya. “Sudah kubilang, jangan panggil aku Elli.” Keluhku, tidak terima dengan nama kecil darinya. “Kau membuatku terdengar seperti seorang anak perempuan.”
“Namamu Elliot, bukan?” selanya, membela dirinya sendiri. Nada suaranya mengusikku.
Aku hanya dapat menggigit sisi dalam pipiku mendengar alasannya. Kepalaku kuletakkan di atas meja bundar di hadapanku. “Itu bukan berarti kau dapat memberiku nama kecil seperti itu, Elena.” Ucapku lagi, bersikeras tak ingin mendengarnya memanggilku dengan nama Elli.
Ia terlihat seperti tidak mengacuhkan gerutuanku, namun garis bibirnya melengkung karena kesal mendengar keluhanku. Aku langsung tersadar bahwa ia tidak suka dengan sikapku ketika rasa pahitnya semakin mencekikku.
Elena meletakkan kedua tangannya di atas meja, tubuhnya bangkit setengah berdiri dengan wajah kesal yang semakin mendekat padaku. “Dengar. Aku tidak peduli kau mau dipanggil Elli, Elliot, atau apa. Itu bukan urusanku.” Ujarnya, nada suaranya tajam dan rendah―begitu pula warnanya yang semakin menggelap. Ia berdiri dengan tegap, kembali pada sikapnya yang angkuh. “Hari ini Ibu pergi ke Helsinki untuk menghadiri pesta Tuan Hämäläinen, jadi kau bisa keluar dari tempat untuk beberapa hari,” ucapnya, nada suaranya masih mengintimidasi.
“Untuk apa aku keluar?” tanyaku dengan berani, mempertanyakan maksud tersembunyinya. Walaupun aku tahu ini adalah kesempatan yang langka, tetap saja aku tak ingin pergi bersamanya.
Elena mendecih lagi, memandangku dengan tatapan sebal. “Tentu saja untuk bermain catur denganku.” Serunya, seolah-olah itu adalah hal yang paling jelas di seluruh dunia.
“Aku tidak bisa bermain catur.” Ujarku dengan malas, benar-benar tak ingin berurusan dengannya. “Carilah orang lain untuk melawanmu.”
Namun ia masih saja tidak puas―masih saja suka memaksa orang lain melakukan apapun sesuka hatinya. “Kau tetap akan bermain denganku, Elliot.” Katanya, benar-benar memaksaku.
“Sudah kubilang, aku tidak bisa bermain catur!”
“Kau bercanda?! Kau mengalahkanku minggu lalu!” Ujarnya setengah berteriak, wajahnya sangat kesal. Kali ini warna ungunya semakin mendekati warna hitam. “Tidak pernah ada seorang pun yang bisa mengalahkanku sebelumnya. Oleh sebab itu, aku akan benar-benar membalasmu, dan mengalahkanmu kali ini.”
Ia tiba-tiba mengamit tanganku dan menarikku untuk mengikutinya dengan paksa. Tangannya yang menggenggam dengan erat tidak melepaskanku walaupun aku berusaha untuk menepisnya, kekeras-kepalaannya mengompori ego besarnya. Dia terus menarikku dengan paksa menuju ruang rekreasi, mendudukkanku di depan meja catur yang berantakan pion-pionnya.
Matanya yang hijau bagaikan buah zaitun segar, menatapku dengan tajam saat aku bergeming, tidak tahu harus melakukan apa. Dia berdesah kecil ketika aku balas menatapnya, tangannya dengan cekatan merapikan bidak-bidak hitam milikku, sebelum ia beralih merapikan bidak-bidak putihnya yang masih berceceran di mana-mana.
Dalam dua menit saja, aku sudah kalah tiga kali melawannya.
Sekakku dengan mudah direbutnya, hanya dengan dua langkah saja dia telah mengalahkanku dalam sebuah sekakmat. Walaupun begitu Elena tidak mengeluh tentang permainan burukku sama sekali seolah-olah ia sudah menduganya, matanya yang tajam menatapku dengan penuh kalkulasi. Ketika aku tengah merapikan kembali bidak-bidak hitamku, tiba-tiba ia membuka suaranya.
“Ada yang salah dengan matamu.” Ujarnya, retorik sekali.
Aku membersut, tidak suka dengan sikap kasarnya. Walaupun aku tahu warna kedua iris mataku sangat berbeda, tetap saja aku tidak suka jika ia mengungkitnya seperti itu. Aku mengeluh, “Aku tahu warna mataku ini tidak normal, kau tidak perlu―.”
“Bukan itu maksudku, bodoh.” Ia menyelaku, sekaligus meledekku. Tatapannya menusuk tepat di mataku. “Sesuatu dari matamu berbeda lagi ...” tambahnya lagi, semakin membuatku bingung.
“Apa maksudmu dengan berbeda?” tanyaku dengan geram, dapat kulihat warna hijau yang gelap menyelimutiku. “Kau hanya ingin meledekku, Elena.” Ucapku lagi, benar-benar kesal padanya.
Elena menyerah, mengembuskan napas berat, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkanku. Ia benar-benar mengabaikanku yang kesal dan muak dengan sikap kasarnya. “Sudahlah. Aku sudah tidak tertarik melawanmu,” ujarnya tanpa berbalik menatapku. “Tidak seru jika aku melawanmu dirimu yang tidak seperti biasanya.” Tambahnya lagi, disertai sebuah lambaian-tangan kecil sebelum ia menghilang di balik pintu.
.-.-.-.
Arne hanya tertawa kecil ketika aku datang dan langsung mengeluh kepadanya. Warna matanya seindah ambar berkilauan di bawah pantulan sinar matahari, suaranya yang tenor menciptakan warna kelabu yang sangat tipis bagaikan kabut di pagi hari. Tangannya masih tak berhenti memainkan piano kesayangannya, kali ini musik yang dimainkannya adalah Piano Sonata Nomor 2 milik Chopin. Tiba-tiba saja ia berkomentar, “Dia kakakmu, Elliot. Tentu saja ia hanya ingin bermain denganmu,” dengan nada suaranya yang sangat tenang.
“Dia tidak ingin bermain denganku, Arne. Dia hanya ingin mempermainkan-ku. Dia tahu aku tidak bisa bermain catur, tapi tetap saja dia memaksaku bermain catur melawannya.” Keluhku lagi. Aku melipat kedua tanganku di depan dada, “Dia juga terus memanggilku dengan sebutan Elli. Memangnya aku ini anak perempuan?” tambahku lagi, wajahku bersut ketika Arne hanya tertawa saja.
Arne bergumam kecil, musiknya masih terlantun dengan indah. “Elena tidak buruk.” Aku nyaris tersedak ludahku sendiri mendengar komentarnya. Arne kembali tertawa saat aku memberinya tatapan tajam. “Dia adalah wanita intelektual, berkepribadian kuat, dan sangat cantik. Kau sendiri setuju dengan pendapatku, bukan?”
“Arne, jangan katakan kau ....” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. “... menyukai Elena?”
Ia tertawa cukup keras, nyaris saja salah menekan tuts pianonya. Alunan melodinya yang agak berantakan kembali normal seperti semula dengan cepat, ekspresinya yang tenang pun kembali menghiasi wajahnya yang sedikit memerah. Arne mengerlingkan mata padaku. “Mungkin saja iya, atau mungkin saja tidak ...” ucapnya, menggodaku.
Aku menggerang kecil, tidak suka dengan leluconnya. “Walaupun Elena sangat menyebalkan, tetap saja aku tidak akan memberikan kakakku padamu.” Ujarku padanya, sejujurnya.
Arne tertawa lagi, suaranya kini rendah dan getir, warnanya mulai menggelap. “Tenang saja. Kau tahu sendiri aku tidak mungkin bisa, Elliot.” Sahutnya, bersamaan dengan musiknya yang masuk pada bagian larghetto. Aku dapat merasakan dingin menelusuk di ruas-ruas tulang belakangku ketika warna alunan melodinya berubah mejadi lebih gelap, begitu pula dengan kelabu Arne yang menyerupai awan mendung.
Senyuman getir di wajahnya dan irisnya yang ambar menyadarkanku bahwa aku telah salah bicara padanya―bahkan mungkin saja aku menyakiti perasaannya. Aku hanya diam saja, sama sekali tak berani memandangnya, membiarkan lantunan melodi dari pianonya mengisi keheningan di antara kami.
.-.-.-.
Pintu kamarku diketuk tiga kali dengan sangat pelan, nyaris saja tak terdengar olehku. Aku meletakkan cangkir tehku di atas tatakan porselen, menatap pada pintu yang perlahan dibuka oleh seorang pelayan wanita yang tidak kukenali wajahnya. Rasa seperti telur mentah langsung menyelimuti lidahku ketika aku menatap wajahnya.
“Tuan Muda, saya membawakan buku pesanan Anda.” Ucapnya dengan sangat sopan dan takut-takut, kepalanya tertunduk dan tubuhnya berdiri dengan tegap, kikuk. Warna suaranya merah jambu pucat, bergoyang-goyang karena gugup, namun setidaknya bagiku warna itu tidak memuakkan. Kulihat tiga buah buku yang masih terbungkus rapi berada di tangannya, terlihat sangat tebal dan cukup berat untuk dibawanya.
Aku kembali menatapnya dengan bingung. “Aku tidak memesan buku apapun,” kataku, sejujurnya.
Pelayan wanita itu tampak terkejut, ekspresinya berubah menjadi panik. “Ta, tapi Tuan Muda sendiri yang memesan buku ini seminggu yang lalu. Saya hanya membawakan ini sesuai dengan permintaan Tuan Muda.” Ucapnya lagi, membela dirinya sendiri. Warna merah jambunya menggelap sedikit, berayun liar karena panik.
Aku hanya bergumam, tidak ingin membuatnya semakin kebingungan. Kubiarkan dia meletakkan ketiga buku itu di atas meja di hadapanku, tangannya sedikit bergetar karena takut melakukan kesalahan. Kuasumsikan dia seorang pelayan baru karena rasanya yang tidak pernah kuingat sebelumnya. Tentang kesalahan dalam pemesanan buku ini, kutebak semua ini adalah ulah kejahilan Elena. Wanita usil nan licik itu pasti melakukannya untuk mengusikku, mengatakan pada seorang pelayan bahwa aku ingin memesan buku, padahal jelas-jelas aku tidak suka membaca.