Innenseite

Ei
Chapter #2

Bus Stop

Aku tidak pernah memiliki teman sebelumnya.

Tidak ada yang mau berbicara denganku, entah itu di rumah maupun di sekolah. Jika mereka memang terpaksa berbicara denganku, mereka akan bertingkah terlampau formal, seolah-olah berbicara dengan orang asing dari daerah tak dikenal. Dari bisikan yang terucap di balik punggungku, aku menyadari bahwa itu semua adalah salahku sendiri. Walaupun aku tidak mengerti apa maksud mereka, mereka berkata bahwa aku membuat mereka merasa tidak nyaman berada di dekatku. Namun selama ini aku tidak mempermasalahkannya dan aku merasa cukup nyaman dengan keadaanku saat ini. Hingga akhirnya dia mengulurkan tangan padaku, barulah aku sadar, ah ... aku juga ingin memiliki teman.

.-.-.

Kala itu aku sedang menunggu bus sekolah datang. Bekal yang diberikan Bibi Maria kubawa dengan hati-hati di tangan kiriku, sedangkan tangan kananku meremas tiket tua kesayanganku. Bekal yang kudekap terasa hangat, membayangan isinya saja sudah cukup membuatku tersenyum bahagia. Bibi Maria adalah orang yang sangat baik, begitu pula dengan Paman Edwin. Mereka merawatku dengan baik, walaupun terkadang aku merasa mereka pun memperlakukanku seperti orang asing.

Segerombolan anak-anak mendekat dengan suara mereka yang gaduh. Mereka juga datang untuk menunggu bus, berdiri agak jauh dariku. Aku hanya menatap tanah, masih membawa bekal yang diberikan Bibi Maria dengan hai-hati. Anak-anak yang menunggu mulai berbisik-bisik di belakangku, namun aku tidak peduli. Bekal di pelukanku terasa hangat, dan itu sudah cukup untuk membuatku tetap tersenyum.

Saat bus sekolah tiba, aku langsung duduk menempati kursi terdekat dengan pintu. Sopir bus melirik pada kaca spion, menghitung anak-anak yang naik ke dalam bus. Seperti biasa, tidak ada yang mau duduk di sampingku. Bahkan jika semua kursi telah penuh, mereka memilih untuk berdiri atau berbagi kursi dengan temannya. Aku tidak mempermasalahkannya―aku mungkin akan lebih kaget jika ada yang mau duduk di sampingku. Kupikir hari ini pun aku akan duduk sendirian, namun dugaanku salah.

Dia masuk paling terakhir. Tubuhnya paling tinggi di antara anak laki-laki di sekolahku, dia juga ketua kelas di kelasku, jadi sangat mudah untukku mengingatnya. Dia terlihat seperti anak nakal, namun dia sangat pintar sehingga guru-guru sering memujinya. Para gadis menyukainya―mereka sering menyorakinya setiap kali pelajaran olahraga. Baik sifat dan penampilannya, tentu saja dia sangat berkebalikan denganku, dan kurasa dia adalah orang terakhir yang mau berteman denganku.

Namun itu semua hanyalah asumsi liarku.

Semua orang terkejut ketika dia tiba-tiba duduk di sampingku dengan santainya, walaupun aku adalah orang yang paling terkejut dengan sikapnya. Bisikan di belakang punggungku terdengar semakin keras dan riuh. Bingung harus melakukan apa, aku hanya bisa menundukkan kepalaku.

“Kau tidak suka aku duduk di sini?” Pertanyaan itu berasal dari sampingku.

Kali ini aku menatapnya, namun suaraku tercekat untuk menjawabnya. Aku menggeleng keras sebagai gantinya. Aku sangat senang kau mau duduk di sampingku, batinku, namun mana mungkin aku dapat mengucapkannya.

Dia tersenyum ramah, tidak sesuai dengan citraku tentangnya. “Kalau begitu tidak masalah, bukan?” katanya, sebuah pertanyaan retrorik.

Hendak aku mengangguk namun aku terlampau malu untuk melakukannya. Sekali lagi aku menundukkan kepalaku. Walaupun aku tidak berbicara bahkan menjawab pertanyaannya, dia terlihat nyaman duduk di sampingku. Aku tidak mengerti mengapa, namun aku sangat senang hingga aku tidak bisa berhenti tersenyum.

.-.-.

Kupikir pagi itu hanyalah sebuah kebetulan namun dia terus duduk di sampingku setiap kami berangkat dan pulang sekolah. Kami tidak banyak berbicara di dalam kelas karena dia selalu dikerumuni anak-anak lainnya, dan kami juga tidak banyak berbicara di dalam bus, membuatku penasaran apakah dia lama-lama akan merasa bosan denganku.

Namun sepertinya dia terus mencoba untuk membantuku dan terus memulai pembicaraan singkat denganku. Walaupun awalnya aku masih kesulitan membalas perkataannya, semakin lama aku mulai terbiasa dengannya, dan sekarang aku sudah lancar berbicara padanya.

Dia benar-benar anak yang baik dan keren, membuatku sangat mengaguminya. Tidak seperti apa yang kubayangkan tentangnya, dia sangatlah baik dan ramah pada setiap orang. Dia bahkan tersenyum lembut ketika sedang berbicara dengan orang lain.

Suatu hari sepulang sekolah dia bertanya padaku, “Apa yang kaubawa itu?” Sepertinya dia penasaran dengan tiket yang selalu kugenggam, jadi aku menunjukkannya. “Apakah itu sangat berharga bagimu?” Dia kembali bertanya setelah aku menunjukkan tiket tuaku padanya..

Aku mengangguk. “Ya. Tiket ini sangat, sangatlah berharga bagiku ...”

Dia diam, berpikir sejenak. “Bukankah lebih baik jika disimpan saja?”

“Umm. Aku ... aku tidak ingin jauh-jauh dari tiket ini ...” ujarku sambil menggelengkan kepala.

Dia tidak bertanya lagi. Senyuman lembutnya ditawarkan padaku. “Kalau begitu jagalah dengan baik-baik,” katanya, baik sekali.

Aku hanya mengangguk dengan antusias padanya.

.-.-.

Walaupun dia sudah mengatakannya, aku tidak dapat menepatinya.

Aku yakin aku sudah menyimpannya di dalam tasku ketika aku keluar untuk mengganti baju olahraga. Namun ketika aku mulai mencarinya, aku tidak menemukannya. Kukeluarkan seluruh isi tasku dan kucari sekitar loker dan mejaku, namun aku tidak berhasil menemukannya. Saat aku kebingungan mencarinya, anak-anak yang melihatku berbisik-bisik di belakangku. Kupikir saat itu adalah waktu bagiku untuk menyerah dan mulai melepaskannya, namun entah mengapa hatiku tidak mau menerimanya.

Aku pun menjadi putus asa.

.-.-.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya padaku ketika kami sedang menunggu bus untuk pulang.

Aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, namun dia tidak percaya padaku. Dia terus menekanku untuk berbicara, hingga akhirnya aku berkata jujur padanya. “Aku kehilangan tiket berhargaku.”

Kupikir dia akan marah padaku karena tidak menjaganya dengan baik. Namun dia malah bertanya, “Kau sudah mencarinya?” dengan nada khawatir. Aku cukup terkejut mendengarnya hingga aku tidak sanggup untuk menganggukkan kepalaku dengan benar. Dia bahkan menawarkan diri untuk membantuku mencarinya.

Lihat selengkapnya