Innenseite

Ei
Chapter #3

Dua Satu

Di kelas ini hanya ada dua puluh orang murid.

Namun aku mengenal satu orang lagi.

.

Si Dua Satu―begitulah aku menyebutnya.

Entah siapa dirinya, aku pun tak tahu. Dia selalu berada di ruang kelas bersama yang lain, selalu memoles senyum tipis dengan bibir pucatnya, dan irisnya yang hitam kelam selalu memancarkan sorot mata kosong yang tak terdeskripsi.

Biasanya dia hanya diam saja di bangkunya, atau berjalan-jalan untuk turut mengerubungi seseorang yang sedang berceloteh sendiri, atau terkadang membuntuti anak-anak yang berjalan sambil berkelakar. Dia selalu mengobservasi dari belakang, dari balik layar, dan dia pun terkadang mendekat hanya untuk memperhatikan dalam diam.

Walaupun tingkahnya aneh, tidak ada yang mengenalnya―satu pun tidak ada. Jangankan berbicara, tidak ada satu pun orang yang memperhatikannya. Padahal dia selalu ikut mendengarkan pembicaraan orang-orang, dan ia juga senang berkerumun di dalam keramaian. Mungkin karena sepanjang hari ia hanya bergeming sembari mendengarkan―mengobservasi dan mengalkulasi. Ya, mungkin karena itulah tidak ada yang mau mengajaknya berbicara.

Si Dua Satu jelas-jelas bukanlah murid dari kelas ini, namun entah mengapa setiap kali absensi dibacakan, namanya selalu tercantum di sana. Among Gema Buana―itulah namanya. Walaupun begitu, tetap saja jumlah murid yang tertera di absensi kelas ini hanyalah dua puluh orang.

Hari itu adalah hari yang janggal bagiku. Tiba-tiba si Dua Satu tersenyum simpul padaku saat pandangan kami bertemu. Sepertinya ia menyadari bahwa aku terus memperhatikannya.

Sudut bibirnya tertarik ke atas hanya sedikit, dan kedua matanya langsung terpaku padaku. Tatapannya yang tajam menusuk membuat seluruh tubuhku merinding. Sebuah sensasi dingin menjalar melalui ruas-ruas tulang belakangku setiap kali menatap irisnya yang kelam itu. Ia berbisik lamat-lamat, mengucapkan kalimat lambat-lambat. Aku pun tak dapat mengalihkan perhatianku dari gerak bibir pucatnya.

“Jangan ganggu.”

.-.-.

Selama berminggu-minggu setelahnya, aku sering mendapatinya memperhatikanku dengan seksama. Matanya terus terpaku padaku, selalu memperhatikan gerak-gerikku. Seolah-olah dia tengah membuat lubang di kepalaku, dia tak henti-hentinya menatapku walau di tengah jam pelajaran berlangsung sekalipun. Ketika aku menoleh padanya, dia tidak berpaling sama sekali. Tanpa sungkan, dia menawarkan sebuah senyum tak berarti, sorot matanya berubah kosong dalam sekejap.

Aku merasa risi selalu diperhatikan seperti itu. Seakan-akan aku berada di bawah observasi iris kelamnya, aku tak dapat lari dari pandangan matanya. Walaupun aku berusaha untuk menunjukkan rasa tidak nyamanku melalui gerak-gerikku, tidak ada satu pun yang menyadarinya. Tiada pula yang menegurnya karena terus memandangi orang lain di tengah jam pelajaran.

Lihat selengkapnya