“Monster macam apakah yang hidup di kegelapan lautan?”
.
.
Satu pion maju.
Dahiku mengerut. “Aku terjebak,” batinku, sembari memikirkan ulang rencanaku. Padahal aku hendak menggertaknya dengan memajukan rajaku, namun dengan mudahnya dia balik menyerang dan menyudutkanku. “Kalau begini terus, cepat atau lambat aku akan kalah,” pikirku lagi.
“Sudah menyerahkah?” Suaranya begitu lembut untuk ukuran seorang pria dua puluh satu tahun sepertinya.
Aku mengangkat kedua tanganku, menyerah. “Hamba mengakui kekalahan ini,” ucapku sedikit tidak terima. Sebagai seorang pria, aku harus mengakui kekalahanku dengan berani.
Dia hanya tersenyum kecil, nyaris tidak terlihat. Tangannya kembali bergerak untuk mengambil bidakku, meletakkannya di posisi yang tidak terpikirkan olehku. Suara tak yang keras menggema di antara ruang hiburan yang sepi. “Padahal kau bisa mengalahkanku dalam satu gerakan,” ujarnya dengan nada kecewa. Dia memandangi lagi papan hitam putih di hadapannya. “Ya, seharusnya kau bisa mengalahkanku dalam satu gerakan saja ....” Gumamnya lagi, berulang-ulang. Dia tersenyum tipis padaku, iris bagaikan langit paginya berkilauan memantulkan cahaya matahari. “Kau terlalu percaya padaku, Grigor.”
“Jika Hamba tidak percaya pada Tuan, bagaimana Hamba akan bertahan di sisi Tuanku?” tanyaku padanya. Setengah hatiku merasa kecewa mendengar tawanya, namun aku lega dia tidak tersinggung karenanya. Pangeran Lev adalah yang pria yang terlalu baik untuk dunia ini; ia mungkin tidak menangkap maksud ucapanku.
Pangeran Lev beralih menatap pada jendela besar yang berada di ujung ruangan. Oh, rupanya matahari sudah mulai bergeser dari puncaknya―itu artinya dia harus pergi untuk melanjutkan aktivitasnya. “Aku tidak ingin berlatih violin,” Pangeran Lev berucap sebelum sempat pelayannya datang untuk menjemputnya.
“Yang Mulia tidak akan senang jika Tuanku berkata demikian,” kataku mencoba untuk membujuknya. Aku tahu betul Pengeran tidak menyukai alat musik, dia tidaklah terlahir untuk hal itu. Namun seperti yang kukatakan, Pangeran Lev terlalu baik untuk dunia ini―dia tidak dapat menolak apa yang orang lain minta darinya. Terutama ketika nama Yang Mulia disebut, dia tidak bisa lagi mengikuti kemauannya.
Nikolai, pelayan utama Pangeran Lev, datang tepat pada pukul satu untuk menjemputnya. Pria muda berekspresi sekeras batu itu selalu melakukan tugasnya dengan baik, bahkan di usianya yang tak begitu jauh berbeda dengan Pangeran sendiri―dia adalah pelayan yang patut dijadikan sebagai model. Tak salah jika dia menjadi favorit keluarga kerajaan. “Tuanku, pelajaran violin akan dimulai sepuluh menit lagi,” ucap Nikolai dengan suara datarnya, kepalanya tak berhenti menunduk untuk menunjukkan rasa hormat.
Pangeran Lev memberikan sebuah senyuman terakhir padaku sebelum dia pergi, berbisik sekali lagi padaku bahwa dia tidak menyukai pelajaran musik.
.-.-.-.
Pangeran Lev adalah putra ketiga Raja Agung Ivan. Dibandingkan dengan kedua saudaranya, dia adalah yang terlemah, oleh karena itu dia tidak terlalu disukai oleh Raja. Raja Ivan memfavoritkan kedua pangeran yang lebih tua, yang tangguh dalam berperang dan beradu pedang. Walaupun demikian, semua jendral dan panglima mengetahui kekuatan dan sifat alami Pangeran Lev dalam memimpin.
Di usianya yang baru empat belas tahun, Pangeran Lev dibawa menuju medan perang untuk melawan tentara kesatria Teutonic. Tidak seperti kedua pangeran yang sangat dibanggakan Raja, Pangeran Lev bekerja dengan strategi dan kecerdasannya. Ia menggunakan strategi mundur dan bertahan yang terlihat sangat pengecut namun terbukti sangat cemerlang. Dia berhasil mengalahkan tentara yang paling ditakuti di barat dengan menggiring mereka masuk ke dalam hutan di tengah musim dingin dan menghancurkan mereka hingga tidak ada yang bisa lolos hanya dalam satu hari. Kecepatannya dalam pengambilan keputusan dan kecerdasannya-lah yang membuatnya disegani oleh para jenderal, walaupun Raja sangat tidak menyukainya dan menghukumnya karena menarik pasukan untuk mundur.
Semenjak kejadian itu, Pangeran Lev tidak lagi dilibatkan dalam peperangan, walaupun kerajaan berhasil memukul mundur pasukan Teutonic, Pangeran Lev tetap tidak disukai oleh keluarga kerajaan. Kini kerajaan telah aman, pakta perdamaian dengan negara-negara barat dan utara telah dibuat, dan serangan kaum barbar dari timur selalu berhasil kami hentikan. Perdamaian yang begitu panjang ini telah membuat kami melupakan tahun yang terus berganti, terlalu aman dan damai negeri ini hingga kami semua lupa derita yang dialami di masa perang, bahkan aku sebagai seorang prajurit pun sudah melupakan bagaimana kerasnya peperangan.
Namun hanya satu orang yang masih bertingkah layaknya esok hari adalah awal peperangan yang baru: Pangeran Lev.
.-.-.-.
“Grisha!”
Jendral Fyodor Karakov memanggilku dengan suara lantangnya. Tubuhnya yang tinggi besar terlihat menjulang bahkan ditengah-tengah keramaian sekalipun. Dia adalah teman dekat ayahku sebelum kematiannya, meskipun begitu aku tidak biasa untuk bersikap sopan kepadanya. Sifatnya yang begitu bebas membuatnya mudah akrab dengan semua orang. “Hendak pergi kemana kau di tengah hari seperti ini?”
Aku nyaris mengabaikannya, namun kupikir sangat tidak sopan untuk tidak menjawabnya. “Aku hendak menuju ruang hiburan,” sahutku.
“Bermain lagi dengan Pangeran Lyovochka?”