Tidak pernah sekalipun desa sekacau ini.
Kepulan sulang raksasa menari-nari ditiup angin, menutupi mentari yang baru saja tergelincir sedikit dari puncak takhtanya. Rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu kini rata dengan tanah―terinjak, terbakar, dan tergeletak begitu saja bagai jerami yang tertinggal sehabis masa panen. Sawah-sawah yang hijau kekuningan pun habislah sudah, yang tersisa hanya pematang dan bekas payanya yang hitam saja.
Penduduk desa berlari lintang pukang, berhamburan bagai semut-semut yang kehilangan sarangnya. Di tengah kekacauan itu gema suara pemuda berteriak-teriak terdengar lantang, tak sedikit pula suara wanita yang menjerit-jerit, dan juga suara anak-anak terisak kencang-kencang bersahut-sahutan.
Semuanya kacau balau, sudah tidak keruan, menghantam habis kedamaian desa yang terkenal asri dan tentram ini.
Aku pun turut berlari bagai orang buta di tengah keramaian. Berkali-kali aku tersandung dan terjatuh, namun entah mengapa aku dapat berdiri dan kembali berlari layaknya orang kesurupan, menabrak orang-orang di kanan-kiri yang tak kuacuhkan sedikitpun seperti apa rupanya. Yang dapat kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya aku keluar dari lubang neraka ini, otakku sudah berhenti berlogika untuk dapat menghentikanku.
Sudah kulupakan segala tentang rumahku―rumah bobrok berdinding tepas yang sudah kutinggali sejak aku masih bayi―dan segala hal yang seharusnya menjadi kenangan hidupku bersama orang tuaku. Di dalam benakku yang ada hanyalah gema kosong genderang detak jantungku, berkali-kali “aku tidak ingin mati di sini” terbayang, membawaku lari tunggang-langgang mengikuti insting liar di dalam diriku.
Padahal masih jelas teringat pagi itu di dalam kepalaku―pagi di mana desa masih baik-baik saja, dan kehidupan berjalan normal seperti biasa.
Kala itu aku tengah merenung sembari duduk di atas dipan, memandang langit yang cerah dan orang-orang desa yang sibuk membasahi sawah. Aku masih ingat pagi itu aku tengah termangu dan memikirkan tentang masa depanku, tentang kelanjutan hidupku. Sebagai anak buruh tani yang tak punya apa-apa, tentu saja aku kebingungan mencari cara untuk terus menyambung hidup. Orang tuaku yang telah meninggal lebih dari setahun yang lalu tak meninggalkan sedikit pun harta untukku, yang tersisa dari mereka hanyalah piutang dan rumah gedek yang bobrok ini.
Aku tak punya tanah, aku tak pernah bersekolah, dan aku pun tak punya modal untuk berusaha sendiri. Hidupku benar-benar kuhabiskan dengan mencangkul sawah orang, banting tulang hanya untuk mendapat sesuap nasi, kemudian meratapi nasib di malam hari, persis seperti yang selalu kedua orang tuaku lakukan. Benar-benar bagaikan buah jatuh dari pohonnya diriku ini.
Pernah aku berpikir untuk bunuh diri saja. Toh percuma aku hidup dalam kesusahan seperti ini, tidak akan ada satupun orang yang peduli jika aku mati. Toh aku tidak akan sanggup berada dalam kesusahan seperti ini. Namun seketika pikiran itu datang, seketika itu pula aku langsung menangis tersedu-sedu.
Aku masih ingat kata-kata ibuku, aku masih teringat nasihat terakhir ayahku.
“Belum waktunya.”
“Janganlah menyerah.”
Kedua kalimat itulah yang menjadi harapan orang tuaku, membuat mereka bersusah payah untuk terus membesarkanku. Aku pun tidak ingin menyia-nyiakan apa yang telah orang tuaku pertahankan, aku pun belum sempat berbakti dan membalas budi mereka. Oleh karena itu aku tidak boleh mati sekarang, aku harus tetap hidup untuk membuat mereka tersenyum dari sana, sekeras apapun cobaan Tuhan.
Ketika pikiranku asyik melanglang buana, tiba-tiba suara ribut terdengar lantang dari kejauhan. Semua orang yang berada di sawah tertegun, termasuk diriku yang langsung menoleh pada sumber keributan yang masih tak tampak sejauh mata memandang. Kemudian dari jauh terlihat asap hitam mengepul bagai segaris tinta di atas kanvas, menodai langit biru yang cerah tanpa awan.
“Api! Api!”
Teriakan di antara kebingungan itu kini terdengar bagai galaganjur perang, gemanya terus bersahut-sahutan hingga jauh ke pinggir desa. Para petani mulai panik dan bergegas keluar dari sawah mereka, wajah mereka jelas-jelas penuh tanda tanya.
Lalu bagaikan ombak yang bergulung di tepian pantai, orang-orang yang membawa parang berlarian, menyapu rumah-rumah penduduk yang malang bagai orang kesurupan. Mereka menebas apapun yang menghalangi, tidak terkecuali bayi-bayi yang tak berdosa. Rumah-rumah dihancurkan, dibakar secara tidak manusiawi, kemudian mereka berpindah ke sawah di sekitar, mengubah desa ini menjadi lautan api.
Kala itu aku masih bergeming di tempatku, masih tidak mengerti pemandangan yang terjadi di depan mataku. Aku tersentak ketika para petani berteriak, “Perang! Perang!” dan aku tidak ingat kakiku telah berlari menjauh dari rumahku.
Napasku terasa berhenti di tenggorokan, paru-paruku terasa terbakar saat aku berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sembari berlari bagai orang kesetanan. Pikiranku kalut, aku tak dapat berpikir dengan lurus. Aku masih berlari tanpa tujuan yang jelas, menghindari pertikaian dan kekacauan yang terlihat di depan mataku―karena yang terpenting bagiku adalah menjauh sejauh-jauhnya dari orang-orang sinting yang mencoba membunuhku. Kakiku terasa letih, namun aku menolak untuk berhenti, hingga yang kurasakan hanyalah sensasi senyar yang menjalar dari tungkaiku.
Ketika aku berbelok melewati pekarangan rumah seorang petani yang tak kukenal, aku langsung berhenti dan cepat-cepat berputar arah. Sandalku putus akibat pergerakanku yang tiba-tiba dan kutanggalkan alas kakiku itu begitu saja, berlari dengan kaki telanjang bagai orang gila. Adrenalinku memacu diriku untuk bergerak lebih cepat, berpacu melawan orang-orang pembawa parang yang kian membabi buta.
Rupanya desa telah dikepung orang-orang gila.