Innenseite

Ei
Chapter #6

The Signum Cafe

Aku bergeming―menatap dengan tajam.

Sedangkan ia masih melipat kedua tangan di depan dada, dagunya diangkat dengan angkuh, ditambah tatapannya yang meremehkan. Ia masih tak mau angkat suara, masih bergeming di tempatnya―begitupula denganku yang meniru, menantangnya.

Sandi berdeham hanya satu kali, tampaknya tengah mencoba memecahkan keheningan yang mencekam di antara kami. Pemuda bermata sipit itu tersenyum lebar, kedua matanya kini tampak seperti sepasang garis bulan sabit yang tipis. “Jadi, bagaimana?” tanyanya, tanpa basa-basi lagi, ekspresi penuh harapnya ditujukan pada pemuda angkuh di hadapanku. Sedangkan Reihan hanya mendengus pelan, terlihat sangat kesal.

“Kau tahu, itu salahnya sendiri. Kau tidak perlu membantunya, San.” Ujar Reihan dengan suara tenornya yang menyebalkan. Ia melemparkan tatapan benci padaku satu kali, sebelum pada akhirnya kembali menatap Sandi yang duduk di sampingku.

Sandi mendesah kecil, sudah lelah dengan sikap kekanakannya. “Oh, ayolah, Rei .... Kita ‘kan teman?” ucapnya, dengan ‘pwease~’ yang menggantung di udara, tak terucapkan. Aku belum pernah melihat Sandi seperti ini sebelumnya―penuh determinasi dengan mata bagai anjing terlantar, dan pipi menggembung seperti tupai.

Oh, ya, aku hampir lupa―kapan terakhir kali Sandi bisa bersikap normal?

Reihan masih menggelengkan kepalanya pelan, menolak permohonan sahabatnya sendiri. Walaupun begitu iris kastanya gelapnya menatapku penuh kalkulasi, seperti tengah menimbang ulang keputusannya sendiri. Masih ada kilat kebencian di matanya―dan akupun membalasnya dengan tatapan yang sama, tidak lebih maupun tidak kurang. Sedetik kemudian kedua sudut bibirnya tertarik ke bawah, dan Reihan kembali membuka suara, “Setidaknya dia sendirilah yang memintaku untuk membantunya―bukan kau.”

Aku nyaris melonjak dan berteriak di depan wajahnya, jika saja Sandi tidak mendahuluiku dan berseru, “Oh, Tuhan! Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!” dengan suaranya yang menggelegar. Sandi langsung menoleh padaku dengan kecepatan yang seharusnya dapat mematahkan lehernya seketika, matanya menatap lurus padaku, penuh tuntutan. “Ayo, Eri! Cepat bujuk dia!” Katanya, seolah-olah itu adalah hal yang paling mudah sedunia.

“Hah?” tanyaku, terdengar sangat payah―namun aku tidak peduli. Sandi menatapku dengan tatapan tajam, menuntutku untuk segera melakukan apa yang diinginkannya. Aku berjengit dari tempat dudukku, “Apa? Aku tidak akan mengatakannya. Aku bahkan tidak butuh bantuannya!” ujarku dengan keras, membuat Sandi terkejut mendengarnya. Sandi kembali membuka mulutnya untuk menceramahiku.

“Lihat? Kau seharusnya mendengarkan kataku, San ....” Sela Reihan tiba-tiba, menatap Sandi dengan tatapan ‘sudah-kubilang’-nya. Pemuda berkacamata full-rim itu langsung bangkit berdiri dari kursinya, meletakkan beberapa lembar uang di samping cangkir kopi yang tinggal setengah isinya di atas meja. “Aku tidak akan membantu siapapun yang bahkan tidak butuh bantuanku,” tambahnya lagi, berbalik dan pergi tanpa sepatah katapun setelahnya.

Sandi membatu, tak sempat untuk menghentikannya ataupun memanggil namanya dengan ekspresi yang komikal―setengah bangkit, setengah duduk dengan sebelah tangan yang terulur panjang-panjang bagai orang bodoh di tengah keramaian. Aku hanya dapat mendengus sebal, dan memutar bola mataku, berhasil menggagalkan rencana teman di sampingku ini. Sedangkan Sandi langsung mengalihkan perhatiannya padaku, matanya menatap dengan penuh amarah.

“Apa yang telah kau lakukan, Eri?!” tanyanya setengah memekik frustasi. Aku hanya dapat mengangkat kedua bahuku, lalu bangkit berdiri setelah meletakkan beberapa lembar uang di samping gelas tinggi yang isinya hampir habis, lalu menyampirkan tasku di sebelah bahuku. Kemudian aku melenggang pergi begitu saja, tidak mengacuhkan panggilan penuh kekesalan Sandi di belakangku.

Para pujangga berkata: “Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.

._._._.

Sudah kukatakan, bukan?

Aku membenci nada suara yang digunakan Sandi saat ia mengatakannya. Aku tahu itu salahku untuk tidak menerima tawarannya waktu itu, tapi aku tetap tidak menyukai bagaimana dia mengatakan kata-kata itu untuk saat ini. Sandi terus mengeluh tentang bagaimana ia sudah berusaha untuk membantuku walaupun aku tidak pernah mengapresiasi usahanya sekalipun, membuatku sebal setengah mati padanya.

Aku mendecih kecil. “Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanyaku, mengehentikan celotehnya sebelum ia mulai membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Aku dapat mendengar dengusannya, sebelum Sandi turut berbicara dengan nada kesal.

Itu masalahmu. Aku tidak akan membantumu lagi.” Ujarnya, merajuk.

“Hei ... bukankah kau berkata kau akan membantuku?”

Itu sudah tidak berlaku lagi. Kau tidak menghargai usahaku!

“Oke, oke!” seruku, entah mengapa turut terbawa emosi. “Itu salahku. Maafkan aku. Sekarang bantu aku. Oke?”

Sandi menggumam panjang di seberang sana, suaranya bergema seperti dengungan lebah. “Entahlah. Mungkin kau bisa minta bantuan Reihan―kalau dia masih bersedia. Tapi kau harus berusaha sendiri untuk itu.” Sarannya, dan walaupun aku tidak berada di hadapannya saat ini, entah mengapa aku dapat melihat senyum lima jarinya yang menyilaukan. Aku kembali mendecih, tidak menyetujui sarannya.

“Tidak adakah orang selain Reihan di kepalamu?” tanyaku, kesal.

Sandi tertawa keras sekali, sebelum pada akhirnya berhenti tiba-tiba. “Tidak ada yang lebih baik daripada murid teladan seperti dia,” ujarnya serius, nadanya tidak bercanda. Dahiku berkedut tak nyaman mendengarnya, mendongkol entah mengapa. Saat aku hendak mengajukan argumenku, Sandi mengembuskan napas keras-keras, sepertinya sudah habis kesabarannya untuk menghadapiku. “Sudahlah, jangan banyak beralasan. Datangi Rei dan minta bantuan padanya.” Ucapnya ketus. Bersamaan dengan itu, ia menutup panggilan dengan kejam.

Aku hanya dapat memandangi layar ponselku layaknya orang idiot, suaraku sudah di ujung tenggorokan untuk meneriaki teman bermata sipitku itu. Namun aku menyerah dan melemparkan ponselku begitu saja di atas ranjangku―tidak terlalu keras, tentu saja. Akupun mulai berjalan, berputar-putar di tengah kamar, dengan sebelah tangan mencubit dagu, dan pikiran kosong melompong. Saat aku memulai putaran kelima, aku menyerah untuk berpikir lagi.

Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain ....

._._._.

Saat aku tengah mencari Reihan, pemuda itu ternyata tengah duduk di antara kursi kosong perpustakaan fakultas, dengan mata yang fokus pada layar laptop, dan ekspresi super serius khasnya. Aku seharusnya tahu untuk mencarinya ke tempat ini terlebih dahulu, sebelum berputar-putar mengelilingi satu fakultas hanya untuk mencarinya. Aku langsung mendekat kepadanya, berdiri tepat di belakangnya tanpa bersuara, bingung untuk menarik perhatiannya.

Namun ia malah mengagetkanku saat ia bertanya, “Apa maumu?” dengan nadanya yang ketus. Aku hanya dapat mengembungkan pipiku, enggan untuk menyatakan keperluanku. Reihan tetap tak beralih dari laptopnya, dan saat aku mencuri pandang pada apa yang tengah ia kerjakan, aku hanya disuguhi dengan tulisan penuh berbahasa Inggris yang memusingkan.

Sepertinya ia tengah sibuk dengan lomba esai, atau apa.

Aku bimbang memintanya untuk membantuku sekarang. Sebenci apapun aku padanya, aku tetap tidak ingin merepotkannya.

“Cepat katakan apa maumu. Aku tidak punya waktu untuk bercanda, kau tahu ....” ketusnya lagi. Tidak sekalipun ia beralih dari layar laptopnya, dan tidak sekalipun tangannya berhenti mengetik dengan cepat. Aku hanya dapat mendengus kesal, percuma untuk membalas ucapannya untuk saat ini.

“Aku ingin kau membantuku lulus kelas Kalkulus ....” sahutku, menjawab pertanyaannya.

Reihan mendelik dari sudut matanya, terlihat menunggu sesuatu dariku. Aku hanya dapat menautkan kedua alisku. “Apa?” tanyaku ketus, tidak mengerti apa yang ia inginkan. Reihan mengembuskan napas panjang, terlihat sangat lelah hanya untuk berhadapan denganku. Ia menatapku dengan tatapan bosan. “Kau tahu bagaimana caranya meminta bantuan seseorang lebih baik dari itu, bukan?” tanyanya, retorik. Aku mengembungkan pipiku, enggan mengucapkannya―membayangkannya saja terasa sangat sulit bagiku.

“... kumohon?” gumamku lirih, entah mengapa terdengar ragu-ragu, dan nyaris tak terdengar.

Sudut bibir Reihan berkedut hanya sekilas, namun jelas sekali ia tadi ingin tersenyum atau bahkan tertawa. Aku menatapnya dengan tatapan tajam, masih menggembungkan pipiku dengan kesal. Aku hendak membentaknya, namun ia menutup laptopnya, lalu bangkit berdiri dan melenggang pergi begitu saja.

“Temui aku di kafe Signum hari Rabu, pukul tiga ...” ucapnya tiba-tiba, tanpa menoleh maupun berhenti berjalan. “Jangan sampai terlambat,” tambahnya lagi, tangan kirinya terangkat untuk memberikan sebuah lambaian singkat padaku.

Ia sudah menghilang di antara rak-rak buku yang tinggi, dan mungkin saja sudah sampai di pintu depan saat aku baru menyadari maksud perkataannya. Entah mengapa jalannya begitu cepat―sama sekali tak memberikan kesempatan orang lain untuk menghentikannya atau apa. Akupun hanya dapat menghela napas panjang, dan menghembuskannya keras-keras.

Rabu pukul tiga ....

.... Semoga saja aku tidak lupa.

._._._.

“Kau terlambat.”

Sial.

Aku meletakkan tasku di bawah lantai dengan tergesa-gesa, duduk di hadapannya dengan mudah, dan balas menatapnya. “Maaf, aku lupa.” Ujarku singkat. “Aku masih harus mengerjakan tugas lain, dan aku tidak tahu bahwa ini sudah lebih dari pukul tiga.” Tambahku lagi, beralasan.

Lihat selengkapnya