Makhluk Supernatural dan manusia. Dua spesies yang saling hidup dengan rukun, secara teori. Kenyataannya? Tak banyak manusia yang menyambut kami. Hanya karena sejarah yang tertulis dalam buku, dan mulut ke mulut manusia. Dua ratus tahun telah berlalu sejak manusia memerdekakan kaumnya, memaksa para makhluk supernatural turun dari tahtanya.
Sekarang, manusia menjadi pemilik kehidupan. Makhluk Supernatural telah tersingkir jauh. Meski begitu, dendam manusia masih terlampau besar hingga memberikan kehidupan yang sama sekali tidak adil bagi mereka. Hukum yang lebih cenderung main hakim sendiri, dan perlakuan tidak mengenakkan, membuat mereka menyembunyikan identitas. Hanya perjanjian para dewan yang menahan manusia melakukan genosida.
Praktik itu pun masih begitu kental di Black Pearl. Kota kecil yang sama seperti wilayah lain di seluruh dunia. Dengan bentangan laut tak berujung di sisi barat, dan tembok kokoh hutan di sisi lainnya. Hanya jalan panjang yang menghubungkan kota dengan wilayah lain. Secara teknis, Black Pearl adalah sebuah kota yang menyenangkan. Kalau saja kau adalah manusia.
Sementara aku, Amalia Nevinov, sebagai satu-satunya penyihir yang menunjukkan diri, hampir semua mata menatapku mencemooh. Hampir ....
Dering ponsel itu tak kuhiraukan. Akan tetapi suara dalam keremangan dan keheningan di tengah kabin terpencil ini, mengganggu lelaki yang tengah duduk tegak dengan gugup, dengan aku berada di pangkuannya.
“Ponselmu,” katanya lirih. Aku mengabaikannya, membawanya ke dalam ciuman, tetapi tangannya mendorongku mundur. Aku mendesah, Hendri dan kepengecutannya. “Kau harus mengangkatnya.”
Di layar ponsel, nama Karen tercetak, kemudian menghilang ketika aku menekan tombol tolak. Hendri menatap menuntut.
“Hanya Karen.”
“Kau harus mengangkatnya.”
“Tidak penting.”
Sekali lagi Hendri mendorongku ketika aku hendak mengambil langkah. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah, dan anehnya gugup. Bukan gugup yang sama dengan lelaki yang malu-malu, tetapi sesuatu yang berbeda. Seolah kegugupan itu mendesakku untuk segera mengangkat telepon.
“Aku tahu kalian bertengkar.” Itu adalah kalimat yang sama sekali tak kusangka. Sehingga aku memilih untuk berdiri, sembari menyibak rambutku ke belakang. Hendri mendongak cepat, tetapi aku tidak sempat melihat ekspresi apa yang ia tunjukkan di sana. “Amalia?”
Ada sepuluh panggilan dari Karen dan satu panggilan lagi. Aku mendengkus, lalu mematikan ponsel, sebelum menyimpannya ke saku. Hendri menatap bingung. Lagipula suasana ini sudah benar-benar kacau, aku tidak akan sudi bermalam dengan lelaki pengecut yang terlalu berpikir pada apa pun. Akan tetapi, aku juga tidak ingin kembali ke rumah karena Karen yang pasti menunggu. Seperti yang akan dia lakukan di setiap pertengkaran kami.
“Kenapa kau mematikannya?”