Joshua menghentikan mobilnya tepat di depan pagar pemakaman, tetapi tidak segera membuka pintu. Aku tahu dia ragu. Sepanjang jalan dia mencoba membujukku untuk mengurungkan niat, tetapi kami semua tahu tidak ada pilihan lain.
“Hanya dia yang tahu tentang hutan di Black Pearl,” desahku untuk kesekian kalinya. “Kita tidak bisa gegabah. Bila kita masuk ke hutan begitu saja, bisa jadi kita bertemu para Serigala.”
Joshua menatap mataku. Dia mencoba mencari-cari keraguan yang pasti tengah menyala-nyala di sana. Aku tahu pilihanku. Makhluk itu disebut yang terburuk bukan tanpa alasan. Dia adalah bedebah paling licik yang pernah kami temui. Makhluk paling kuno yang mendiami kota ini. Dia bahkan sudah hidup sebelum Perjanjian Perdamaian dibuat, membuatnya praktis menjadi bagian dari hierarki perbudakan dua ratus tahun yang lalu. Aku meneguk ludahku. Samar-samar aku bisa melihat bayangannya di bawah pohon.
Namun ini tetap lebih baik daripada pergi ke hutan tanpa mengetahui apa pun. Kami tidak tahu sampai dimana teritori para Serigala, dan mereka takkan pernah melepaskan kami begitu memasukinya. Para Serigala begitu protektif terhadap wilayahnya. Joshua mungkin bisa dilindungi Perjanjian Perdamaian, tetapi aku? Salah-salah aku akan terbunuh.
“Ayolah, Joshua!” gertakku tak sabar.
“Bila dia mengajukan perjanjian tolol, kita mundur. Aku tidak menerima penolakan lain.”
“Okay.” Itu bohong, tetapi cukup untuk meyakinkan Joshua.
Kami keluar, gerbang pemakaman yang suram dan cahaya matahari yang menghilang membuat tempat ini begitu menakutkan. Suara gagak menggema dan hanya bulan yang menerangi kami. Pagar besi itu reot di makan usia, bau karat mengambang di udara, dan dingin menusuk tulangku. Baik dari salju yang turun, serta angin yang membuat gerbang dengan sebelah engsel itu berkeriak, atau rasa bersalah dan ingatan tentang bagaimana tanah Karen masih basah di dalam sana.
Joshua melingkarkan syal pada leherku yang telanjang. Ketika mendongak aku bisa melihat hidungnya memerah begitupula telinganya. Syal miliknya terpasang padaku. Begitu aku hendak melepasnya, dia semakin mengikatnya bagai simpul mati.
“Gunakan saja!”
“Aku Penyihir Es,” desahku, tetapi tidak memberontak lebih jauh. Kemudian kelenyar keberadaan makhluk lain menggantung di langit-langit dadaku. Aku menatap ke dalam Pemakaman dan berkata, “Aku tahu kau di sana Vynnias.”
Makhluk itu keluar dari bayang-bayang, seperti kucing yang bergerak tanpa suara. Tidak ada gemersak atau suara lembut sepatu bot yang melesak di antara salju. Para gagak membisu, hilang ditelan keberadaannya yang ganjil. Campuran dari kebuasan dan keanggunan yang takkan pernah bisa dimakan usianya.
Vampir. Aku meneguk ludahku. Meskipun telah berkali-kali bertemu dengannya berada begitu dekat dengan Vynnias selalu membuatku ingin lari. Pergi dan melupakan apa pun yang membuatku harus berhubungan dengannya. Ada bahaya yang menguar dari pori-pori kulitnya yang pucat. Terlalu pucat hingga garis-garis kebiruan itu terlihat jelas bagai anak sungai.
Matanya memancarkan sorot yang menakutkan, campuran antara kegilaan dan keanggunan yang aneh. Pupilnya tipis, seperti kucing, berwarna merah yang menyala-nyala. Seperti seluruh aliran darahnya mengumpul di sana. Surainya yang perak tertutup beberapa salju yang kemudian jatuh begitu saja ke tanah. Tubuhnya jakung, lebih tinggi daripada Joshua dan lebih kecil hingga menyerupai sebuah tongkat berjalan. Tongkat dan menakutkan, sekaligus mempesona di saat yang bersamaan.
Aku tak bisa menepis itu. Sesuatu yang agung dan indah berjalan bersama dirinya yang menakutkan. Campuran yang terlalu mematikan. Wajahnya yang seperti cetakan porselen, tajam di dagunya, dan mancung di hidungnya. Giginya menyembul di antara bibirnya yang penuh. Pucat, tetapi begitu menggoda untuk disentuh. Aku mengalihkan perhatianku pada jaket kulit hitamnya yang panjang dan celananya, serta kakinya yang tak beralas. Salju tak bisa membekukannya, hanya matahari yang mampu membakarnya.
“Aku bertanya-tanya kapan kau akan kemari, Amalia.”
Seperti semua vampir yang begitu menggoda bagi mangsanya, suara Vynnias tak ubahnya lantunan lagu yang memabukkan. Seperti Siren bagi penghuni daratan. Joshua meremas bahuku. Dia menyentakku kembali pada kesadaran. Bila manusia begitu terpikat, para penyihir yang lebih peka terhadap kharisma mereka akan tergila-gila. Bentuk sihir yang lebih tua dan hanya ada di dalam racun vampir.
“Kau sudah mendengarnya,” balasku. “Kau tahu apa yang terjadi.”
Vynnias mengulum mulutnya menjadi senyuman kecil yang menunjukkan bela sungkawa. “Temanmu dimakamkan di sini,” katanya. Tangannya yang panjang melambai pada sisi makam. “Aku selalu menikmati setiap tubuh yang memasuki liang lahat.”