Innocent

Strifer Saviour
Chapter #1

Pertemuan

Malam yang dingin di sebuah hutan lembap. Pepohonan rimbun ditempeli tetesan air. Sinar rembulan menampakkan seekor Litera, rusa bertanduk perak tengah merumput. Zael yang sedari tadi mengintainya dari balik pohon kini perlahan mengeluarkan sebilah pisau bersinar keperakan dari pinggang kanannya. Memegangnya dengan ujung mata pisau menghadap ke bawah. Dia melangkah dengan hati-hati ke arah hewan buruannya.

Sial baginya, kaki Zael menginjak ranting pohon yang jatuh. Litera yang menyadari hal itu langsung melarikan diri. Kini tinggal Zael seorang diri yang memandanginya dengan kesal.

“Sial, buruanku lepas,” celotehnya. Dia menyarungkan pisau kembali dan pergi dari tempat itu. Suara hewan-hewan malam seakan menjadi pengiring langkahnya. Dia berjalan dengan lemas menjelajah hutan, mencari tempat untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah sungai yang mengalir tenang sehingga bayangan rembulan nampak jelas di permukaannya. Zael tertarik untuk beristirahat di sini.

“Kelihatannya tempat ini bagus,” gumamnya.

Zael memunguti satu persatu ranting-ranting pohon yang jatuh ke tanah. Dia berniat membuat api unggun untuk menghangatkan tubuhnya. Dalam sekejap, ia sudah menggenggam sekitar sepuluh ranting seukuran tombak.

Mungkin ini cukup untuk satu malam, bantinnya.

Dia segera menata ranting-ranting itu pada posisi melingkar. Kemudian mengeluarkan dua buah batu berwarna hitam dari saku celananya. Rupanya itu adalah flint yang dia dapatkan siang tadi di dalam gua.

Zael membenturkan kedua batu berlawanan arah. Gaya gesek antara dua batu itu menghasilkan panas. Dan lalu menimbulkan percikan api. Sayang, percikan itu tak cukup untuk membakar ranting. Dia tak putus asa. Pemuda berambut biru itu terus membenturkannya berkali-kali.

“Ayolaah, menyalalah! Menyalalah! Menyalalaaah!” teriak Zael geram. Dia berhenti sejenak karena kedua lengannya terasa pegal. Setelah mulai pulih, dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan lalu melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi.

“Akhirnya!” ucap Zael girang padahal napasnya tersenggal-senggal karena kelelahan. Ranting-ranting itu kini sudah terbakar. Lantas meniupnya kuat-kuat agar bara tak padam. Ia menambahkan ranting lagi agar lebih tahan lama.

Dia duduk bersandar pada sebuah pohon. Mengarahkan mata yang berwarna langit ke kobaran api. Sehingga maniknya terlihat bak terbakar

Setelah mencari makan dan kelaparan seharian, rasanya aku benar-benar mengantuk sekarang, pikirnya.

“Tolooong!!!” Teriakan seorang gadis melenyapkan kantuk Zael.

Teriakan itu serasa menusuk telinga. Membuat kelopaknya yang menutup sejenak terbuka kembali. Dia segera berlari ke sumber suara. Zael harus melewati lebatnya pohon dan rimbunnya semak hingga akhirnya dia tiba di dasar tebing sebuah ngarai.

Zael menyembunyikan tubuhnya di sebongkah batu besar di samping tebing tinggi seraya mendengar percakapan antara seorang gadis bergaun kuning dan biru serta dua lelaki berambut hitam pendek dengan pedang tersarung di pinggang.

Ular dan pisau? Apa mereka kelompok bandit? Batin Zael ketika melihat simbol ular hitam yang melilit punggung baju kedua prajurit yang berwarna hitam.

“Dasar bodoh! Di tengah hutan tak ada yang bisa mendengarmu,” ucap salah satu bandit.

“Lebih baik kau menyerah dan tunjukkan tubuhmu yang indah itu pada kami,” saran bandit satunya sambil tertawa bengis.

“Lebih baik aku mati,” tolak sang wanita dengan berani.

 Zael memungut ranting pohon sepanjang 2 meter yang tak jauh darinya. Dia meruncingkan salah satu ujungnya dengan pisau sehingga membentuk sebuah tombak kayu.

“Tapi sayang sekali jika wanita secantik kau mati,” ujarnya seraya mendekati si gadis.

“Menjauhlah dariku, bajingan!

“Tenanglah, kami akan bersikap lembut padamu.”

Sebuah pisau terbang melayang. Berputar-putar secara vertikal diudara sebelum akhirnya bersarang di leher pria yang mendekati si gadis. Tak menunggu lama, tubuh sang bandit roboh lunglai bak pohon pisang yang ditebang. Darah segar memancar dari nadi lehernya.

Bandit satunya menoleh dan memutar tubuhnya ke segala arah. Berharap menemukan dalang dari kejadian barusan.

“Tunjukkan dirimu! Jangan menjadi pengecut!” teriaknya seraya menarik pedang yang sebelumnya tersarung rapi di pinggang kirinya.

Zael berlari memegang tombak kayu tadi dengan ujung runcing berada di depan. Karena jarak antara mereka tak terlalu jauh, serangan tiba-tiba yang dilancarkan Zael berhasil dengan cepat. Tombak kayu buatan Zael berhasil menembus baju yang melekat di tubuh sang bandit tanpa kesulitan.

“Bajingan! Siapa...kau?” cerca sang bandit tersenggal.

“Hanya seekor burung yang tersesat dan tak memiliki sangkar maupun tuan untuk kembali,” jawab Zael tanpa melepas tusukannya.

“Ssssi..a..lan.. kau!” cercanya lagi sebelum akhirnya tewas dengan luka tikaman tepat di jantung serta ranting yang masih menancap di dadanya.

“Maafkan aku. Andai saja kau tak melakukan tindakan ini, mungkin kita bisa bertemu tanpa harus saling membunuh.”

Zael mencabut pisaunya yang menancap di leher salah satu prajurit. Mengelap darah yang menempel dengan kain celana musuhnya.

Si gadis yang baru ia selamatkan mendekati Zael sedikit demi sedikit.

“Anu... terima kasih,” ucap si gadis lirih.

Zael yang membelakangi si gadis perlahan menoleh ke belakang. Lalu berdiri. Kini mereka saling berhadapan meski jarak mereka cukup jauh.

“Syukurlah jika kau tak apa-apa,” ujar Zael ikhlas menghela napas.

Suasana hening beberapa saat. Mereka berdua sama-sama merasa canggung. Malam makin dingin. Si gadis memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuh.

Ayolah, Zael. Ajak dia ke tempatmu. Ya ampun aku canggung sekali. Ini pertama kalinya aku bicara berdua dengan seorang gadis.

“Mmm… aku punya api unggun di sebelah sana. Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu ke sana.”

Lihat selengkapnya