Zael POV
Malam itu bulan purnama. Aku adalah seorang koki istana bagi kerajaan Iztonia.
Beberapa saat lalu Raja Ageis memintaku untuk memasakkan sesuatu dari organ serigala.
Sebagai koki aku tak punya kewenangan untuk menolak permintaan dari sang raja.
Aku memasak di dapur yang terletak di lantai dua istana. Total ada 4 empat lantai. Lantai pertama terdiri dari singgasana raja dan pemandian air panas. Lantai kedua adalah ruang perpustakaan, dapur, dan tempat para jendral dan pegawai istana lain beristirahat. Lantai tiga merupakan ruangan pertemuan untuk rapat dan semacamnya. Sementara lantai empat yang merupakan puncaknya adalah ruang pribadi raja dan keluarganya. Karena Raja Aegis belum menikah, jadi lantai puncak hanya dihuninya sendiri.
Setelah masakanku siap, aku mencicipi rasanya sebelum dihidangkan ke Raja Ageis.
“Mmm... sempurna,” pujiku sembari memejam setelah mencicipi masakanku sendiri.
Aku berjalan dengan hati-hati karena memegang nampan berisi hidangan organ serigala dan segelas air, jadi tak bisa berjalan cepat.
Ini adalah bagian yang paling kubenci, berjalan membawa hidangan dari lantai kedua ke lantai empat. Aku harus sangat berhati-hati. Kesalahan kecil saja bisa membuat masalah yang besar. Aku berharap perjalanan dari dapur ke kamar raja tak sesulit ini.
Keteguhkan hatiku, menatap tajam ke puncak tangga.
Bukan waktunya mengeluh. Raja Ageis sudah berbaik hati mau menerimaku di istananya. Aku tak boleh mengecewakannya, ucapku dalam hati.
Aku adalah orang baru di kerajaan. Baru kemarin lusa raja memintaku untuk menjadi koki istana karena koki sebelumnya telah terlalu tua. Sebelum ini aku tinggal di penginapan yang dibiayai oleh Raja Ageis.
Dengan hati-hati aku memegang nampan sambil berjalan menaiki tangga. Mataku tak lepas memandangi gelas berisi air yang sepertinya akan tumpah.
Sengaja tak kututup gelas itu lantaran akan membeku jika berada di tempat tertutup.
“Akhirnya!” desahku ketika sampai di lantai empat.
Usai melewati sekitardua ratus anak tangga, perlahan melangkahkan kaki menuju kamar Raja Ageis. Ketika berada di depan pintu aku berhenti sejenak untuk mengatur hati dan pikiranku. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Maklum, ini kali pertama untukku memasak untuk Raja dan berhadapan empat mata dengan beliau
Jangan gugup. Kau hanya harus bersikap sopan, itu saja, ucapku dalam hati.
Kuketuk pintu dengan perlahan.
“Permisi. Pesanan Yang Mulia sudah siap,” Ujarku seraya membuka pintu.
Dan betapa terkejutnya aku mendapati Raja Ageis terkapar berlumuran darah. Rambut hitam bercampur uban panjangnya berubah merah lantaran tertutupi darahnya sendiri yang menggenang.
Seseorang berpakaian serba hitam serta berjubah berada di sana. Dia berdiri membelakangiku. Tangannya memegang sebilah pedang aneh. Berwarna ungu, belakang pedangnya dipenuhi duri, mata pedang itu meneteskan darah. Tak cukup di situ. Orang itu juga memakai topeng aneh berwarna hitam yang menutupi seluruh wajahnya, kecuali sepasang matanya.
Saking terkejutnya, nampan yang kupegang jatuh menghantam tanah.
“Apa yang kau lakukan pada Raja Ageis!!!”. Teriakku sambil mengeluarkan sebilah pisau yang tersarung di pinggang kananku.
Tak perlu pikir panjang aku langsung tau bahwa orang itulah yang melakukan ini pada Raja Ageis.
Dengan cepat kutusukkan pisau ke tubuhnya. Sayang, dia sempat menghindar sehingga seranganku yang semula menuju jantung meleset dan mengenai lengan kirinya.
Seketika itu meneteslah darah segar dari bekas sayatanku. Dia kemudian mengangkat pedangnya dan mengayunkannya dengan posisi vertikal. Dengan refleks aku menangkis serangannya dengan pisau milikku.
“Ayo! aku mendengar teriakan dari kamar raja,” ujar seseorang dari luar ruangan.
Mendengar itu, orang itu mendorong pedangnya sehingga tubuhku terhempas beberapa meter. Betapa terkejutnya aku mengetahui kekuatan orang itu.
Setelah menghempaskanku, dia langsung melompat dari balkon istana yang mengarah langsung ke dasar.
“Bagaimana dia melompat dari istana dengan empat lantai?” ucapku heran.
Anehnya, ia seperti hilang ditelan bumi. Tak ada pertanda kehidupan sama sekali. Jika pun dia mati pasti meninggalkan mayat dan bekas darah.
Vorte, panglima tertinggi kerajaan dan beberapa prajurit yang masih berseragam lengkap tiba di kamar raja.
Aku membalikkan tubuhku sehingga posisi kami saling berhadapan berjauhan.
Terlihat dia sangat terkejut mendapati raja yang dihormatinya terkulai lemas bersimbah darah.
“Panglima Vorte, pembunuh raja baru saja...” kataku hendak menjelaskan.
“Tangkap pembunuh itu!” Teriak Panglima Vorte seraya menunjukkan jarinya padaku.
Aku tersentak terkejut. Dua Prajurit istana menarik lenganku dan menyeretku ke sel bawah tanah.
“Tunggu, dengar penjelasanku. Kalian salah paham.”
Sayang, seakan suaraku tak sampai ke telinga mereka. Mungkin mereka mendengarnya tapi berusaha mengabaikan.
Di dalam sel aku duduk tertelungkup.
“Kenapa jadi seperti ini?”
Dari kejauhan terdengar langkah kaki yang berjalan cepat. Makin lama makin dekat. Rupanya itu Panglima Vorte.
Menyadari itu, aku berdiri dan memegangi jeruji besi yang mengurungku layaknya binatang. Aku berusaha meyakinkan Panglima Vorte bahwa aku tak bersalah.
“Panglima Vorte, dengarkan penjelasanku.”
“Tak ada yang perlu dijelaskan,” ucapnya sembari membuka gembok yang mengunci selku
“Syukurlah kau percaya padaku.”