Third POV
“Begitulah kisahku. Entah kau percaya atau tidak,” Pungkas Zael.
Melyra menatap mata Zael yang serupa langit di siang hari. Gadis muda itu tenggelam dalam ceritanya.
“Aku percaya padamu.” Melyra memasang senyum diatas bibir tipisnya.
Di balas Zael dengan wajah bahagia dan mulutnya melebar.
“Semudah itu?”
“Orang sebaik dirimu tak akan melakukan hal seperti itu.”
“Terima kasih,” ucapan Melyra membuat hati Zael merasa damai
Lagi-lagi Melyra tersenyum. Kini lebih lebar dari sebelumnya. Bahkan matanya menyipit.
“Oh, ya. Melyra, dari mana kau berasal?” Tiba-tiba Zael menanyakan sesuatu. Membuat wajah bahagia Melyra sirna. Digantikan mimik datar, munundukkan sedikit wajahnya.
“Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?” Ucapnya seraya memiringkan kepala.
“Aku akan mengantarkanmu pulang,” kata Zael bertekad.
“Tidak perlu. Aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu.”
“Jadi kau ingin aku meninggalkan seorang gadis di tengah hutan sendirian? Bagaimana kalau ada bandit lagi, perampok, atau hewan buas?”
“Kau terlalu khawatir. Lagipula kau adalah orang yang dihukum pengasingan.”
“Memangnya kenapa? Mereka tidak bilang kalau aku tak diijinkan meninggalkan hutan ini.” Zael berucap dalam hati, mereka mungkin hanya berharap aku mati kelaparan di hutan ini.
Entah kenapa Melyra bersikeras tak ingin kembali pulang. Padahal Zael telah membujuknya. Perdebatan kecil mereka mulai membesar. Keduanya tak ingin kalah. Sampai pada akhirnya Melyra menyerah.
“Baiklah. Tapi tak perlu buru-buru,” kata Melyra dengan suara lemas. Mungkin karena tenaganya habis ketika ia berdebat dengan Zael.
“Baiklah, kita istirahat untuk malam ini dan pergi besok,” ucap Zael seraya berbaring di tanah yang terselimuti dedaunan kering.
Melyra berbaring tepat di sebelah Zael. Pemuda berambut biru itu merasa tak nyaman.
“Um... Melyra, tidakkah kita terlalu dekat? Aku ini laki-laki lho.”
“Oh benarkah? Aku percaya kau bukanlah orang yang akan melakukan hal semacam itu jika ada kesempatan.”
“Tetap saja!”
Zael benar-benar gugup. Keringatnya bahkan mulai mengalir, jantungnya bertempo cepat. Ini adalah pertama kalinya dia sedekat ini dengan seorang wanita, apalagi di tengah hutan. Jadi wajar jika ia merasa gugup.
Zael berdiri dan mencari tempat yang sedikit jauh dari Melyra.
Gawat. Jantungku terus saja berdetak kencang. Rasanya seperti akan meledak.
Ketika Zael mulai tenang, dia langsung menutup mata dan berharap giliran mimpi indah yang akan didapatnya.
***
Fajar mulai datang. Ditandai dengan semburat jingga dan merah di sebelah timur. Meski belum sepenuhnya pagi, cahaya dari matahari yang menembus ranting-ranting dan dedaunan sudah cukup menyilaukan mata Zael lantaran pepohonan sekitarnya tak terlalu rimbun.
“Selamat pagi, Zael” Sapa Melyra.
Zael mencoba duduk. Menggosok kedua matanya dan mencoba membuka mata perlahan.
“Selamat pagi,” balas Zael. “Kenapa kau bangun sangat awal? Padahal semalam kau bilang tak ingin pulang.”
“Ini sudah kebiasaan.” Melyra kembali memasang simpul senyum di bibirnya. “Kapan kita berangkat?”
“Sekarang juga boleh.” Zael bangkit. Mengacak-acak rambut birunya.
“Ayo pergi, Melyra!”
Zael berlagak keren dengan berjalan penuh wibawa di depan.
Baru beberapa langkah dia membalikkan tubuhnya menghadap Melyra.
“Umm... rumahmu lewat mana, ya?” tanyanya sembari menggaruk belakang kepalanya. “Aku seharian berkeliling hutan untuk mencari jalan keluar hutan, tapi tak menemukannya.
“Maaf, aku juga tak tahu.” Keduanya kecewa.
Bagaimana bisa mereka melupakan hal sepenting ‘kemana tujuan mereka?’
“Tunggu, kalau tak salah pak kusir tadi memberiku sebuah peta. Aku tak terlalu pandai membaca peta,” kata Melyra mengeluarkan selembar kertas lusuh yang telah menguning. Sepintas nampak seperti peta harta karun.
Tatkala melihatnya, Zael mengerutkan dahi. Ia belum pernah melihat peta dunia seperti itu sebelumnya. Tapi kelihatannya itu adalah peta khusus untuk keluar dari sini.