Innocent

Strifer Saviour
Chapter #4

Ikatan

Pendakian penuh kesukaran berakhir. Sampailah mereka di puncak bukit. Dari kejauhan, nampaklah bunga berwarna kuning cerah bermekaran terhampar di dataran yang luas

Setelah keluar hutan sihir, menyebrangi rawa, serta mendaki bukit. Rasanya seperti memasuki dunia yang berbeda. Memandang jauh ke selatan dari ketinggian. Seperti sebuah desa, tapi Zael masih belum yakin. Dia mengajak Melyra untuk singgah jika itu memang benar-benar sebuah desa.

Wangi semerbak bunga memenuhi lubang hidung Zael dan Melyra. Mereka kerap menghirup napas panjang hanya agar bisa membau aroma bunga yang diterpa angin.

“Zael!” Panggil Melyra pada lelaki di sebelahnya. Kini mereka berjalan berdampingan.

“Ada apa?” Tanya Zael dengan nada serius.

Melyra diam sejenak. Kemudian tersenyum. “Tidak ada apa-apa.”

Zael menyadari bahwa Melyra menyembunyikan sesuatu. Tapi ia tahu jika Melyra tak ingin memberitahunya, ia tak bisa memaksanya.

“Ternyata memang desa,” gumam Zael.

“Ayo, Melyra!”

Desa itu tak terlalu besar. Hanya ada sekitar 15 rumah dengan pola hunian memusat. Kebanyakan rumah terbuat dari kayu. Sedangkan bagian pondasi dari pecahan batu.

Semua orang di luar rumah menatap tajam ke arah ke Zael dan Melyra. Seakan mereka berdua dianggap sebuah ancaman.

“Apa yang akan kita lakukan di sini?” bisik Melyra.

“Awalnya aku ingin membeli pakaian atau bahan makanan. Sayang, kelihatannya mereka membenci pendatang,” dengus Zael.

“Kalau begitu bisa kita pergi dari sini sesegera mungkin?”

“Ya.” Zael mengangguk.

Zael dan Melyra pergi dari desa lantaran merasa tak nyaman berlama-lama di sana. Zael berargumen mungkin warga desa ini adalah sekteVamus, orang-orang yang menyembah Dewa Vamus yang merupakan dewa malapetaka. Argumennya didukung dengan simbol matahari kuning yang diatasnya tersilang kapak merah. Simbol Dewa Vamus

Orang-orang dari sekte Vamus terkenal tertutup dan menjahui kontak langsung dengan pendatang.

Zael mendengus kecewa. Padahal dia berharap bisa memberikan sesuatu pada Melyra sebagai ucapan terima kasih karena telah memberinya makanan kemarin. Zael tahu dia mungkin akan mati jika tak bertemu Melyra.

“Zael!” yang dipanggil tak menjawab.

“Zael!” Teriakan Melyra membuyarkan pikiran Zael.

Ia tersadar. Menatap manik Melyra.

“Maaf. Ada apa?”

“Kau melamun?” Melyra memiringkan kepala.

“Tidak, aku tak apa-apa.”

Keadaan hening sesaat. Keduanya tetap berjalan.

Tak terasa mentari telah sampai pada titik tertinggi. Sinarnya memanggang kulit. Sedari pagi perut mereka tak terisi. Melyra seperti batang kayu yang siap roboh kapan saja.

Zael menoleh ke belakang dan Melihat Melyra yang lesu tak bertenaga.

“Kau lapar?”

Seketika itu, wajah lesu Melyra lenyap. Atau lebih tepatnya tertutupi oleh senyum ramahnya.

“Tidak.” Ia menggeleng pelan.

Tiba-tiba mendadak perut Melyra berbunyi. Membuatnya tersipu malu, wajahnya memerah. Zael tertawa lepas. Tapi segera menahan dan menghentikan tawanya agar membuat Melyra merasa nyaman.

“Kau tak perlu berbohong dan menahan laparmu. Tidak ada gunanya kita sampai di rumahmu kalau kau mati kelaparan di perjalanan.”

Melyra mendengus, menundukkan kepala.

“Sepertinya disana ada sungai.”

Tanpa sadar, Zael menggenggam dan menarik tangan Melyra. Namun beberapa saat ketika ia sadar, ia segera melepaskan tangannya dari tangan Melyra. “Ma-maafkan aku,” ucapnya lirih memasang wajah malu.

Ini adalah kesempatan yang bagus untuk Zael membalas makanan pemberian Melyra kemarin.

Melyra hanya diam. Membuang pandangan sembari meraba tangannya yang baru saja bersentuhan dengan Zael.

 Mereka berhenti di tepi sebuah sungai. Zael meminta Melyra duduk di bawah sebuah pohon rimbun.

Sementara itu, Zael memanjat pohon di sebelah Melyra. Jari-jarinya mencengkeram kuat di kulit-kulit pohon yang retak. Memotong sebuah ranting seperti memotong leher binatang dengan pisaunya. Ranting putus dan jatuh menghempas tanah. Zael melompat dari pohon.. Mengikat pisaunya dengan ranting yang baru didapatnya dengan sebuah akar menjalar. Dan didapatnya sebuah tombak panjang.

Perlahan Zael melangkahkan kaki ke sungai, berair jernih dan berarus tenang. Tempat sesuai untuk ikan tinggal. Dan tempat bagus untuk mendapatkan makanan.

Dia mulai menanggalkan pakaiannya sehingga memperlihatkan otot bagian atasnya yang terlatih. Memasukkan kakinya di air sungai. Sensasi dingin terasa di sekujur tubuhnya. Serasa begitu nikmat karena matahari bersinar terik membakar kulit.

Ia menuju ke tengah-tengah sungai. Meskipun begitu, kedalamannya hanya sampai dada. Zael menyelam dan menombaki ikan-ikan yang ditemuinya. Sayang, dari sembilan serangan hanya dua yang benar-benar bisa membunuh ikan. Beruntung, meski hanya dua ekor tapi ukurannya lumayan besar. Cukup bisa mengenyangkan mereka hingga petang.

Zael keluar ke permukaan. Membawa ikan yang didapatnya dan menghampiri Melyra.

“Lihat! Aku dapat 2 ekor,” Zael berseru, tersenyum hangat.

Melyra balas senyum. “Kau tak perlu susah payah melakukan itu.”

Zael meletakkan ikan dan beranjak pergi lagi. “Bukan masalah. Sebenarnya aku juga lapar.”

“Tunggu! Kemana kau akan pergi?” Teriak Melyra menghentikan langkah Zael.

Lihat selengkapnya