Zael serta Melyra telah tiba di dekat gerbang utama kerajaan Rapshodus. Kerajaan itu dikelilingi dinding batu bata setinggi 3 meter. Di depan istana berdiri ratusan bangunan kecil. Beberapa merupakan rumah hunian, sementara lainnya terlihat seperti kios-kios perdagangan.
“Kita sampai, Melyra.” Zael masih menggendong Melyra dengan bahagia.
Ia kemudian melangkahkan kaki menuju gerbang yang dijaga oleh seorang prajurit bersenjatakan sebuah tombak.
“Putri Melyra!” Sang prajurit terkejut. “Anda sudah pulang. Akan kuberitahu Raja Legna dan Pangeran Ryle.”
“Putri!!!”
Seberapapun terkejutnya prajurit itu karena mendapati Melyratelah pulang, masihlah terkejut Zael. Ia tak pernah menyangka bahwa Melyra adalah seorang putri dari salah satu tiga kerajaan besar.
“Tunggu, daripada memanggil para petinggi bukankah lebih baik memanggil tabib untuk menyembuhkan kaki Melyra?” ujar Zael.
“Lancang sekali kau! Memanggil putri kerajaan Rapshodus dengan hanya memakai nama depan. Dasar tak punya tata krama. Seharusnya kau....”
“Cukup. Tak apa,” Melyra memotong ucapan prajurit dan sontak si prajurit terdiam layaknya sebuah batu.
“Saya akan antarkan anda pada Elsa,” ucap prajurit. Tingkahnya pada Zael seketika berubah setelah ucapan Melyra tadi. Si prajurit menuntun Zael menuju kediaman tabib.
“Kenapa kau tak menceritakannya?” gumam Zael dengan wajah muram.
“Maaf,” Jawab Melyra singkat.
Zael menunduk seraya tetap menggendong Melyra di punggungnya. Ia baru sadar bahwa Melyra belum sepenuhnya percaya padanya. Langkah terasa lebih berat bagi Zael. Namun ia terus memaksakan kakinya untuk terus melangkah.
Riuh orang-orang berubah menjadi hening tatkala melihat putri mereka kembali pulang. Zael merasa tak nyaman dengan perhatian yang ia dapatkan. Di sebuah pondok dari kayu, prajurit penjaga gerbang berhenti dan mengatakan bahwa inilah rumah Elsa, tabib istana.
Zael segera masuk ke dalam pondok itu. Di dalam sangatlah gelap padahal masih belum malam. Nampaknya pencahayaan di rumah ini sangatlah buruk.
“Putri Melyra, kau pulang? Apa kau tidak apa-apa? Siapa yang bersamamu? Apa dia kekasihmu?”
Baru melangkah beberapa langkah saja Melyra sudah diberondongi pertanyaan entah oleh siapa. Hanya terdengar suara tanpa wujud.
“Kau tetap tak berubah, Elsa. Kau masih saja cerewet.”
Perlahan sesosok wanita berambut hitam diikat tunggal muncul dari balik bayang-bayang ruangan.
“Kau mengenalnya?” Bisik Zael.
“Dia adalah anak dari tabib istana kepercayaan kerajaan. Kami sering menghabiskan waktu bersama ketika masih kecil,” balas Melyra.
“Itu membawa kenangan kembali.”
Melyra dan gadis bernama Elsa itu tertawa bersamaan. Sementara Zael hanya sedikit tersenyum dengan terpaksa.
“Maaf mengganggu reuni kalian. Tapi Elsa, bisakah kau mengobati kaki Melyra?”
Elsa langsung menghentikan tawanya dan membungkuk untuk melibat kondisi kaki Melyra. Kemudian mulai berdiri lagi.
“Sampai kapan kau akan terus menggendong Putri Melyra? Letakkan dia di ranjang!” perintah Elsa.
“Ba—baik.”
Ternyata meskipun Elsa terlihat seperti wanita pada umumnya, ia sangat cekatan jika ada pasien yang butuh bantuan. Zael segera merebahkan tubuh Melyra di tempat yang ditunjuk Elsa.
“Kau bisa keluar sekarang.” perintah Elsa.
Zael menunggu di luar sementara Melyra dan Elsa di dalam dengan pintu tertutup.
Elsa memijat kaki Melyra yang bengkak. Sebelumnya ia menggosok tangannya dengan semacam ramuan dari getah dan dedaunan. Beberapa kali Melyra menyeringai dan mendesah kesakitan.
“Kenapa rumahmu kau biarkan gelap seperti ini?” Melyra membuka percakapan.
“Oh maafkan aku, Putri Melyra. Aku baru saja melakukan ritual pemujaan untuk Dewi Ficarraz.”
Elsa beranjak dan menyalakan lentera agar ruangan sedikit lebih terang. Lentera adalah pilihan bagus untuk menerangi rumahnya yang terbuat dari kayu daripada obor. Kemudian Elsa kembali duduk disamping Melyra dan kembali memijat.
“Apa ritual pemujaan harus dilakukan dalam kegelapan?” tanya Melyra pada teman masa kecilnya itu.
“Aku bisa lebih berkonsentrasi jika tak melihat banyak benda. Ah—daripada membahas itu lebih baik kita membahas pria itu, Putri Melyra.”
“Siapa? Zael?” Ucap Melyra seolah dia tak mengetahui apa-apa. Meskipun begitu, wajahnya mulai memerah lagi.
“Jadi namanya Zael.” Elsa tersenyum “Apa dia kekasihmu?”
Melyra makin memerah seakan hendak meledak. “Apa maksudmu?”
“Jadi bukan ya. Bagus kalau begitu dia untukku saja ya? Dia sangat manis,” ucap Elsa. Melyra menoleh secepat angin ke arah Elsa. Manik mereka saling bertemu.
“Kau menyukainya?” tanya Melyra dengan mata membelalak, mimik serius terpasang.
“Siapa wanita yang tak suka pria manis?” Jawab Elsa menggoda.
“Kau bahkan baru bertemu dengannya sekali.”
“Mungkin ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.”
“Tunggu, seingatku dulu kau bilang tak akan menikah karena membenci laki-laki.”
Melyra terlihat mulai marah. Atau mungkin lebih tepatnya cemburu.
“Ternyata Zael telah mengubah cara berpikirku.”
Melyra terdiam. Ia sadar semakin lama dia bicara dan berusaha mencegah Elsa, maka Melyra makin ia tak bisa berkutik. Dia bahkan bisa membayangkan Zael menikah dengan Elsa. Seorang tabib kerajaan dan koki istana. Mereka begitu serasi sampai membuatku ingin menangis, ucap Melyra dalam hati.
Zael masih duduk manis menunggu Melyra. Ia masih tak percaya Melyra adalah putri kerajaan besar seperti Rapshodus. Sebenarnya yang mengganggunya adalah kenapa Melyra merahasiakannya dari Zael. Di tengah lamunan, Zael terbangun oleh suara yang memanggil-manggil Melyra. Namun dengan awalan ‘putri’. Rupanya suara tersebut berasal dari prajurit penjaga gerbang.
“Putri Melyra!” Panggilnya dengan nada standar seorang prajurit.