Innocent

Strifer Saviour
Chapter #6

Perasaan

Berada di ranjang dengan ukuran empat kali ranjang biasa dan luas kamar yang melebihi dapur Iztonia menambah perasaan tak nyaman Zael. Selain itu dia masih tak bisa melenyapkan pikirannya tentang pertunangan Melyra.

Berbaring sambil membayangkan dirinya menghadiri pernikahan Melyra dan mengucapkan “Selamat menempuh hidup baru” membuatnya ingin terjun dari puncak gunung tertinggi, menggali sampai ke pusat bumi lalu ditimbun dengan batu, dan menenggelamkan diri di palung terdalam.

“Aku tak kuat lagi! aku ingin segera pergi dari sini meski harus menjadi buronan seumur hidup!” teriaknya.

Terdengar ketukan pintu, meski dengan bunyi lemah nan lirih ia yakin bahwa seseorang tengah mengetuk pintu kamarnya. Ia berharap orang tersebut tak datang karena terganggu dengan teriakannya.

Siapa yang datang ke kamar orang lain saat tengah malam seperti ini? tanya Zael dalam hati.

Kemudian ia mulai berjalan menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya Zael mendapati sosok Raja Legna dengan baju tidur merah. Dia tetap terlihat berwibawa meski tanpa pengawal atau pakaian raja. Tiba-tiba ia membungkuk di depan Zael.

“Tolong aku, Zael!” Ucap Raja Legna dengan posisi membungkuk.

Zael benar-benar bingung dengan apa yang terjadi. Ia terkejut setengah mati.

Zael panik. “Bangunlah Raja Legna! Apa yang anda lakukan?” Zael menegakkan tubuh Raja Legna meski tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Pembicaraan berlanjut di kamar Zael. Mereka duduk di kursi yang terletak di pojok kamar Zael.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Raja Legna?” Zael bertanya pada Raja Legna.

Bagaimana Zael tak penasaran ketika raja dari salah satu kerajaan terbesar membungkukkan badan di depannya.

“Ini tentang Melyra. Aku ingin kau membujuknya untuk menyetujui pertunangannya.” Raja Legna menunjukkan wajah penuh harapan pada Zael.

Manik biru pemuda itu melebar. Bagaimana dia bisa membujuk Melyra padahal dia akan hancur jika pernikahan itu terjadi. Tapi dia juga tak bisa menolak permintaan Raja Legna yang rela merendahkan diri dan membungkuk hanya untuk meminta bantuannya.

“Tapi … kenapa harus saya?” Zael meminta alasan.

“Mungkin kau tidak menyadarinya. Tapi saat Melyra berbicara denganmu dia menunjukkan mata penuh kepercayaan. Mata yang tak pernah ia tunjukan pada siapapun termasuk aku sebagai ayahnya. Jika dia percaya padamu melebihi siapapun, kemungkinan besar dia tidak akan menolak bujukanmu,” jawab Raja Legna.

Zael hanya terdiam. Sejujurnya ia tidak merasa bisa membantu. Ia belum begitu lama mengenal Melyra.

“Aku ingin membahagiakannya, aku tahu dia lari dari kerajaan karena menolak pertunangan itu. Tapi aku tak punya pilihan lain. Kesibukan mengurus kerajaan membuatku tak punya waktu luang untuk kuhabiskan bersama Melyra. Dia juga tak pernah mengenal kasih sayang ibu sejak lahir. Jika dia menikah, maka dia akan mendapat kasih sayang serta perhatian,” tambah Raja Legna

Hati Zael mulai tergerak untuk membantu Raja Legna. Meski dia tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Ya, perpisahannya dengan Melyra yang akan menyayat hatinya.

“Mereka bisa memanggilku raja paling bijaksana, raja pembebas, dan sebagainya. Tapi ... aku adalah ayah terburuk. Aku tidak mampu membuat putriku sendiri tersenyum.”

 Setetes air jatuh, membasahi lantai andesit yang mengkilap. Itu adalah air mata Raja Legna, air mata seorang raja. Tidak, air mata seorang ayah yang ingin membahagiakan putrinya.

“Baiklah, saya akan mengusahakannya” sanggup Zael lirih.

“Terima kasih, Zael. Aku sangat bersyukur pada Leyra karena telah mempertemukan kita.”

Raja Legna memeluk Zael dengan erat. Bahkan Zael hampir tak bisa bernapas. Sang raja beranjak pergi dan membiarkan Zael beristirahat untuk upacara besok.

“Masalah baru datang lagiii!!!” teriaknya kembali sambil menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang selembut kapas.

 Ia mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya, tapi yang dia dapat hanyalah perasaan yang campur aduk. Dia hanya berguling-guling di ranjangnya hingga beberapa kali jatuh, mengacak-acak rambutnya sampai beberapa helai rontok.

Ketika perasaannya mulai tenang, ia mulai bisa menutup matanya.

Fajar menjelang. Burung-burung mulai beterbangan mencari makan. Orang-orang berhamburan keluar rumah dengan urusannya masing-masing.

Zael membuka matanya. Manik hitam muncul dari balik kelopak matanya. Dengan mata yang belum terbuka sempurna ia membuka pintu kamarnya dan keluar mencari udara segar. Ia tak terbiasa dengan semua kemewahan ini. Sebelumnya dia hanya tidur di sebuah rumah kecil yang disediakan oleh Raja Ageis.

Berkeliling istana yang luas membuatnya kelelahan. Ditambah ia belum sarapan. Jika menunggu saat sarapan tiba mungkin ia akan pingsan.

Entah kenapa akhir-akhir ini ia mudah sekali lapar seperti mamalia yang akan hibernasi. Akhirnya ia berinisiatif untuk memasak sendiri. Pertama-tama masuk ke ruang makan lalu mencari letak dapur. Zael berpikir dapur ada di dekat ruang makan. Ternyata tebakannya benar. Ia segera memilih bahan makanan yang akan digunakannya.

“Baiklah, menu hari ini rendang!” ucapnya bersemangat.

Kelihatannya ia mulai melupakan masalah semalam. Atau mungkin Zael berusaha terlihat baik-baik saja.

Ia mulai memotong daging menjadi kotak dadu, menuangkan santan ke wajan, diikuti serai, irisan bawang merah, asam dan daun kunyit, kemudian mengaduk-aduknya hingga mendidih. Selanjutnya ia memasukkan bumbu halus dan mengaduknya kembali. Baru setelah itu Zael memasukkan potongan daging dadu sebelumnya. Ia terus mengaduk hingga daging terlihat lunak.

Tak heran memang jika ia dipilih sebagai koki istana Iztonia. Masakannya selali menimbulkan bau lezat yang menggugah selera. Zael makin tak sabar untuk mengisi perutnya dengan rendang buatannya.

“Selamat makan!”

Ia membuka mulutnya lebar-lebar hendak memasukkan sesuap makanan ke mulutnya. Tiba-tiba sesorang membentaknya sembari mengacungkan tombak di punggungnya.

“Siapa kau beraninya masuk dapur istana sepagi ini tanpa izin?”

Mendengar ucapan orang itu Zael berbalik menghadapnya. Ternyata prajurit penjaga gerbang kemarin. 

“Ternyata anda, Tuan Zael,” ucap prajurit tadi seraya manurunkan tombaknya perlahan. “Maafkan kelancangan saya,” tambahnya seraya menundukkan badan sedikit.

“Tidak usah dipikirkan. Ini memang salahku masuk ke sini pagi-pagi.” Zael berusaha menenangkan prajurit tadi dengan melempar kesalahan pada dirinya sendiri. “Sudah kubilang untuk memanggilku Zael, kan? Aku merasa tak nyaman dengan panggilan itu.”

“Mana bisa begitu? Saya tak bisa selancang itu,” bantah prajurit tadi.

“Tentu saja bisa. Aku bukan anggota kerajaan jadi kau tak perlu terlalu formal kepadaku. Terlebih aku belum tahu namamu.”

“Farron, nama saya Farron Clay.”

“Baiklah, Farron. Mulai saat ini kita adalah teman, jadi aku ingin kau memanggilku dengan nama depanku dan berhenti bersikap formal.”

“Tapi….” Farron masih keras kepala

“Jangan membantah,” bentak Zael.

Seorang prajurit lain datang. Mungkin dia mencari Farron.

“Ternyata anda disini, Tuan Zael. Raja Legna telah menunggu di alun-alun untuk upacara penyerahan pedang,” kata prajurit tadi.

 Ternyata tebakan Zael salah. Ia bahkan lupa jika hari ini adalah upacara yang dibicarakan Raja Legna kemarin.

“Sepagi ini?” tanyanya tak percaya.

“Sebaiknya kau cepat bergegas. Jangan membiarkan Raja Legna menunggu,” kata Farron.

“Baiklah.”

Zael meletakkan makanannya. Sedikit kecewa Karena ia gagal sarapan. Dia berjalan beriringan dengan sang prajurit. Zael kesulitan menyamakan langkahnya dengan prajurit. Prajurit itu lebih mirip berlari kecil daripada berjalan. Mereka menelusuri lorong istana untuk sampai di alun-alun.

Apakah upacaranya sepenting itu? pikirnya.

“Tunggu aku melupakan hal yang sangat penting!” ucap Zael sedikit berteriak.

 Membuat prajurit berhenti mendadak. Memandang Zael seolah menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa?”

“Aku belum mandi. Untuk upacara sepenting itu mana mungkin aku tidak mandi?”

“Tidak perlu. Raja Legna dan orang-orang sudah menunggumu. Sebaiknya jangan membuat Raja Legna menunggu,” ucap sang prajurit dengan wajah tegas.

“Baiklah,” Zael mendesah.

 Melanjutkan berjalan. Langkah demi langkah. Sampai akhirnya sampai di alun-alun kota. Banyak sekali orang orang yang sudah berkumpul hanya untuk menyaksikan upacara penyerahan pedang.

Pemilihan alun-alun sebagai tempat upacara merupakan tindakan yang sangat tepat. Udaranya yang segar, puluhan pohon tumbuh menjulang nan kokoh, tempatnya juga berdekatan dengan rumah-rumah penduduk.

Raja Legna duduk di sebuah kursi. Dua prajurit mengawal disampingnya. Ketika menyadari kedatangan Zael, ia langsung berdiri tegap.

Tunggu, apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu prosedurnya sama sekali, batinnya.

“Yang harus kau lakukan hanyalah menerima pedang pemberian Raja Legna.” Si prajurit menjawab seakan dia tahu isi hati Zael. “Itu adalah pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh kesatria baru,” imbuh si prajurit.

Zael terus berjalan mendekati Raja Legna sementara prajurit tadi kembali ke barisan. Semua orang yang yang datang tiba-tiba terdiam. Senyap.

“Hari ini adalah hari penyerahan pedang ksatria istana, Hazzer Pada Zael Assel. Atas jasanya membawa kembali putri Melyra Rapshodus dengan selamat.” Raja Legna berhenti sejenak. Menyerahkan sebuah pedang berkilau dengan gagang berwarna emas pada Zael. “Dengan ini, Mulai saat ini Zael telah resmi menjadi kesatria istana,” pungkas Raja Legna.

Orang-orang sontak bertepuk tangan setelah pendeklarasian selesai. Sorak sorai juga menyertai tepukan tangan. Zael merasa bangga atas apa yang telah terjadi, Karena sebenarnya ia menolong Melyra dengan ikhlas. Ia tak pernah menyangka akan mendapat hadiah seperti ini. Zael mulai menemukan kebahagiaan di sini. Ia mulai melupakan dendamnya dan berharap bisa bahagia di sini. Semua akan lebih sempurna jika Melyra tidak dijodohkan.

Upacara usai, orang-orang yang menyaksikan Zael mulai menyebar melanjutkan urusan masing-masing. Termasuk Zael dan Raja Legna. Zael sendiri bingung akan kemana. Dia tak punya pekerjaan di sini. Terlebih lagi sekarang dia adalah kesatria istana. Ia harus bisa menjaga sikap.

Perut Zael mulai menggonggong. Ia gagal makan pagi tadi. Sehingga berinisiatif untuk mencari makanan di sekitar istana.

Suasana di Rapshodus sangat damai, meski jumlah penduduk cukup banyak. Bahkan angin tak mau bertiup kencang di sini. Burung-burung menyanyi dengan suka menghiraukan orang-orang di sekelilingnya. 

“Zael!”panggil seseorang entah darimana asalnya.

Zael memutar kepala, leher, bahkan badannya untuk mencari sosok yang memanggil namanya itu. Di antara keramaian, ia kepayahan mencarinya.

Rupanya itu adalah Elsa yang membawa sekeranjang besar berisi bahan kebutuhan pokok.

“Elsa!” Zael balas panggil.

“Selamat atas pengangkatanmu, Zael.” ucapan selamat terlontar dari mulut Elsa. “Wah, itu kan pedang Hazzer, jadi sekarang kau resmi bagian kesatria istana Rapshodus, ya. Kau hebat sekali. Beberapa hari di sini tapi sudah diangkat sebagai ksatria kerajaan” imbuhnya seraya menunjuk pedang pemberian Raja Legna yang tergantung di pinggang kiri Zael.

“Terima kasih.” Zael menggaruk bagian belakang kapalanya karena malu setelah mendengar pujian Elsa. “Kau akan kemana?”

“Niatnya aku akan pulang. Tapi setelah bertemu denganmu, aku mengurungkannya. Mau bicara sebentar?” ajak Elsa.

“Maaf tapi aku….”                            

Tiba tiba perut Zael berbunyi lagi. Kali ini lebih nyaring dari sebelumnya. Bahkan beberapa orang di dekat Zael menoleh ke arahnya.

Lihat selengkapnya