Innocent

Strifer Saviour
Chapter #7

Ksatria Istana

Zael berada di depan pintu masuk lapangan latihan para kesatria istana. Dipagari oleh balok kayu setinggi dua meter. Jumlah kesatria istana jauh lebih sedikit dari prajurit biasa. Mereka menyandag gelar itu karena prestasinya saat menjadi prajurit.

Di dalam tak berbeda dengan lapangan pada umumnya. Hanya saja ada kesatria yang bertarung satu sama lain dengan baju zirah berwarna putih mengkilap dan bersenjatakan pedang yang sama, yaitu pedang Hazzer. Tepukan tangan terdengar dari sebelah kanan Zael. Ia segera menoleh ke arah datangnya suara. Seorang pemuda sebaya dengannya yang mengenakan zirah berbeda dari kesatria lainnya melangkah mendekati Zael.

“Ini dia ksatria istana baru kita, Zael Assel, ujarnya dengan nada setengah menyindir. Zael hanya diam memandanginya. “Seorang kesatria istana yang diangkat hanya karena berhasil membawa Putri Melyra yang melarikan diri. Dan ketika latihan pertama dia terlambat sedikit ... Sekitar 3 jam. Apakah orang sepertimu pantas disebut kesatria istana? kau hanya memanfatkan Putri Melyra yang masih lugu untuk mendapat hadiah dan jabatan di Rapshodus.”

Ia menyerang Zael dengan kata-kata yang menusuk. Perut Zael mulai panas, namun ia masih berusaha menahannya dengan senyuman.

“Kau benar-benar busuk. Pasti orang tuamu sama busuknya … ” ucapan pemuda tadi berhenti seketika. Dilanjutkan dengan pukulan. Zael memukul wajahnya dengan kepalan tangan kananya.

“Panglima Alastor!”

Banyak kesatria istana yang mengerumuninya. Lubang hidungnya mengucurkan darah. Beberapa rambutnya yang hitam juga terkena percikan cairan merah. Ia mengusap hidungnya dengan tangan kanan.

“Kau boleh menghinaku semaumu. Jika perlu kau bisa melakukannya sampai mulutnu robek atau hingga kata-kata cacian telah habis kau gunakan. Tapi jangan pernah sekalipun kau menghina orang tuaku!” teriak Zael murka.

Giginya bergemeletuk. Matanya melotot hingga bola matanya nyaris copot. Zael tak pernah semarah ini sekalipun dia dituduh membunuh Raja Ageis atau ketika ia dihajar oleh Panglima Vorte.

Ksatria lain mulai geram mereka memandangi Zael dengan menempatkan nafsu membunuh padannya. Alastor kembali bangkit. Menyuruh bawahannya untuk tenang.

“Zael, kita sebagai sesama kesatria istana memiliki peraturan. Yaitu setiap konflik yang terjadi diselesaikan dengan adu pedang,” ucapnya sedikit tersenyum masam.

Zael terdiam. “Lalu?”

“Yang kalah harus menuruti keinginan si pemenang,” jawab Alastor. “Bahkan jika itu adalah kematian.”

“Sepakat. Jika aku menang. Aku ingin kau meminta maaf atas perbuatanmu,” usul Zael lantang.

Ia segera mengambil keputusan tanpa pikir panjang karena ia tetap tak terima jika orang tuanya yang sudah susah payah merawatnya dihina di depannya.

“Dan jika kau kalah, kau harus angkat kaki dari Rapshodus,” jawab Alastor.

Sayangnya, kau tak punya kesempatan menang melawanku, batin Alastor.

Zael dipakaikan baju zirah lengkap dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuatnya sulit bergerak. Apalagi mengayunkan pedang.

“Peraturannya sederhana. Pertandingan ini ditentukan dengan dua poin. Mendapat satu poin apabila musuh menyerah, pedang terjatuh, anggota badan selain kaki menyentuh tanah, dan bagian tubuh mengeluarkan darah.”

Zael hanya diam mematung. Ia tak terbiasa memakai zirah. Apalagi seberat ini. Ditambah lagi musuhnya adalah seorang panglima. Ia juga belum pernah memegang pedang sebelumnya. Berbeda dengan Alastor yang bisa berberak bebas dengan zirah dan pedang di satu tangannya.

“DOOONNGG!”

Bunyi gong tanda mulainya pertarungan berbunyi. Alastor langsung melesat ke arah Zael tanpa hambatan. Zael tak tinggal diam. Ia menyambut Alastor dengan tebasan horizontal setinggi dada. Dengan cepat Alastor mampu menghindar dan mengayunkan pedangnya dari bawah ke atas. Mengenai bagian bawah helm yang dikenakan Zael. Kesatria baru itu langsung mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak.

“Lumayan,” Alastor memuji.

Zael terengah. Melangkah mundur beberapa meter saja telah membuatnya kelelahan. Tatkala Zael memegang pedangnya dengan dua tangan, bahunya masih terasa nyeri.

“Kalahkan dia, Panglima Alastor!” Riuh para ksatria istana yang melihat pertarungan mereka.

Alastor kembali menyerang. Kini ia berlari memutari Zael dengan kecepatan tinggi. Pria berambut hitam itu tak merasa terbebani dengan zirahnya. Tak heran jika dia adalah seorang panglima. Zael tak mampu mengimbangi kecepatannya dalam baju zirah itu. Bahkan untuk sekedar menoleh, helmnya membuat itu semakin sulit.

Alastor menebas Zael dari segala arah di seluruh bagian zirahnya. Menimbulkan goresan-goresan di baju besi-nya. Ia pun terombang ambing karena serangan Sang Panglima.

Jika ini terus dibiarkan, zirahku akan tertembus, lalu mengenai tubuhku dan akan mengeluarkan darah. Aku harus secepatnya mencegah itu terjadi,” batin Zael.

Orang-orang makin ramai datang. Bahkan sebagian besar merupakan warga sipil. Mereka menonton dari luar pagar lewat celah antar rongga balok yang disusun saling melintang.

“Bukankah itu ksatria istana yang baru diangkat pagi tadi?” celetuk salah seorang warga.

“Darimana kau tahu? Dia kan memakai helm yang menutupi seluruh wajahnya?’ tanya warga lain di sebelahnya.

“Memang. Tapi aku tidak bisa melupakan pisau di pinggang kanannya,’ ujarnya seraya menunjuk pisau yang dimaksud.

“Jika itu benar kasihan sekali dia harus berhadapan dengan panglima Alastor secara langsung.”

Zael mengayunkan pedangnya secara membabi buta. Berharap keberutungan berpihak padanya dan salah satu tebasannya mengenai Alastor. Dan benar saja, dari lima belas tebasan yang menghabiskan hampir semua tenaganya, ternyata hanya dua tebasan yang membuat baju zirah lawannya tergores. Alastor melompat ke belakang untuk menghindari tebasan Zael yang selanjutnya. Tapi kini Zael tak punya tenaga lagi. Sisa tenaganya telah habis dipakai untuk berdiri dan menopang berat zirah yang dikenakannya.

Zael sedikit membungkuk karena letih. Alastor yang menyadari itu langsung mendekatinya dengan santai. Ketika jarak mereka menyempit, Alastor mendorong tubuh Zael dengan kaki kananya dari belakang. Zael pun jatuh tengkurap lemas dengan zirah yang masih menempel di tubuhnya. Tepuk tangan meriah untuk Alastor dilayangkan.

Beberapa orang membawa Zael menepi. Karena ronde pertama telah usai dan ia tertinggal satu poin.

Kini waktu istirahat. Ia diberikan waktu dua menit. Itu lebih dari cukup untuk mengatur kembali napas dan mengisi ulang tenaganya. Ia melepas helm-nya, membiarkan semilir agin menyapu wajahnya yang basah kuyup oleh keringat.

Gong berbunyi dua kali tanda istirahat usai. Zael lekas berdiri ke tengah lapangan kembali dan berhadapan dengan Alastor.

“Aku ingin bertanya padamu?” tanya Zael.

“Akan kujawab apapun pertanyaanmu karena sebentar lagi kau akan kalah,’” jawab Alastor sedikit tersenyum sinis.

“Apa ada aturan lain dalam pertarungan ini selain yang kau sebutkan tadi?”

“Tidak” jawab Alastor singkat.

Mendengar itu, Zael langsung melepas helm yang menempel di kepalanya. Menanggalkan semua perlengkapan pertarungan termasuk zirah pelindung hingga yang tersisa di tubuhnya hanyalah pakaian yang ia kenakan. Semua orang terkejut melihat apa yang dilakukan Zael. Termasuk Alastor sendiri.

“Jadi kau menyerah, ya? Keputusan yang bijak,” ucap Alastor.

“Siapa yang akan menyerah? Ayo kita bertarung!” ucapnya lantang.

Semua orang makin terkejut dengan ucapan Zael.

“Hei, apa kau ingin cari mati? beradu pedang melawan Panglima Alastor tanpa zirah sama saja bunuh diri!”

Semua orang di sana menertawai Zael. Tapi Zael bergeming. Dia meletakkan pedang Hazzer di tepi lapangan dan mengeluarkan pisau andalannya.

“Anak itu tak bercanda!”

“Hei, siapkan kuburan untuknya!” ujar seorang pria sambil tertawa menghina.

“Aku tak akan menahan diri meski kau tak mengenakan zirahmu,” ujar Alastor.

“Itu yang kuharapkan,” ucap Zael seraya menggenggam pisaunya dengan posisi terbalik di depan wajahnya.

Gong berbunyi sekali tanda pertarungan dimulai. Zael dan Alastor melesat maju saling serang. Pisau Zael dan pedang Hazzer milik Alastor saling berbenturan. Menimbulkan suara yang nyaring. Alastor menyerang secara beruntun untuk merobek kulit Zael. Tapi Zael yang sekarang bisa menghindarinya dengan cepat dan menangkisnya dengan pisau kecilnya.

Penonton bertepuk tangan. Melihat pertarungan hebat itu.

“Ternyata anak itu bukan hanya omong kosong,” ucap salah seorang penonton.

***

Melyra merasa ada yang aneh di lapangan latihan ksatria istana. Ia belum pernah melihat tempat itu begitu ramai. Sehingga mencoba masuk dan memeriksa. Di dalam kerumunan yang makin ramai, sehingga ia tak bisa melihat apa yang terjadi. Ia terlalu pendek untuk melihat apa yang terjadi dari belakang kerumunan. Bahkan orang-orang tak menyadari bahwa sang putri tengah berada di belakang mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya Melyra pada salah seorang penonton.

Lihat selengkapnya