Taman bunga istana. Tempat luas dipenuhi bunga dengan warna dan jenis berbeda-beda. Tempat Melyra, putri kerajaan Rapshodus kerap menghabiskan waktu.
Burung berkicau sahut-menyahut, angin bertiup lembut menggesek bunga-bunga di sana.
Berdiri seorang putri berambut pirang, mengenakan gaun berwarna ungu dan kuning mewah. Di tangannya tersandang sebuah bunga serupa awan.
Raja Legna mengawasi putrinya dari lantai 2 istana. Kegiatannya itu telah ia lakukan selama bertahun-tahun tanpa diketahui Melyra. Diam-diam ia senantiasa memperhatikan Melyra.
Perlahan Melyra mulai melangkah pergi dari taman dengan bunga yang masih berada di genggamannya.
“Ven!” panggil Raja Legna.
Tak menunggu lama, seorang prajurit datang menjawab panggilan sang Raja.
“Lepas pakaian prajurit dan helmmu. Kawal Melyra seperti biasa!” titah Raja Legna.
“Baik, Yang Mulia,” sanggup sang prajurit.
Prajurit itu Lekas menanggalkan pakaian prajurit yang berwarna ungu dengan simbol kerajaan Rapshodus, disusul helm yang ia kenakan. Memperlihatkan rambut hitam yang menutupi separuh wajahnya yang bermimik tegas. Ia beranjak pergi untuk menjalankan perintah sang raja.
Melyra berjalan dengan anggun dan berwibawa, keluar dari istana dan terus melangkah. Ven yang membuntuti Melyra tetap bertindak sewajarnya. Ia telah melakukan ini selama lima tahun terakhir. Ia belum pernah sekalipun melewatkan pandangannya ketika menjalankan tugas. Dan belum pernah mengalami kegagalan.
“Elsa! Apa kau di dalam?” panggil Melyra seraya mengetuk pintu perlahan.
Merasa tak ada jawaban, Ia mengulang kembali yang dilakukannya barusan. Ketika merasa yang dilakukannya tak membuahkan apapun ia mulai menyerah dan beranjak pergi. Ketika berjalan beberapa langkah, ia mendengar suara pintu yang terbuka. Ia langsung menghentikan langkahnya.
“Lama sekali kau. Apa saja yang kau lakukan?” ucap Melyra tanpa berpaling. Seorang gadis dengan berdiri di depan kusen pintu. Melyra mulai membalikkan badan dan membenturkan pandangan pada Elsa.
“Maaf, aku baru saja melakukan ritual pemujaan.”
Kemudian Elsa mempersilahkan Melyra untuk masuk ke pondok kayu-nya. Seperti biasa, rumah Elsa dalam keadaan gelap. Melyra hampir tak bisa melihat apapun ketika pintu satu-satunya ditutup.
“Apakah kau tak pernah berpikir bahwa hobimu tinggal di tempat gelap seperti ini merupakan hal yang aneh?”
“Tidak pernah. Dan tidak akan,” jawab Elsa sambil menggelengkan kepala mantap. “Semua orang memiliki keunikan masing-masing.”
“Unik dan aneh merupakan dua hal yang berbeda, Elsa. Jika kau tidak menghentikan kebiasaanmu itu tidak akan ada laki-laki akan tertarik padamu,” tambah Melyra.
Elsa dan Melyra merupakan sepasang sahabat meskipun terlihat sedikit kecanggungan antara satu sama lain.
Perbincangan dua wanita itu berlangsung hingga petang. Suasana rumah Elsa mirip gua pada jam-jam seperti ini. Akhirnya Melyra memutuskan untuk pulang. Ia bergerak menuju pintu dan keluar dari rumah Elsa.
“Sampai jumpa lagi, Elsa,” Melyra berucap seraya melambaikan tangan.
Dibalas anggukan kecil oleh Elsa.
Dan ternyata Ven masih setia menunggu sang putri menampakkan dirinya. Selama Melyra berbincang dengan Elsa, Ven hanya duduk di sebuah kursi kayu panjang ditemani burung dan hembusan angin yang menerpa ranting-ranting pepohonan. Menyadari sosok yang dijaganya selama bertahun-tahun menampakkan batang hidung, ia kembali kembali memasang mata sebaik mungkin.
Melyra yang berjalan santai kerap mendapat sapaan dari warga. Dan dibalasnya dengan salam dengan wajah datar.
Dirinya tak tahu apa yang sebenarnya dipikiran mereka dibalik senyum yang ramah. Mereka menghormati Melyra karena ia seorang putri, tapi apa mereka tetap akan melakukannya jika ia hanya seorang rakyat biasa?
“Melyra!” seru seorang pemuda berambut pirang yang tak lain adalah Pangeran Ryle.
Melyra menoleh dan mengarahkan pandangan pada mata coklat kakaknya. Raut wajah Melyra menunjukkan bahwa ia sedang malas berbicara. Tapi Pangeran Ryle tetap melanjutkannya.
“Aku diminta ayah untuk memberi tahumu tentang pesta besok lusa.”
“Kenapa tidak nanti di istana saja? Kenapa kau perlu susah payah mencariku?” jawab Melyra.
Pangeran Ryle hanya terdiam, ia tak habis pikir dengan cara pemikiran adik semata wayangnya itu.
“Apa ada lagi?” Melyra bertanya “Kalau tidak, aku ingin pergi ke istana sekarang.” Melyra acap kali bersikap dingin pada ayah dan kakaknya. Tidak, bahkan pada semua orang terkecuali Elsa, sahabatnya dan juga Zael, pemuda yang baru dikenalnya, namun telah berkali-kali menyelamatkan hidupnya. Melyra selalu ingat bagaimana Zael dengan lantang mengucap janji akan melindunginya tanpa keraguan sedikitpun. Atau ketika ia dengan berani melawan Crannog dan cacing gurun.
Melyra lekas masuk ke kamarnya. Berbaring terlentang di ranjang beludru yang seakan menenggelamkannya. Memasukkan tiga jemarinya yang lentik ke dalam kerah. Meraih dan mengeluarkan sebuah liontin safir merah tua. Memandanginya dan tersenyum. Hal itu dilakukannya sampai-sampai ia tertidur dan terbangun pagi harinya dengan menggenggam liontin yang kelihatannya sangat berharga baginya.
***
Zael berangkat menuju lapangan latihan lebih awal untuk menebus kesalahannya tempo dulu. Di sana berdiri seorang yang mengayunkan pedang seperti seperti mengibaskan kipas.
“Lama sekali kau, Zael,” celetuk Panglima Alastor.
“Maaf,” sahut Zael “Padahal aku sudah bangun pagi.”
Zael berjalan menuju sang panglima. Zael kagum dengan Alastor. Keterampilan berpedang yang hebat ditambah tubuhnya yang terlatih untuk menggunakan pedang Hazzer benar-benar patut untuk dipuji.
“Lalu kita akan melakukan apa?”
“Tentu saja berlatih,” balas Alastor “Andai kau tahu saja, kemampuan pedangmu sangatlah buruk,”
“Wajar saja,” ujar Zael “Seumur hidup aku baru memegang pedang kali itu,” pungkasnya.
“Benarkah?” Alastor terkejut “Tapi ketika kau bertarung kau terlihat sangat lihai ketika menggunakan pisau.”
“Bukankah pisau dan pedang adalah dua hal yang berbeda?”
“Pada intinya keduanya hampir sama. Memiliki sisi tajam dan ujung runcing. Hanya saja yang membedakan adalah ukurannya,” jelas Alastor.
“Tetap saja berbeda, kan?” bantah Zael.
Mereka mulai akrab satu sama lain bahkan nampaknya Zael dan Alastor telah amnesia tentang peristiwa kemarin. Ya, pertarungan hidup dan mati memperjuangkan harga diri.
Alastor kehabisan kalimat. Ia gagal menjawab. Bahkan panglima Rapshodus tak berkutik ketika berhadapan dengan Zael.
“Terserah kau saja,” Alastor kesal. “Baiklah, daripada berlama-lama ayo kita mulai!” ia mengalihkan topik pembicaraan.
“Darimana aku memulainya?” tanya Zael.
“Benar juga. Bagaimana jika dimulai dengan memegang pedang,” jawab Alastor. “Cari posisi yang nyaman. Zael menarik pedang Hazzer dari pinggang kirinya. Memutar-mutar pedang untuk mencari posisi ternyaman.
“Aku sudah mendapat posisi nyaman, Alastor!”
“Bisakah kau tidak bercanda?” Alastor sedikit membentak.