Malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya. Pendar obor dan lampu kunang-kunang lebih berlimpah. Malam terasa seperti senja. Karena akan diadakan pesta kepulangan untuk Melyra, para pemimpin kerajaan yang merupakan sekutu Rapshodus berdatangan untuk menghadirinya.
Zael masih berada di kamarnya. Bergulat dengan sepasang pakaian berwarna merah yang diberikan oleh Pangeran Ryle. Sayangnya, ia tidak pernah memakai pakaian semacam itu. Modelnya terlalu rumit untuk dipakai, bahkan dipahami oleh Zael. Bagaimana tidak? Pakaian itu hanya terdiri dari dua lembar kain yang tiap jengkalnya selalu ada tali yang entah diikatkan dimana.
“Bagaimana caranya memakai benda ini?”
“Apa kau baik-baik saja, Zael?” tanya Pangeran Ryle dari balik pintu.
“Y-ya! Hanya sedikit susah untuk memakainya,” jawab Zael. Terkutuklah kau, pakaian sialan! caci Zael dalam hati.
Ia tidak ingin mengecewakan Pangeran Ryle dengan menolak memakai pakaian yang diberikannya. Tapi meski begitu Zael tetap tak bisa mengenakannya. Ia sempat berpikir akan lebih baik jika ia telanjang daripada memakai benda itu.
“Maaf, Pangeran Ryle,” ucap Zael sambil membuka pintu yang membatasi mereka berdua.
“Ryle saja.”
“Baiklah, Ryle. Anu... bagaimana jika aku mengenakan pakaian lain saja?”
“Pakaian lain?” Ryle mengerutkan alis.
“Ya!” ucapnya sedikit membentak. “Sejujurnya aku tidak bisa bisa mengenakan pakaian yang kau berikan.”
Ryle diam sesaat. Zael sedikit menunduk karena merasa ia telah mengecewakan Pangeran Ryle. Tapi kemudian sang pangeran tertawa terbahak-bahak layaknya penonton drama komedi.
“Aku juga tidak akan bisa mengenakannya,” ucap Pangeran Ryle tanpa menghentikan tawanya. “Bagaimana kau bisa memakai tirai sebagai baju?”
Zael terkejut “Itu tirai?” teriak Zael dengan ekspresi lucunya.
Pangeran Ryle makin terbahak-bahak.
“Lalu kenapa kau memberikannya padaku?” imbuh Zael.
“Aku melihat tirai kamarmu sudah berdebu. Jadi aku ingin kau sediri yang menggantinya. Aku tidak ingin merepotkan pelayan yang masih sibuk menyiapkan pesta.”
Meskipun Ryle adalah seorang pangeran, dia tidak semena-mena. Bahkan memikirkan perasaan para pelayannya.
Zael memerah karena malu. Tapi ia bersyukur karena ia tak jadi memakai tirai itu sebagai busana.
“Aku tidak bisa membayangkan kau menghadiri pesta bersama para petinggi kerajaan dengan mengenakan tirai. Kemudian mereka berkata ‘apa itu pakaian modis jaman sekarang?’ Hahahaha!”
“Hentikan, Ryle! Hatiku terlalu lembut untuk penghianaanmu.”
Beberapa saat kemudian Pangeran Ryle mulai menghentikan tawanya. Kemudian mengajak Zael lekas pergi ke ruang pesta.
“Tapi aku belum ganti pakaian,” kata Zael
“Tidak masalah. Pakaianmu itu masih tergolong sopan.”
“Baiklah.”
Pesta digelar di lantai kedua istana. Tepatnya di aula. Terlihat beberapa orang mulai berdatangan dengan pakaian mewah. Yang pertama datang kelihatannya dari kerajaan Wizz, kerajaan kecil sebelah barat Rapshodus sekaligus kerajaan paling dekat dari sini. Diwakili langsung oleh sang raja dan ratu beserta dua pengawalnya. Raja Legna langsung menyapa dan mempersilahkan mereka masuk.
Satu persatu perwakilan dari tiap kerajaan masuk silih berganti. Zael merasa dirinya tak layak berada diantara para darah biru. Ia seperti seekor burung walet diantara kenari dan burung kacer. Apalagi sekarang dirinya tak lagi bersama Ryle karena sang Pangeran harus menyambut para tamu bersama Raja Legna.
“Saudaraku sekalian,” Raja Legna mengumumkan dengan lantang. “terima kasih atas kedatangan kalian di kerajaan Rapshodus untuk menghadiri pesta kepulangan putriku, Melyra Rapshodus.”
“Benar juga. Aku belum melihat Melyra sama sekali sejak pesta ini dimulai,” batin Zael “Kira-kira dia sekarang dimana, ya?”
Dari lantai dua, sesosok gadis bergaun ungu dikombinasikan dengan warna putih dan manik emas menuruni anak tangga satu persatu, terlihat anggun nan berwibawa. Seluruh tamu dibuat terpana olehnya. Rambut pirang terurai yang berkilau tak pernah bisa meragukan bahwa dia adalah Melyra. Wajah berseri yang menyiratkan kebahagiaan. Sesuatu yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Cantik sekali!”
“Apa ia Putri Melyra?”
“Aku jadi ingin ia menjadi menantuku.”
Pujian demi pujian terus terlontar dari bibir para tamu seperti kembang api di malam tahun baru. Melyra berjalan menghampiri ayahnya di tengah kerumunan. Bahkan Zael yang telah melewati banyak waktu bersama Melyra masih tetap terpesona dengannya malam ini. Sang putri es terlihat berbeda dari biasanya. Ia terasa lebih hangat dari sebelumnya. Mungkin karena hubungan dengan ayahnya yang membaik. Itupun juga berkat Zael.
“Terima kasih atas partisipasi anda semuanya dalam acara yang diselenggarakan oleh oleh ayahku dalam rangka merayakan kepulanganku,” sambut Melyra seraya memasang senyum khasnya “Dan terima kasih kepada Zael,” imbuhnya sambil melemparkan pandangan pada si pria berambut biru. “Tanpanya, mungkin aku tak bisa berdiri di sini. Dan dialah sumber kebahagiaanku.”
“Jadi dia telah memiliki kekasih?”
“Sayang sekali.”
“Dia sangat beruntung mendapatkan hati seorang Putri Melyra.”
Ucapan Melyra membuat Zael terkejut setengah mati. Seakan ia ingin melompat hingga ke langit dan terbakar matahari. Atau berlari sekencang angin, menerjang Gunung.
Ia tak pernah merasa sebahagia ini seumur hidupnya. Mengetahui gadis yang disukainya secara telah mendeklarasikan betapa penting dirinya bagi Melyra.
“Sekian saya ucapkan terima kasih,” pungkas Melyra.
Kemudian undur diri dari panggung. Tepat setelah itu Ven mendatangi Raja Legna dan membisikkan sesuatu sambil menyerahkan secarik surat. Surat itu terdapat gambar seekor elang dengan hanya sebuah sayap kanan, lambang kerajaan Orio. Usai membaca surat itu mimik Raja Melyra perlahan berubah sedih.
“Saudaraku sekalian! Berita duka datang dari Orio,” ucapan Raja Legna membuat semua orang yanga ada di ruangan itu menjadi hening tanpa suara “beberapa jam yang lalu, seluruh anggota kerajaan Orio telah meninggal dibunuh.”
Sontak semua orang di situ riuh tak karuan.
“Siapa yang tega membunuh anggota kerajaan Orio?”
“Benar-benar tak bisa dimaafkan.”
Kerajaan Orio terkenal dengan warganya yang ramah dan pemimpinnya yang merakyat. Pangeran dari Orio juga merupakan tunangan Melyra. Mungkin itu yang membuat Raja Legna sedih. Ia bahkan belum sempat membatalkan pertunangan Melyra dan minta maaf pada mereka.
“Bagaimana bisa seluruh anggota sebuah kerajaan meninggal dalam satu malam? Dan bagaimana si pembunuh memasuki istana tanpa diketahui siapapun? Bukankah setiap kerajaan selalu memiliki prajurit penjaga?” gumam Zael.
Kejadian di Orio mengingatkannya pada kejadian yang menimpa Iztonia beberapa hari lalu. Ketika ia dituduh sebagai pembunuh Raja Ageis.
“Mungkinkah pelaku pembunuhan di Orio adalah orang yang sama dengan pembunuh Raja Ageis?” Zael berspekulasi.
Pesta yang semula meriah dan dipenuhi oleh senyum, kebahagiaan, dan canda tawa tiba-tiba berubah menjadi berkabung.
“Sejenak marilah kita mendoakan keluarga Orio yang telah pergi mendahului kita,” kata Raja Legna datar. “Berdoa kepada Leyra sesuai kepercayaan masing-masing, dipersilahkan.”
Para tamu undangan terlihat menundukkan kepala dan memejamkan mata. Namun tidak untuk Zael. Ia membuang kepercayaannya pada Leyra sejak ayahnya meninggal. Ia beranggapan Leyra hanyalah sesuatu yang hanya ada di khayalan. Sebelumnya, ia berdoa pada dewa Calsell, sang dewa pelindung setiap hari agar selalu selamat. Ia tak meminta lebih. Tapi apa yang ia dapat? Kematian ayahnya yang meninggalkan luka mendalam.
“Selesai,” pungkas Raja Legna. “Aku harap kalian tidak memikirkan mereka lagi. Biarkan mereka beristirahat dengan tenang.”
Tak lama kemudian perlahan suasana kembali hidup seperti sebelumnya. Meski masih ada sedikit perasaan mengganjal. Bagaimana tidak? Di saat seluruh anggota kerajaan Orio tewas dibunuh, mereka malah mengadakan pesta.
Di tengah suara iringan musik yang menciptakan suasana damai di hati, nampaklah dua orang yang baru saja memasuki ruangan pesta.