Innocent

Strifer Saviour
Chapter #10

Kenangan

“Itu adalah tempat yang bagus untuk melihat matahari terbit,” suara Melyra membangunkan Zael dari lamunannya.

Ia hanya menoleh untuk menanggapi suara perempuan itu. Mencoba memasang senyum agar Melyra tidak mengkhawatirkannya. Tapi gagal. Mimiknya sekarang seperti papan.

“Ada apa, Zael?” Melyra mendekat.

“Tidak ada apa-apa.”

Melyra diam sejenak memandangi Zael “Kau adalah orang yang payah dalam seni berbohong,” tukas Melyra. “Apa kau memikirkan ucapan Panglima Vorte dan Raja Raves?”

Zael mengalihkan pandangannya dari Melyra dan kembali menatap langit yang mulai memunculkan semburat jingga di sebelah barat dengan mimik datar tanpa menjawab.

“Tenang saja. Ayah pasti berusaha melakukan yang terbaik.”

Melyra berusaha menenangkan Zael. Pemuda itu tersenyum meski sedikit dipaksakan. dirinya gagal membuat Melyra tidak merasa khawatir.

“Terima kasih, Melyra.”

Zael kembali menatap Melyra. Matanya terfokus pada leher Melyra, dimana sebuah kalung dari permata tergantung melingkar.

“Perasaanku saja atau memang kau baru memakai kalung itu sekarang?”

Melyra menunduk melihat kalung yang dipakainya.

“Maaf. Sebelumya aku memang menyembunyikan ini dibalik bajuku karena takut seseorang akan melakukan sesuatu padaku karena kalung ini sangat mencolok dan terlihat mahal. Tapi syukurlah aku bertemu denganmu sebelum bertemu dengan orang-orang seperti mereka.”

“Tidak masalah,” ucap Zael “Tapi kenapa kau tidak melepasnya kemudian menyimpannya. Bukankah itu lebih aman?”

“Aku tidak sanggup melepasnya dari leherku. Kalung ini satu-satunya peninggalan ibuku. Dan adalah benda milikku yang paling berharga,” terang Melyra datar.

“Maaf karena menanyakan hal pribadi seperti itu.”

“Tidak apa-apa. Aku sepenuhnya mempercayaimu.”

“Aku tahu bagaimana rasanya ditinggal orang yang kita sayangi dan dia hanya meninggalkan sebuah benda. Mereka berharap agar kita tidak melupakan mereka,” kata Zael sambil mengambil sesuatu dari balik bajunya. Itu adalah pisau yang selalu menempel di pinggangnya.

“Ini adalah hadiah pertama dan terakhir yang kuterima dari ayahku. Memang harganya tidak mahal. Dan banyak pisau yang seperti ini yang dijual oleh pedagang. Tapi pisau ini tersisip kepercayaan ayahku, bahwa suatu saat aku akan menggunakannya untuk melakukan hal yang berguna bagi orang lain. Pisau ini … bahkan lebih berharga dari nyawaku.”

“Aku baru sadar ternyata kita punya banyak kesamaan,” Melyra berucap sambil tersenyum, kemudian disusul Zael.

“Kau tahu? Menurutku kau lebih hangat dari pertama kali kita bertemu. Awalnya aku mengira kau adalah sosok yang dingin karena itu aku kesulitan mengajakmu bicara. Tapi semakin mengenalmu, dugaanku seakan lapuk dan kemudian hancur.”

“Apa yang membuatku terlihat lebih hangat dan ramah, Zael?” tanya Melyra.

“Zael! Kau dipanggil Raja Legna,” Farron muncul tiiba-tiba dan meminta Zael untuk menemui Raja Legna.

“Baik. Terima kasih, Farron.”

“Maaf, Melyra, aku harus kesana.”

Melyra mengangguk.

Zael mulai berjalan menuju tempat Raja Legna, Raja Raves, dan Panglima Vorte berada. Tiap derap langkahnya memperkuat hati untuk kemungkinan terburuk.

Melyra hanya memandangi Zael dari belakang. Ketika pemuda rambut biru itu menghilang dari pandangan bersama Farron, Melyra menggantikan Zael menatap fajar yang mulai menampakkan dirinya.

“Tadinya aku berharap akan melihat matahari terbit bersamanya,” gumam Melyra “tapi tidak apa-apa, mungkin lain kali.” Melyra menghembuskan napas. “Semoga hasil diskusinya tak memberatkan Zael.”

***

“Zael!” panggil Raja Legna. Keringat mulai mengalir melewati pipi Zael. Terbayang dia akan dihukum pancung atau digantung dihadapan rakyat Iztonia. Atau kemungkinan lain, Raja Legna berhasil membujuk mereka dan akhirnya Zael bisa memulai hidup baru di Rapshodus. Tentu Zael berharap kemungkinan kedua yang terjadi.

“Hasil diskusi kami menyatakan kau, Zael Assel….” Raja Legna menghentikan kalimatnya sekejap karena nyamuk menggigitinya.

 Itu membuat Zael yang jantungnya sedang berdegup lebih kencang dari derap kaki kuda mekin was-was karena Raja Legna tak langsung menuntaskan kalimatnya. Bisa-bisanya seekor nyamuk mengganggu adegan menegangkan ini.

“Tidak akan diampuni….” Sambung Raja Legna.

Dalam sekejap, mata Zael menjadi gelap, ia tidak bisa melihat apapun. Kecemasan yang sedari dulu menghantui, kini muncul di depan matanya. Dia sekarang hanya memikirkan kalimat perpisahan terbaik yang bisa dia ucapkan pada Melyra.

“Sampai kau membuktikan bahwa kau tidak bersalah,” pungkas Raja Legna.

Zael kemudian melihat secercah cahaya ditengah gelap matanya.

“Maaf, apa maksudnya?” tanya Zael memperjelas.

“Kau harus membawa si pembunuh ke Iztonia, dengan begitu tuduhan atasmu akan dihapuskan,” jawab Raja Raves yang tengah duduk berhadapan dengan Raja Legna namun dipisahkan oleh sebuah meja sepanjang empat meter. Disampingnya berdiri Panglima Vorte yang melipat tangannya sembari berdiri, menatap Zael dengan tajam. Sepertinya kebenciannya pada Zael tak berkurang sedikitpun.

“Bagaimana, Zael?” tanya Raja Raves. Terukir senyum sinis di bibirnya.

Dia tahu Zael tak akan bisa melakukannya. Bagaimana tidak? Melihat wajahnya saja hanya sekilas, dan lagi ia tidak tahu darimana pembunuh itu berasal dan dimana dia sekarang. “Batas waktunya dua bulan, jika kau gagal kami akan mencarimu hingga lubang semut sekalipun untuk membunuhmu.”

“Daripada kau melakukan hal yang sia-sia, lebih baik kau menyerahkan diri dan mati dengan terhormat,” Vorte melanjutkan kakaknya..

Zael yang mulanya menunduk, kini menatap tajam ke arah Panglima Vorte.

“Mati dengan tuduhan pembunuh kau bilang terhormat?” Zael menaikkan nada suaranya. “Akan kulakukan. Akan kubawa pembunuh itu hidup atau mati!” tegas Zael tanpa keraguan sebutir pun.

“Kenapa kau harus susah-susah melakukannya? Mustahil kau bisa melakukannya dalam dua bulan. Bukan, yang kau lakukan bukannya mustahil, tapi sia-sia,” sahut Raja Raves dengan wajah datar.

“Tidak ada yang namanya sia-sia, ayahku pernah bilang begitu,” jawab Zael. “Dan jika perlu akan kujelajahi tiap jengkal dunia ini. Aku bukannya takut mati, aku hanya takut orang-orang akan membenciku dan mencapku penjahat bahkan setelah aku mati.”

“Jadi kau akan mencari pelaku sebenarnya dan membuktikan bahwa kau tak bersalah?” tanya Raja Legna.

 Zael mengangguk mantap.

“Baiklah, dengan ini perundingan kita selesai,” ucap Raja Legna.

“Aku akan memberitahu pengadilan dan seluruh rakyat Iztonia tentang ini,” ujar Raja Raves.

Mereka meninggalkan istana dan menaiki kuda masing-masing. Ternyata Raja Raves kemari tanpa membawa pengawal. Sepertinya Panglima Vorte saja sudah cukup untuk memastikan keselamatannya.

Raja Legna dan Zael bergeming dari posisinya semula. Perlahan Raja Legna mendekati Zael.

“Ada apa, Zael? Bukankah itu jalan yang kau pilih. Kenapa sekarang kau terlihat murung?”

“Tidak, saya bukannya murung. Hanya saja saya merasa tak enak karena harus melibatkan anda dalam masalah ini,” kata Zael bernada berat.

Raja Legna menepuk bahu Zael “Apa yang kau katakan? Ini bukan apa-apa dibanding yang kau lakukan untukku,” beliau berucap kemudian tersenyum hangat.

Zael mulai bisa menghembuskan napas lega untuk sementara. Ini bukanlah akhir dari kisahnya, melinkan hanya prolog yang sangat panjang.

Melyra yang menunggu Zael di balkon menyunggingkan bibir ketika sosok yang dinantinya muncul. Rambut pirangnya yang berkibar tertiup angin mirip rerumputan di taman bunga. Hanya dengan memandangnya saja, Zael bisa merasa tenang.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Melyra khawatir.

“Bagaimana ya, mungkin hasilnya tengah-tengah antara hasil buruk dan baik.”

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Melyra sedikit memiringkan kepala.

“Aku tidak ditangkap maupun dibebaskan,” Zael berhenti sejenak. “Bisa dibilangkan aku bebas bersyarat.” Kali ini Melyra mengkerutkan alis, bukannya makin paham pada penjelasan Zael, tapi malah makin bingung.

“Aku harus menemukan pelaku sebenarnya untuk membuktikan pembelaanku jika ingin bebas dari dakwaan,” pungkas Zael.

Lihat selengkapnya