Innocent

Strifer Saviour
Chapter #12

Pertolongan

“Dasar bodoh. Jangan mati dulu sebelum kau menuntaskan urusanmu di sana,” jawab seseorang. Suara itu tak asing bagi Zael. Suara yang membuatnya menangis selama seminggu dan membuatnya rindu selamanya.

Zael membalikkan tubuhnya. Mendapati sesosok pria paruh baya berbusana hitam. Wajahnya sangat mirip dengan Zael, terutama bagian mata. Jika saja rambut pria itu berwarna biru, bukannya hitam, mungkin mereka terlihat seperti adik kakak.

“Kau sudah tumbuh dewasa, ya?

Zael mengusap air mata yang nyaris terjun melewati sudut matanya. “A—ayah! Benar, kan kau Saraga, ayahku?”

“Menurutmu?” pria itu balik bertanya.

Meskipun tiap detik Zael menyingkirkan air matanya, namun benda itu terus saja menetes tak karuan. Di dunia putih kosong yang maha luas itu, Zael Assel menjatuhkan haru. Padahal ia tak ingin ayah tercintanya melihatnya sebagai seorang yang cengeng.

“Boleh aku memelukmu?” pinta Zael.

“Kenapa tidak?” Mendengar jawaban telah diberikan, Zael berlari ke arah ayahnya. Merentangkan tangannya dan bersiap memeluk tubuh pria itu. Ketika pemuda itu telah berada tepat di depan ayahnya, tiba-tiba sang ayah lenyap entah kemana. Dia seperti ditelan angin, menghilang tanpa jejak.

Tiba-tiba Zael terbangun. Membuka mata perlahan. Maniknya mendapati puluhan helai daun jiya.

“Hanya mimpi, ya?”

Bunyi kapak yang berbentur dengan batang kayu terdengar di liang telinga Zael. Ia duduk. Menyapukan pandangan tuk menemukan asal suara tersebut.

Seorang gadis berambut hitam panjang terikat dengan baju putih terlihat tengah menggenggam kapak Zael dan bersusah payah menebang pohon jiya. Itu bukanlah hal yang lumrah dilakukan oleh wanita, apalagi ia masih gadis. Mungkin sebaya denganya.

Zael berniat menghentikannya. Namun tiba-tiba kedua tangan dan kakinya gemetar hebat. Pandangannya pun mulai kabur.

Ya ampun. Apa aku akan pingsan lagi? tanya Zael dalam hati.

Sebuah telapak tangan menyentuh leher dan kening Zael. Sekuat tenaga ia berusaha memperpanjang masa terbukanya mata yang kian sayu itu hanya untuk melihat wajah pemilik telapak yang halus itu.

“Tuan Zael!” panggil gadis itu.

Tolong, singkirkan kata ‘tuan’ dari namaku, batin Zael. Ia tidak punya tenaga untuk berteriak seperti biasanya.

Rupanya gadis itu tidak lain merupakan Liz. Wanita itu merawat Zael yang terkapar tak berdaya. Ketika pemuda itu hendak pingsan lagi, Liz langsung memasukkan segumpal nasi ke mulut Zael dengan tangannya. Kelopak mata Zael melebar. Satu suapan sudah cukup membuatnya bertenaga. Usai menelan makanannya, Zael lekas bersoal.

“Apa yang kau ....” kalimat Zael terpotong oleh telunjuk lentik Liz yang melintang di bibirnya.

“Anda jangan bicara dulu, tuan Zael.”

“Tidak perlu terlalu formal. Panggil aku Zael, “ kata Zael lirih.

“Ba-baiklah jika itu keinginan tuan ... eh ... keinginan Zael,” ujar Liz lembut bercampur gugup.

 Ekspresi canggungnya benar-benar imut. Berbanding terbalik dengan Zael yang bersikap tenang nan santai. Mungkin karena waktu yang ia habiskan bersama Melyra membuatnya tak lagi gugup ketika bersanding dengan lawan jenis.

“Maaf. bisa aku memakannya dengan tanganku sendiri? Rasanya sedikit memalukan disuapi wanita yang belum terlalu aku kenal,” pinta Zael sembari mengguratkan senyun.

“Baiklah.” Liz menyerahkan nasi berlauk rebung, diwadahi daun seluas 3 telapak tangan kepada Zael yang bersandar lemas di batang pohon itu.

“Liz!” pangggil Zael. Yang dipanggil menoleh. “Terima kasih. Mungkin jika kau tak menolongku, aku sudah mati.”

Untuk kedua kalinya Zael tersenyum pada Liz. Senyuman Zael sungguh murah.

“Bukan masalah. Lagipula kau juga telah menyelamatkanku dan adikku dari Vivi.” Liz diam sejenak. “Maaf, Zael. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Aku harus kembali ke desa.”

“Sekali lagi, terima kasih, Liz.”

Liz hanya mengangguk. Wajahnya terukir kebahagiaan. Ia berjalan menuju rumahnya dan menemui adiknya yang masih sangat muda.

“KRUUUK!” Liz memegang perutnya. Rupanya ia belum mengisi perutnya sejak kemarin malam. Tapi dirinya malah memberikan makanan pada Zael. Bukannya merasa kesakitan, ia malah tersenyum sembari terus memegangi  perutnya.

“Aku tak akan pernah menyesal merasakan sakit ini selama itu karenamu, Zael, malaikat pelindung berhati suci. Mungkin Dewa Callsel yang mengirimmu kemari.”

Zael menyantap makanan pemberian Liz dengan lahap. Mungkin malah terkesan rakus dan tamak. Tak menghiraukan keadaan sekitarnya. Ia tahu pekerjaan berat masih menantinya. Karena itu, Zael berusaha menyelesaikan makannya dengan cepat.

Pemuda itu lekas menggenggam kembali kapak pemberian para penduduk usai melenyapkan makanan pemberian Liz.

“Sebenarnya apa yang dilakukan Liz ketika aku pingsan?” gumam Zael ketika memandang dua batang pohon Jiya telah tumbang dan terpotong menjadi bagian kecil-kecil namun panjang.

 Aku harus berterima kasih padanya.

Zael tahu bahwa Liz telah melanjutkan pekerjannya yang sempat tertunda. Padahal itu bukanlah pekerjaan yang lazim dilakukan oleh seorang gadis.

Ia lekas mengayunkan kapak secara horizontal pada bagian batang yang sama. Merobek kulitnya, sebelum akhirnya pohon itu perlahan tumbang menghantam tanah.

Tubuh Zael bermandikan keringat, Napasnya tersenggal. Meskipun ia telah berusaha sekuat raga, tetap saja tak mampu merampungkan tugasnya sebelum mentari lenyap.

Empat orang pria datang menghampiri Zael. Mereka datang menjemputnya. dua orang dari mereka menggenggam tangan sementara yang lainnya mengikat pergelangan tangan Zael. Tak ada satu aksara pun keluar dari mulut mereka. Ia diperlakukan bak seorang budak.

Zael dimasukkan ke dalam pondok kayu yang sama dengan kemarin malam. Setidaknya kali ini masih diterangi sebuah lilin yang menemani malam sunyi Zael.

Terdengar suara tawa anak-anak yang bermain di luar rumah padahal sudah malam. Tidak seperti kemarin yang sepi senyap. Zael tersenyum mendengar kebahagiaan mereka. Ia bahkan lupa akan keadaannya yang menyedihkan, meringkuk di dalam pondok kayu kosong yang sepi dikarenakan jasanya. Padahal ia mempertaruhkan nyawa untuk melindungi desa ini, namun malar-malar ini yang ia peroleh.

Terdengar derit pintu. Zael sedikit mendongak. Lagi, kedua tangannya terantai. Sesosok siluet seorang gadis masuk dan langsung menutup pintu.

“Aku pikir kau sudah tidur, Zael.”

Suara lembut yang tak asing. Milik Liz. Tak diragukan lagi.

“Apa yang kau lakukan disini?”

“Aku akan menemanimu untuk malam ini.” Gadis semampai itu duduk disamping Zael yang tak mampu bergerak banyak.

“Apa?” Zael terkejut. “Kau tidak bisa melakukan itu!” seru Zael.

“Kenapa?” Alis Liz berkerut.

“Bagaimana bisa laki-laki dan perempuan tidur satu ruangan? Kita belum menikah, kan?”

“Jika itu masalahnya, ayo kita menikah malam ini!” ucap Liz.

Zael terperangah setengah mati. Bagaimana bisa Zael menikahi seorang gadis yang baru dikenalnya kemarin. Ditambah lagi, dengan keadaan seperti ini.

“A—aku pikir kita tidak perlu melakukannya jika cuma tidur satu ruangan,” jawabnya gugup.

Liz tersenyum puas sementara Zael menghembuskan napas panjang lega. Ia berpikir mungkin bermalam sekali saja lebih baik daripada menikah dengan gadis yang dikenalnya dalam satu hari.

Yah, selama aku tidak melakukan apa-apa semua pasti baik-baik saja. Ditambah lagi, tangan dan kakiku diborgol. Apa yang mungkin bisa kulakukan? batin Zael.

Liz membuka percakapan. “Apa yang ingin kau lakukan di desa kami, Zael?”

Lihat selengkapnya