Bergerak ke utara dengan cepat. Kelihatannya Zael mulai terbiasa dengan partner barunya, Sera. Ia kini mulai mirip ksatria sungguhan.
Lagi-lagi bioma yang dilewatinya adalah hutan. Zael mulai bosan dengan itu. Yang bisa dilihatnya hanyalah kumpulan pohon dan beberapa semak.
Makin ke dalam, rasanya jarak antar pohon makin sempit dan rapat. Pergerakan Sera sedikit terhambat.
“KRRRAARR!!” Seekor singa hitam menerkam Zael dari balik semak. Membuat pemuda itu jatuh dari tunggangannya.
Singa itu memiliki bulu hitam pekat dengan rambut surai biru gelap. Ekornya berwarna hitam kemerahan dan bercabang dua.
Hewan liar itu menindih tubuh Zael. Mulutnya menganga lebar tepat di depan wajah Zael. Hendak mengunyah kepalanya. Dengan cepat kedua tangan Zael menahan kepala hewan itu. Singa hitam dikenal memiliki racun di taring dan kuku-kukunya.
Sial bagi Zael. Ia tak bisa mengambil pedangnya karena kedua tangan masih sibuk. Singa itu mencakar wajah Zael beberapa kali. Untungnya tak ada yang mengenai mata. Namun kini wajahnya berlumuran darah.
Kepala singa itu makin mendekati wajah Zael. Pemuda itu pun bahkan bisa merasakan napas busuk hewan liar itu. Padahal tangannya sudah menahan sekuat tenaga.
Tiba-tiba punggung singa hitam itu terbakar tanpa alasan. Mengaum. Dia berbalik meninggalkan Zael. Menggeram pada sesosok gadis di kejauhan yang sebagian tubuhnya tertutup semak.
Hewan itu berlari dengan cepat ke arah gadis dengan balutan kain merah panjang. Tentu saja hendak menerkamnya.
Ia mengarahkan telapak tangannya ke arah singa hitam itu. Mulutnya bergerak dengan cepat, matanya memejam. Kobaran api muncul dari kedua telapak tangannya. Membakar tubuh hewan itu dengan begitu cepat. Tak sampai satu menit, makhluk itu sudah menjadi singa panggang.
Zael hanya terdiam melihat gadis itu. Kemungkinan besar ia adalah salah seorang penyihir. Dari jauh mereka hanya bertukar pandang. Rambut merah darahnya berkilau dari kejauhan.
Gadis itu menembakan secercah cahaya dari ujung jarinya ke arah Zael. Sontak Zael berusaha mengindarinya, mengingat kemampuan sihir gadis itu sangatlah kuat. Namun sayang, tembakan itu tetap mengenai wajah Zael.
Pemuda itu berusaha menyingkirkan sihir itu dari wajahnya. Dalam beberapa detik, ia mengutuk gadis itu.
Anehnya, bukannya terbakar, tapi luka goresan di kedua pipinya perlahan sembuh dan tak menyisakan rasa sakit sama sekali. Ia baru sadar bahwa sihir yang ditembakkan gadis itu bukanlah sihir serangan, namun sihir penyembuh.
“Terima kas ...” belum sempat Zael berterima kasih, gadis itu menghilang begitu saja. Kemana perginya penyihir itu? batinnya.
Pekik kuda terdengar dengan jelas. Nampaknya itu adalah suara Sera yang tengah panik usai serangan singa hitam tadi.
“Mungkin hal pertama yang harus kulakukan adalah mengejar Sera terlebih dahulu.” Zael mengejar Sera yang berlari cepat tak tentu arah.
***
Gadis itu terengah. Keringat mengaliri wajahnya yang cerah. Berpegangan pada sebatang pohon, ia mengambil napas sejenak.
“Kemana perginya?”
“Mungkin ke sana!”
Usai mendengar suara berat milik dua pria, gadis itu memaksakan kakinya untuk melanjutkan pelarian meski langkahnya begitu berat.
Sayangnya ia salah jalan. Gadis berambut merah sebahu itu berakhir di ujung ngarai yang curam. Panik. Ia pun berniat kembali dan memilih jalan lain.
“Ketemu!” sang gadis tersentak mendengar suara berat yang berasal dari balik pohon. Lima pria bertubuh tegap menghadang sang gadis, menghalangi jalur pelariannya. Menguatkan rahang, gadis itu coba mencari jalan alternatif tuk terhindar dari mereka.
“Menyerahlah, penyihir! Dan kau tak akan merasakan sakit.”
“Mundur! Atau akan kupanggang kalian!” Ancamnya.
“Tarik pedang kalian! Bawa gadis itu hidup atau mati!” perintah seorang dari mereka
Mereka mengeluarkan pedang dari sarungnya yang berkilau. Gadis itu pun mulai merapal mantra, kobaran api terkumpul di telapak tangannya seolah menyatu membentuk bola.
“Maju, Sera!” teriak Zael dari arah hutan disertai derap Sera yang begitu kencang. Para pria yang mengincar gadis penyihir itu pun menyingkir agar tak terhempas oleh kuda putih yang kekar itu. Si penunggang turun di depan penyihir muda.
“Hei! Minggir! Kami tak punya urusan denganmu, rambut angur!”
“Kalian lah yang harusnya pergi. Bagaimana bisa kalian menyerang seorang gadis?” seru Zael. Ular dan pedang? Sampai kapan aku harus berurusan dengan kelompok bandit ini? batinnya ketika melihat simbol itu di pakaian para pria itu. Simbol yang sama dengan bandit yang menyerang Melyra.
“Gadis katamu?” ucap salah satu dari mereka. Rambutnya hitam lurus dan diikat. “Dia adalah penyihir yang mampu membunuh lima puluh prajurit sendirian.”
Yang dikatakan pria itu memang masuk akal setelah Zael melihat sendiri bagaimana gadis ini membunuh singa hitam dengan mudah tanpa terluka.
“Cih!” pemimpin mereka meludah. “Cukup basa-basinya. Jika kau tak mau minggir, kami juga akan membunuhnu disini.”
Aku tak ingin membunuh lagi. Karena itu, yang perlu kulakukan hanyalah membuat mereka lari, pikir Zael. Jemarinya mulai memeluk gagang pedangnya.
“Aku akan membantumu,” kata si gadis.
“Tidak. Dengan kekuatanmu, kau bisa membunuh mereka. Aku tak ingin ada yang terbunuh. Tunggu disini, aku yang akan mengurusnya.”
Kelompok bandit maju bersamaan. Zael tetap diam ditempat. Ketika salah satu dari mereka mengayunkan pedangnya, Zael membungkuk dan menggoreskan Hazzer ke betisnya. Pria itupun terduduk, karena daging dan ototnya telah terpotong.
Zael berlari ke hutan. Tentu saja keempat bandit yang tersisa mengejarnya. Meninggalkan gadis berambut merah itu sendirian. Anehnya, mereka berempat tak menemukan si rambut biru di manapun. Padahal dengan warna baju mencolok seperti itu, seharusnya mereka bisa melacak keberadaan Zael dengan mudah. Beberapa saat telah berlalu. Tak kunjung mereka menjumpai batang hidung pemuda tersebut.
Tiba-tiba sebuah ranting sebesar satu jengkal jatuh menimpa dua dari mereka. Tepat menghantam leher belakang, mereka pun pingsan, tak bergerak sama sekali. Yang tersisa tinggal si pemimpin dan seorang pemuda dengan bekas luka membujur di dahinya. Mereka mendongak. Mendapati seseosok yang dominan berwarna biru diantara hijaunya dedaunan.
“Bajingan kau, pria biru!” kutuk si pemimpin regu. “Turun dan hadapi aku secara jantan!”
“Lalu?” sahut Zael dari atas. Kakinya berpijak pada ranting-ranting.
“Jika kau menang, aku akan pergi dan berjanji tidak akan mengusik penyihir itu lagi. Dan jika aku yang menang ... kau harus bersedia dipenggal tanpa perlawanan.” Pria itu tersenyum sinis. “Bagaimana? Setuju?”
Zael terjun bebas dari tempatnya berdiri. Mendarat di depan kedua bandit itu. “Baiklah. Tapi aku yang menentukan aturannya,” ia diam sesaat. “Yang tubuhnya berdarah, meski setetes dinyatakan kalah.
Pemimpin bandit itu berlari ke arah Zael dan berseru, “Sekarang dimulai!”
Ia menyabetkan pedang ke Zael. Sontak Zael menangkis dengan memposisikan Hazzer secara vertikal di samping lehernya.
Dan berhasil, urat nadi leher Zael terselamatkan berkat kecekatan dan refleks yang bagus miliknya sendiri. Seorang bandit lain turut mengayukan pedangnya ke puncak kepala Zael. Ia mundur beberapa langkah, lagi-lagi ia selamat.
“Itu tidak adil!” teriak Zael. “Bagaimana bisa aku berhadapan dengan kalian berdua secara bersamaan? Padahal tadi kau menyuruhku untuk bertarung secara jantan.”
“Bukankah tadi kau yang menentukan aturannya?” si bandit bekas luka menunjuk Zael dengan pedang yang digenggam. “Kau tidak bilang bahwa hanya salah satu dari kami yang boleh melawanmu.”