Tatkala tubuhnya terhempas, tak nampak Uriel mengerang kesakitan seperti gadis pada umumnya. Ia langsung bangkit berdiri dan melanjutkan serangannya seakan tak terjadi apapun padanya. Padahal nyatanya baru jatuh dari kuda yang tengah berlari dengan kencangnya.
Tak lantas berdiam diri, Zael meloncat dari Sera dan berlari ke arah Uriel yang berhadapan dengan puluhan ekor anuba kelaparan. Sembari melangkah cepat, tangannya menarik keluar pedang Hazzer dan mengayunkannya ke anuba yang coba mendekati Uriel.
Zael bertarung dengan pedangnya di depan, dibantu bola api Uriel yang membantunya dari belakang. Satu-persatu mereka menyerang Zael. Dan satu persatu pula mereka jatuh terluka dengan luka tusukan atau goresan yang cukup dalam dari Hazzer.
Anuba-anuba yang tersisa mulai berpencar mengelilingi Zael dan Uriel. Membuat formasi dadakan Zael dan Uriel yang menguntungkan mereka mulai kacau lantaran Anuba menyerang dari berbagai arah. Mereka terlihat kepayahan. Perlahan bergerak mundur hingga pungung mereka saling berbenturan.
“Kau—tidak apa-apa, Uriel?” tanya Zael terengah.
“Seharusnya kau berkaca dulu sebelum menanyakan hal itu.”
Anuba yang tersisa masihlah cukup banyak, sekitar dua puluhan. Zael sudah hampir mencapai batasnya. Terlihat dari caranya bernapas lewat mulut dan keringat yang mengaliri tubuhnya.
Uriel melirik pemuda berambut biru di belakangnya itu. Kemudian berucap, “Zael, bisa kau alihakan perhatian mereka sebentar?”
“Baiklah,” sanggup Zael meski sebenarnya ia tak begitu mengerti apa yang akan dilakukan Uriel.
Para anuba itu makin mendekat, Zael mencoba mengaum, menggonggong, bahkan melolong mencoba menakut-nakuti mereka. Namun hasilnya nihil. Zael malah dikejar-kejar oleh mereka.
“Entah darimana ide konyol ini muncul.” Sesalnya usai mencoba menakuti para anuba itu.
Ia berlari sekuat tenaga sambil beberapa kali mengayunkan pedangnya ke belakang untuk menjauhkan mereka dari dirinya. Entah sial atau beruntung, anubis menjauhi Uriel tapi mengejar Zael.
Uriel sendiri sedang berdiri diam. Matanya terpejam, mengaitkan kesepuluh jemarinya yang diposisikan menempel di dada. Mulutnya bergerak begitu cepat.
“Menyingkir! Anjing Sialan!” teriak Zael tanpa menghentikan larinya. Seekor anuba melompat ke arah punggungnya. Menggigit bahu kirinya. Secepat kilat dirinya menancapkan pedangnya ke wajah anuba itu hingga Zael terbebas kembali dari gigitannya.
Sayangnya, gigi setajam pisau milik hewan liar itu berjaya mengoyak daging di bahu Zael. Mengalirkan darah, Zael tak lantas berhenti melangkah.
Sial seribu sial. Agak jauh, berlari sekelompok Anuba lain ke arah Zael. Ia menguatkan rahangnya. Mengambil posisi bertarung. Yakni memegang pedang dengan kedua tangan dan melebarkan kakinya sedikit, serta sedikit merendah. Bersiap untuk pertarungan hidup dan mati.
Terlihat kilatan api muncul di atas Uriel. Mulai membentuk cincin api yang berputar. Perlahan menampakkan wujud ular naga yang tercipta dari kobaran api. Naga itu meluncur dengan cepat. Menghantam para anuba satu persatu hingga terbakar. Mereka berlarian tak tentu arah. Melepaskan Zael, mangsa incaran mereka. Sedikit demi sedikit para anuba mati terpanggang.
Zael berlari ke arah Uriel. “Uriel! Kau luar bia... .” kalimat Zael terpenggal. Matanya melihat tubuh Uriel perlahan hendak roboh.
Rasa senang dan bangga kini berubah menjadi khawatir. Zael mengangkat kepala Uriel dan memangkunya. “Uriel! Uriel!” panggil Zael panik.
“Seraaa!” panggilnya sekuat tenaga. Berharap kuda tunggangannya bersedia datang dan memenuhi panggilan tuannya.
Cukup lama berselang, namun Sera tak terlihat.
Zael memandang jauh ke arah Sera berlari beberapa waktu lalau. “Apa kuda itu melarikan diri?” gumamnya.
Pemuda itu lantas mengalihkan pandangan ke gadis yang terkulai lemas di pangkuannya. Ia tak tau apa penyebab penyihir itu tiba-tiba pingsan. Yang dia tau hanyalah Uriel kini butuh pertolongan.
Jika sedekat ini, Uriel terlihat sangat cantik. Mungkin di beberapa sisi melebihi Melyra, pikir Zael. Dasar bodoh! Mesum! Gila! Apa yang kupikirkan di saat genting seperti ini? Zael mengolok-olok dirinya sendiri karena berpikiran kotor terhadap Uriel yang tak sadarkan diri.
Derap langkah terdengar mendekat. Zael menoleh dengan cepat. Sebuah objek putih bergerak ke arah mereka.
Zael menajamkan penglihatannya. “Tidak salah lagi. Itu Sera.” Perasaan bahagia terpancar di wajahnya.
Kuda putih itu berhenti tepat di depan Zael. Menundukkan kepala seakan meminta maaf.
Seraya tersenyum, Zael mengelus lembut kepala Sera. “Kuda baik. Kuda pintar.”
Zael mencoba mengangkat dan meletakkan Uriel yang belum siuman ke punggung Sera dan berniat menungganganginya sembari memegang erat Uriel. Malang, pundaknya yang robek membuatnya tak mampu mengangkat tubuh Uriel.
Tapi ia tak kehabisan akal. Dikalungkannya tangan Uriel yang lembut melingkar di lehernya. Kemudian mulai berdiri, menggendongnya di punggung dengan satu tangan. Ia mencari tempat yang lebih teduh untuk beristirahat sembari menunggu Uriel sadar kembali.
Zael menyandarkannya tubuh Uriel di bawah sebuah pohon. Hanya ada satu pohon yang paling dekat dengan mereka, sebuah pohon besar dan rimbun. Dari jauh nampak seperti sebuah jamur raksasa. Sayang, pohon itu tak berbuah. Angin bertiup menerjunkan dedaunan dan menggoyangkan rumput-rumput liar. Uriel membuka mata namun masih lemas dan tak mampu berdiri.
Zael memandangi Uriel dengan iba. “A-apa yang kau lakukan? Jangan memandangiku seperti itu!” bentak Uriel. Ia berpikir Zael sedang memikirkan hal kotor pada dirinya.
Zael terkejut usai mendengar Uriel yang lemas lesu masih bisa membentaknya seperti itu.
“M-maaf,” kata Zael. “Aku akan mencari sesuatu untuk kau makan.”
Uriel hanya mengangguk pelan. Ia menunduk, merasa tak enak pada Zael. Uriel merasa dia malah menghambat perjalanan Zael.