Innocent

Strifer Saviour
Chapter #16

Pencarian

Third POV

Mereka sudah mencari ke beberapa desa, kota, dan kerajaan kecil di seluruh daratan Carte, namun hasilnya nihil. Di atas punggung Sera, mereka berbincang.

“Hei, Zael!” panggil Uriel.

“Hmm!” gumam Zael.

“Apa tidak sebaiknya kita menuju Tempera? Menurutku Raja di sanalah yang memiliki kemungkinan terbesar turut tangan dalam insiden itu.”

“Kau mungkin benar, Raja Tempera mungkin memiliki dendam masa lalu dengan Raja Ageis dan Raja Legna. Tapi Tempera akan menjadi destinasi terakhir kita. Disana dijaga sangat ketat oleh prajurit, ditambah lagi medan menuju ke sana sangatlah sulit dilalui,” sanggah Zael. Aku juga mendengar rumor bahwa penyihir akan langsung dibunuh di tempat, imbuhnya dalam hati.

“Lalu ke mana tujuan kita selanjutnya?”

Zael merogoh tas kecil di pinggangnya. Mengeluarkan selembar peta dunia. “Desa L’aile, mungkin?”

“Berarti kita harus melintasi laut kecil antara daratan Tempera dan wilayah Izra?” tanya Uriel sembari menunjuk peta.

“Begitulah”

“Kalau begitu kita harus mencari desa pesisir terdekat untuk menyewa perahu,” ujar Uriel. “Tapi apa yang membuatmu memutuskan untuk ke sana lebih dulu?”

“Entahlah, mungkin ... firasat?”

Uriel memegangi dahinya sambil menggelengkan kepala, “Jadi kau orang yang bertindak bukan dengan pikiran tapi dengan perasaan, ya?”

“Entahlah. Mungkin. Aku hanya merasa kita akan menemukan sesuatu di sana.”

“Ahhh ... baiklah-baiklah. Lagipula aku hanya akan mengikutimu.” Uriel berbalik memunggungi Zael, melipat kedua tangannya.

Zael tersenyum, “Terima kasih, Uriel!”

Uriel kembali berbalik menghadap Zael. Wajahnya sedikit memerah tapi ia tetap menyunggingkan bibirnya usai ucapan terima kasih dari Zael masuk liang telinganya. Tak menjawab, hanya menganggukan kepala.

Usai menunggang kuda cukup lama, mereka sampai di sebuah pemukiman kecil di pesisir. Tempat itu belum bisa disebut desa karena selain hanya terdiri dari rumah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, tidak terlihat tempat ini memiliki penghuni tetap. Mereka pindah kemari hanya untuk melaut atau membuat garam.

“Maaf. Bisa kami menyewa perahumu untuk menyeberang ke desa L’aile?” tanya Zael pada seorang pemuda yang telanjang dada dan baru saja menepikan perahu dayungnya.

 Ia menatap dengan mata yang tidak enak, seperti merendahkan Zael. Bahkan setelah melihat pedang yang tergantung di pinggang Zael, ia tak lantas gentar dan mulai melembek. Ia malah makin menatap tajam Zael.

“Ada urusan apa kau kesana?” tanyanya dengan nada yang benar-benar tidak enak didengar.

Zael menjulurkan tangan, “Aku Zael, salam kenal.”

“Aku tidak ingin tahu, salam kenal.” Lagi-lagi jawaban yang membakar telinga keluar dari mulut pemuda itu. “Cari orang lain! Aku sibuk.”

Uriel mulai geram, ia yang sedari tadi berdiri di belakang Zael tak tahan lagi. Ia berjalan cepat dan mulai memaki pemuda itu. Tangannya meraih kerah bajunya. “Asal kau tahu saja, kami berasal dari jauh! Kau tahu kesulitan yang kami hadapi untuk sampai kemari?! Kami hanya memintamu mengantar kami ke sana. Kau juga akan dibayar!” Uriel berhenti sejenak, “Kau mau, kan? Jika kau menolak aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu nanti,” ancam Uriel dengan nada yang menakutkan dan mimik yang mengerikan. Matanya melebar selebar-lebarnya, giginya bergemeletuk, hidungnya kembang kempis.

Pemuda tadi menelan ludah. Kakinya gemetaran, jantungnya berdetak tak beraturan. “B-baiklah,” jawabnya gugup. Wajah congkak dan minta dihajar sudah berubah menjadi mimik ketakutan yang teramat.

Aku tidak menyangka Uriel bisa seperti ini, Batin Zael.

Tangannya bahkan turut gemetar usai melihat murka Uriel. Memang dia adalah orang yang sedikit cerewet. Tapi Zael sungguh tidak pernah menyangka wujud Uriel yang marah lebih menakutkan dari singa hitam. “Sebaiknya aku tidak macam-macam dengannya.” Gumamnya.

Desir ombak dan dan sapuan angin laut menemani perjalanan mereka. Untungnya perahu pemuda bernama Vert itu cukup besar sehingga mampu menampung Uriel dan Zael, beserta Sera. Pemandangan dari atas perahu begitu indah. Pulau-pulau tak berpenghuni dan karang-karang di dasar laut yang menjulang ke permukaan terlihat menakjubkan. Mata sekan tak mampu berkedip.

Setidaknya itu yang dirasakan Uriel. Sejak berangkat tadi, Zael hanya duduk di pinggir perahu dan membuang wajahnya ke laut. Bukan karena ia ingin melihat terumbu karang dari dekat, Zael terus muntah-muntah hingga matanya berair.

“Padahal aku baru saja terbiasa menunggangi Sera, tapi kenapa sekarang aku harus mengalami ini? Mbuuk...!” kalimatnya diakhiri dengan suara muntah.

Uriel tertawa terbahak-bahak mendapati Zael yang menderita. Ia mengejek pemuda berambut biru itu, “Ksatria kerajaan Rapshodus, mengalahkan panglima, membunuh binatang buas, sekarang dikalahkan oleh perahu di atas laut.”

Zael hanya terdiam, ia tak sanggup bicara. Tenaganya terkuras habis karena mabuk yang dideritanya. Setelah beberapa saat, Zael terduduk lemas. Dahinya bersandar pada sisi kiri perahu. Matanya menyempit. Zael tak bisa menikmati perjalanan ini sama sekali.

“Kita sudah sampai!” seru Vert. Ia menepikan perahunya ke bibir pantai.

“Apa? Sudah sampai!” Uriel berdiri dari perahu. “Kau bercanda? Ini hanyalah pantai kosong!” ucapnya setengah membentak ketika melihat tempat yang dikunjunginya hanya berupa hamparan pasir putih dan pohon rimbun di belakangnya.

“Jangan tiba-tiba marah dulu. Kemarin terjadi tsunami di sini. Desa L’aile dipindahkan ke bukit. Aku tak tahu mereka akan menetap di sana atau kembali kemari suatu saat nanti.” Papar Vert.

“Begitu, ya,” Uriel memutar lehernya ke arah Zael yang masih duduk lemas di perahu, “Hei, sampai kapan kau akan tetap di situ? Ayo turun!”

Untuk yang kesekian kalinya Zael mengeluarkan isi lambungnya. Sudah kehabisan sumber tenaga, ia berniat akan memakan sesuatu ketika sampai di L’aile untuk menjejali perutnya yang hampa. Pemuda itu turun dari perahu dengan lunglai.

“Mana bayaranku?” Pinta Vert tanpa basa-basi.

Zael merogoh kantongnya. Memberikan sejumlah keping perunggu yang diperolehnya dari Raja Legna. Vert mendorong perahunya ke laut tanpa berkata apapun.

“Ahh ... berarti kita harus mencari desa itu melewati hutan yang lebat itu? Pasti melelahkan,” desah Uriel seraya berkacak pinggang dan menatap ke arah hutan.

Sementara itu Zael masih duduk tertelungkup di pinggir pantai. Wajahnya menunduk, dibungkus kedua lengan yang bertumpu di lutut.

Uriel yang melihatnya langsung membentaknya dari jauh, “Hei! Apa yang kau lakukan? Kita harus bergegas, hari makin gelap!”

“Aku akan disini sebentar.” Jawab Zael lemas.

“Ayolah! Semangatlah sedikit!” Uriel menyemangati Zael.

“Kau benar. Sekarang bukan saatnya bersantai.” Zael mengangkat wajahnya. “Terima kasih, Uriel.”

Ketika Zael menunjukkan wajahnya, Uriel tersentak setengah takut. Zael begitu pucat, hampir persis batu kapur. Dengan mata yang menyempit, ia menatap Uriel.

“Mm … M-mungkin sebaiknya kita istirahat dulu.” Uriel berubah pikiran usai melihat kondisi Zael yang begitu memprihatinkan.

***

Usai rehat sebentar, mereka mulai menyusup hutan untuk sampai ke bukit tempat desa L’aile. Banyak tanaman langka tumbuh dan berkembang di sini. Mereka tumbuh besar dan lebat seakan belum pernah terjamah manusia. Kelihatannya penduduk pulau ini sangat memerhatikan alam.

Lereng bukit ternyata telah ditanami tumbuhan pangan namun nampaknya gagal panen. Dari sini pun rumah-rumah penduduk telah mampu tertangkap mata. Ada puluhan rumah yang berdiri kokoh.

“Akhirnya!” syukur Uriel. “Sekarang bagaimana kita mencari informasi?”

“Sepertinya kita harus menanyakan pada semua orang satu-persatu.”

“Yang benar saja! Kita tak punya waktu untuk itu,” sanggah Uriel.

“Lalu apa yang akan kita lakukan?”

Uriel tersenyum sinis, “serahkan padaku.” Ia berjalan menuju tengah desa. Berdiri di bawah patung Dewa Calsell. Awalnya semua orang di sekitar acuh tak acuh. Tapi setelah dengan lantang ia berteriak di depan umum, sehingga menarik perhatian para penduduk desa. Bahkan yang tengah bersantai di bawah atap turut berkumpul seperti semut yang mengerumuni gula.

“Warga L’aile yang berbahagia! Seorang pemuda berambut biru di sebelah sana tengah mencari sesosok, seorang yang bertopeng,” teriaknya sambil mengacungkan telunjuk ke arah Zael.”Barang siapa yang merasa pernah melihat atau tahu dimana ia berada, akan diberi imbalan oleh pemuda baik bernama Zael!”

Zael tersentak, “Yang benar saja, apa yang kau katakan, Uriel?!” hanya beberapa saat, Zael dikerumuni hampir semua penduduk desa. Mereka menanyakan petunjuk agar mampu menemukan orang yang dicari Zael.

“Bagaimana ciri-cirinya?”

“Kau akan membayar berapa jika kami menemukannya?

“Apa warna topengnya?”

Mereka berdesak-desakan hingga membuat Zael kesulitan bernapas. Ia tenggelam di lautan manusia. Dari pemuda, hingga anak-anak berupaya mencari tahu. Meski begitu Zael tetap berusaha menjawab.

“Dia berpostur sepertiku, hanya lebih tinggi sedikit. Hitam adalah warna topengnya. Aku tidak punya banyak uang, tapi aku akan memberikan 50 keping perak pada orang yang memberikan informasi akurat,” papar Zael.

“Ada keributan apa ini?” terdengar suara berat namun datar.

“Pemimpin desa!” Perlahan para warga yang semula berdesakan seperti gelombang laut kini mulai tenang. Bukan, lebih mirip terdiam mematung.

“Bubar!” perintah sang pemimpin desa dengan tegas. Dan benar saja, mereka bubar tanpa ada yang menolak atau protes. “Dan kalian, orang asing! Ikut aku!”

“Ah ... satu lagi masalah muncul,” gumam Zael.

“Jangan khawatir, Zael. Kita akan baik-baik saja!” Uriel mencoba menenangkan Zael sembari menepuk bahunya.

“Ini salahmu kita berada di posisi seperti ini, Uriel!” bentaknya

Rumah pemimpin desa tak jauh berbeda dari rumah-rumah lain. Dia duduk di sebuah kursi kayu, tangannya di atas meja menopang dagu.

“Langsung pada inti. Apa yang kalian inginkan dari desa kami?”

“Sebelumnya maaf, kami hanya ingin mencari seseorang. Aku dan temanku berniat mendapatkan informasi dari desa ini. Sekali lagi kami minta maaf,” kata Zael.

“Begitu, ya.” Pemimpin desa menghela napas. “Seperti yang kalian lihat desa kami tengah mengalami krisis karena badai beberapa hari yang lalu, kami tidak bisa melaut seperti biasanya. Padahal itu merupakan mata pencaharian utama kami.”

“Tapi bukankah kalian juga menanam tanaman pangan? Kami melihatnya ketika perjalanan kemari,” tanya  Uriel.

“Memang benar, tapi tidakkah kalian lihat semuanya rusak? Itu juga disebabkan badai yang melanda daerah pantai.”

“Tapi aku tak habis pikir, bagaimana kalian membangun perumahan di sini ketika badai?” tanya Zael.

“Kami tidak membangun ketika badai, kami sudah membuat pondok-pondok kayu jauh sebelum badai. Sehingga ketika badai datang, kami hanya perlu pergi dari daerah pantai dan berlindung disini.” Jawab Pria paruh baya yang menjabat Pemimpin desa itu.

“Kalau begitu kenapa kalian tidak menetap di sini seterusnya?” tanya Uriel.

“Selain sebagai nelayan, warga di sini juga menjual ikan dan membeli bahan makanan yang tidak mampu kami dapatkan, terutama rempah-rempah dari pelaut yang melewati pulau ini. Jika kami menetap di bukit tengah hutan ini, kami tidak akan mendapat rempah.”

“Begitu, ya,” ucap Uriel. “Tunggu, kenapa kau memberitahu kami semua ini?” tanya Uriel.

“Kami ingin kalian membantu kami. Kelihatannya kalian cukup bisa diandalkan.”

Lihat selengkapnya